a. Pengertian Al Ahwal
Al ahwal bentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (menthal states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
b. Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hal yaitu: Al Muraqabah (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), Al Qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), Al Mahabbah (rasa cinta kepada Tuhan), Khauf wa Raja’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq (rasa rindu), Al Uns (rasa berteman), Al Thuma’ninah (rasa tenteram), Al Musyahadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al Yaqin (rasa yakin).
1). Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.
Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah Swt, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah Swt selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
2). Mahabbah
Mahabbah mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
3). Khauf
Al Qusyairi mengemukakan bahwa khauf terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah Swt berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt
falaa takhaafuuhum wakhaafuuni in kuntum mu'miniin
“… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175)
Seorang yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf akan berfikiran jauh ke depan.
4). Raja’
Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al Qusyairi membedakan antara harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seseorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang diangan-angankannya.
Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
5). Syauq
Rindu (syauq) merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah Swt akan terlepas dari segala hasrat selain Allah Swt. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.
Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
6). Uns
Perasaan suka cita (uns) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah Swt. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah Swt. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.
7). Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt,
27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama›ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30)
Ibnu Qayim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan:
Pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah Swt.
Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas penantian.
Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.
Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
8). Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran Al Haqq dengan tanpa dibayangkan. Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya keTuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehinggga malampun laksana siang yang nikmat.
9). Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al yaqin, ’ain al yaqin dan haqq al yaqin.
‘Ilm al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya. ‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al Yaqin bagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqin bagi orang-orang yang ma’rifah.
Jadi, Al Yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian al ahwal dan tingkatan al ahwal. Sumber buku Siswa Akidah Akhlak Kelas XI MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Al ahwal bentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (menthal states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
b. Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hal yaitu: Al Muraqabah (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), Al Qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), Al Mahabbah (rasa cinta kepada Tuhan), Khauf wa Raja’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq (rasa rindu), Al Uns (rasa berteman), Al Thuma’ninah (rasa tenteram), Al Musyahadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al Yaqin (rasa yakin).
1). Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.
Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah Swt, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah Swt selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
2). Mahabbah
Mahabbah mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
3). Khauf
Al Qusyairi mengemukakan bahwa khauf terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah Swt berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
falaa takhaafuuhum wakhaafuuni in kuntum mu'miniin
“… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175)
Seorang yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf akan berfikiran jauh ke depan.
4). Raja’
Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al Qusyairi membedakan antara harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seseorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang diangan-angankannya.
Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
5). Syauq
Rindu (syauq) merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah Swt akan terlepas dari segala hasrat selain Allah Swt. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.
Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
6). Uns
Perasaan suka cita (uns) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah Swt. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah Swt. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.
7). Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt,
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ . ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً . فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى . وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama›ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30)
Ibnu Qayim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan:
Pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah Swt.
Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas penantian.
Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.
Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
8). Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran Al Haqq dengan tanpa dibayangkan. Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadah kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya keTuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehinggga malampun laksana siang yang nikmat.
9). Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al yaqin, ’ain al yaqin dan haqq al yaqin.
‘Ilm al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al Yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya. ‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al Yaqin bagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqin bagi orang-orang yang ma’rifah.
Jadi, Al Yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.