Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di baiat di tengah-tengah kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah, sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah. Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam:
1. Tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah;
2. Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia;
3. Saling memelihara kehormatan di antara sesama Muslim dan umat lain;
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum; dan
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.
Setelah selesai pembaiatan Ali, Thalhah, az-Zubair dan beberapa pemuka Sahabat menghadap Ali bin Abi Thalib guna menuntut, pertama, Ali harus memulihkan ketertiban di dalam Negeri. Kedua, penegakan hukum dan menegakan qishash atas kematian Ustman.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian ini dengan mengajukan kompromi terhadap Thalhah dan Kawan-kawan. Tetapi upaya itu sulit dicapai. Dengan demikian, kontak senjata tidak dapat di hindarkan. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah istri Rasul di kembalikan ke Madinah dengan hormat. Perang ini di sebut Perang Jamal yang terjadi pada 36 H. Di namakan perang jamal karena Aisyah menaiki unta dalam perang tersebut.
Setelah selesai perang jamal, pusat kekuasaan islam dipindah ke kota kuffah, sejak saat itu berakhirlah Madinah sebagai ibu kota kedaulatan islam dan tidak ada lagi seorang khalifah yang berdiam di sana. Saat itu Ali adalah pemimpin dari seluruh wilayah Islam kecuali Syiria.
Dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali dan menolah meletakan jabatan Gubernur, memaksa khalifah bertindak. Pertempuran secara muslim terjadi lagi, yaitu antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan pasukan 50.000 untuk menghadapi pasukan Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak dan 7000 pasukan terbunuh. Pihak Muawiyah lalu mengangkat al-Qur‟an sebagai tanda Tahkim (Arbitase).
Dalam Tahkim, Khalifah di wakili oleh Abu Musa Al-Asy‟ari, sedangkan Muawiyah di wakili oleh Amr bin Al-Ash yang terkenal cerdik. Dalam Tahkim tersebut Khalifah dan Muawiyah harus meletakan jabatan, pemilihan baru harus di lakasanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi Amr bin Al-Ash berlaku sebaliknya, ia tidak menurunkan muawiyah, tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah, karena Ali bin Abi Thalib sudah di turunkan oleh Abu Musa. Hal ini menyebabkan lahirnya Golongan Khawarij (keluar dari barisan Ali).
Kelompok khawarij yang bermarkas di Nahawand benar-benar merepotkan khalifah. Hal ini memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk memperluas kekuasaan dengan merebut Mesir. Akibatnya sungguh sangat fatal bagi Ali bin Abi Thalib, tentaranya semakin lemah, sementara pihak Muawiyah semakin kuat. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi mesir, berarti merampas sumber kemakmuran pihak Ali. Karena kekuatan telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui damai dengan Muawiyah, yang secara politisi berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Siria dan Mesir.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang tuntutan Thalhah dan az-Zubair kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sumber Modul 3 Perkembangan Islam Masa Khulafaur Rasyidin, Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kementerian Agama Republik Indonesia 2018. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
1. Tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah;
2. Taat dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada negara dan sesama manusia;
3. Saling memelihara kehormatan di antara sesama Muslim dan umat lain;
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum; dan
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.
Setelah selesai pembaiatan Ali, Thalhah, az-Zubair dan beberapa pemuka Sahabat menghadap Ali bin Abi Thalib guna menuntut, pertama, Ali harus memulihkan ketertiban di dalam Negeri. Kedua, penegakan hukum dan menegakan qishash atas kematian Ustman.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian ini dengan mengajukan kompromi terhadap Thalhah dan Kawan-kawan. Tetapi upaya itu sulit dicapai. Dengan demikian, kontak senjata tidak dapat di hindarkan. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah istri Rasul di kembalikan ke Madinah dengan hormat. Perang ini di sebut Perang Jamal yang terjadi pada 36 H. Di namakan perang jamal karena Aisyah menaiki unta dalam perang tersebut.
Setelah selesai perang jamal, pusat kekuasaan islam dipindah ke kota kuffah, sejak saat itu berakhirlah Madinah sebagai ibu kota kedaulatan islam dan tidak ada lagi seorang khalifah yang berdiam di sana. Saat itu Ali adalah pemimpin dari seluruh wilayah Islam kecuali Syiria.
Dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali dan menolah meletakan jabatan Gubernur, memaksa khalifah bertindak. Pertempuran secara muslim terjadi lagi, yaitu antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan pasukan 50.000 untuk menghadapi pasukan Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak dan 7000 pasukan terbunuh. Pihak Muawiyah lalu mengangkat al-Qur‟an sebagai tanda Tahkim (Arbitase).
Dalam Tahkim, Khalifah di wakili oleh Abu Musa Al-Asy‟ari, sedangkan Muawiyah di wakili oleh Amr bin Al-Ash yang terkenal cerdik. Dalam Tahkim tersebut Khalifah dan Muawiyah harus meletakan jabatan, pemilihan baru harus di lakasanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi Amr bin Al-Ash berlaku sebaliknya, ia tidak menurunkan muawiyah, tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah, karena Ali bin Abi Thalib sudah di turunkan oleh Abu Musa. Hal ini menyebabkan lahirnya Golongan Khawarij (keluar dari barisan Ali).
Kelompok khawarij yang bermarkas di Nahawand benar-benar merepotkan khalifah. Hal ini memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk memperluas kekuasaan dengan merebut Mesir. Akibatnya sungguh sangat fatal bagi Ali bin Abi Thalib, tentaranya semakin lemah, sementara pihak Muawiyah semakin kuat. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi mesir, berarti merampas sumber kemakmuran pihak Ali. Karena kekuatan telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui damai dengan Muawiyah, yang secara politisi berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Siria dan Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.