5 Cara Penanganan Pelajar yang Menyimpang
Minimal ada 5 penanganan terhadap pelajar yang menyimpang, yaitu:
1. Kepercayaan.
Sang pelajar harus memiliki kepercayaan kepada pihak pihak yang mau membantunya (wali kelas, guru BP, guru agama, dan lainnya). Mereka para pelajar yakin akan ditolong dan tidak akan dibohongi. Jika pelajar itu lebih memilih ‘pihak luar’, ya tidak apa-apa, karena biasanya ‘pihak dalam’ ada kepentingan lain atau tidak tulus untuk menolongnya.
2. Kemurnian Hati.
Pelajar itu sudah percaya bahwa penanganan ini tidak bersyarat. Buat pelajar atau remaja, urusan membantu, ya membantu saja. Tidak perlu ditambahi, “tetapi tetapi”. Sebab itu, pelajar lebih mempercayai teman-temannya sendiri, jika menghadapi problema, meski terkadang nasehatnya tidak utuh dan solusinya bersifat parsial atau sepotong-potong.
3. Kemampuan mengerti dan menghayati (empathy) perasaan pelajar atau remaja.
Disebabkan posisi yang berbeda antara anak (pelajar) dengan orang dewasa (orang tua, guru), sulit bagi orang dewasa berempati kepada pelajar, karena kepentingan yang susah dikalahkan. Biasanya orang dewasa merasa lebih unggul dan kurang menghargai posisi pelajar.
4. Kejujuran.
Ini penting dilakukan, karena sang pelajar ingin keterbukaan, termasuk sanksi yang diterima, meskipun tidak menyenangkan. Katakan yang benar itu benar. Sebaliknya, yang salah itu salah. Jangan sampai terjadi, ini salah bagi pelajar, sementara bagi orang dewasa itu benar. Jika ini yang terjadi, maka runtuhlah kepercayaan pelajar kepada orang dewasa.
5. Mengutamakan persepsi pelajar sendiri.
Pelajar itu akan memandang persoalan dari sudut pandangnya sendiri. Terlepas dari kenyataan yang ada, sang pelajar akan bereaksi sesuai sudut pandangnya sendiri. Karena itu, kemampuan untuk memahami pandangan pelajar, sangat berarti untuk membangun empati terhadap pelajar atau remaja.
Berdasarkan semua paparan tersebut, Islam mengambil sudut pandang yang berbeda tentang perkelahian pelajar. Kuncinya kepada posisi balig, jika seseorang itu sudah balig, maka semua perbuatanya (baik dan buruk) menjadi tanggung jawabnya. Tidak seperti hukum positif di Indonesia, yang biasanya sanksi atas perbuatan dikenakan jika usianya antara 17 atau 18 tahun.
Sebab itu, sejak dini Islam mengarahkan orang tua agar membimbing dan mendidik puta putrinya sejak kecil tentang al-ahkamul al-khamsah, yakni 5 hukum, meliputi: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Melalui jalan tersebut, sejak kecil anak-anak diajarkan untuk tidak melakukan tindak kekerasan, termasuk perkelahian atau tawuran pelajar. Ajaran Islam dengan tegas tidak pernah mengajarkan kekerasan (anarkis).
Apapun alasannya, mengambil jalan kekerasan, tidak dibenarkan dalam Islam. Tindakan kekerasan itu, bukan perwujudan dari Islam. Jika ingin membela kebenaran, harus menggunakan cara-cara yang benar juga. Tidak asal bela saja, sementara kebenaran disampingkan. Sebab, sebagai pelajar muslim, kita semua diingatkan dengan visi dan misi Islam sebagai agama yang damai, santun, dan menjadi rahmat untuk semesta alam (Islam yang rahmatan lil ‘ālamin), sebagaimana firman Allah Swt:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiyā’/21: 107)
Sekarang ini, Islam dihadapkan pada problema besar, yakni membumikan sekaligus mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Pertanyaan yang segera muncul adalah apa kiat dan strateginya, sehingga Islam itu benar-benar mampu menjawab realitas problematika kemanusian, damai untuk semua, dan menebar keselamatan dan ketenteraman untuk sesama?
Tentu, bukan persoalan mudah untuk menjawab problematika tersebut, namun yang terpenting adalah komitmen semua umat Islam, apapun profesinya (termasuk pelajar muslim), memerankan visi dan misinya dengan benar--di tengah problematika dunia yang semakin kompleks--sejalan dengan risalah Islam seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. melalui Piagam Madinah.
Melalui Piagam Madinah inilah, Islam mampu menghadirkan kedamaian, ketenteraman dan harmoni yang tidak menimbulkan luka, apalagi merusak. Sebuah manajemen hidup yang saling berdampingan secara harmonis antar satu sama lain, tanpa perlu mengorbankan nyawa, melukai fisik dan jiwa, merusak harta benda, dan prinsip-prinsip keagamaan yang sudah disepakati bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.