Untuk memahami wawasan Quran tentang paham kebangsaan, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah, "Kata apakah yang sebenarnya dipergunakan oleh Quran untuk menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya'b, qaum, atau ummah?" Kata ‘qaum” dan “qaumiyah” sering dipahami dengan arti bangsa dan kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini dengan istilah Al-Qaumiyah Al-'Arabiyah.
Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab Mesir pada 1960, dalam buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata ummah. Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13. Apakah untuk memahami wawasan Quran tentang paham kebangsaan perlu merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini ? Misalnya, dengan menunjukkan Quran surat Al-Hujurat 13 :
yaa ayyuhaa nnaasu innaa khalaqnaakum min dzakarin wauntsaa waja'alnaakum syu'uuban waqabaa-ila lita'aarafuu inna akramakum 'inda laahi atqaakum inna laaha 'aliimun khabiir
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat: 13)
Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan karena Allah Swt telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa? Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang ditemukan dalam Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti bahwa Quran mendukung paham kebangsaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan, "Ya Qaumi" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Quran surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain lain!).
qaala yaa qawmi ara-aytum in kuntu 'alaa bayyinatin min rabbii waaataanii minhu rahmatan faman yanshurunii mina laahi in 'ashaytuhu famaa taziiduunanii ghayra takhsiir
Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian" (QS. Hud :63)
wayaa qawmi haadzihi naaqatu laahi lakum aayatan fadzaruuhaa ta'kul fii ardhi laahi walaa tamassuuhaa bisuu-in faya'khudzakum 'adzaabun qariib
"Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat" (QS. Hud :64)
wajaa-ahu qawmuhu yuhra'uuna ilayhi wamin qablu kaanuu ya'maluuna ssayyi-aati qaala yaa qawmi haaulaa-i banaatii hunna athharu lakum fattaquu laaha walaa tukhzuuni fii dhayfii alaysa minkum rajulun rasyiid
"Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hud :78)
wa-ilaa madyana akhaahum syu'ayban qaala yaa qawmi u'buduu laaha maa lakum min ilaahin ghayruhu walaa tanqushuu lmikyaala walmiizaana innii araakum bikhayrin wa-innii akhaafu 'alaykum 'adzaaba yawmin muhiith
"Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)" (QS. Hud :84)
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah SWT dalam Quran memerintahkan Nabi saw untuk menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas" (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya dengan "Ya ayyuhal ladzina 'amanu?" Benarkah dalam Al-Quran tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan kata qaum untuk menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk menemukan wawasan Quran tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Quran ketika menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf A.s. yang membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).
qaala qaa-ilun minhum laa taqtuluu yuusufa wa-alquuhu fii ghayaabati ljubbi yaltaqithhu ba'dhu ssayyaarati in kuntum faa'iliin
Seorang diantara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat". (QS Yusuf : 10)
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Quran, itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah -- seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab. Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa kini. Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata sya'b sama dengan bangsa atau kebangsaan.
Ayat-ayat Quran yang membahas nilai-nilai wawasan kebangsaan, seperti halnya Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan sebagaimana dalam QS. Al-Anbiya’: 92; Q.S Al-Mu’minun: 52 dan Q.S Al-Imran: 105.
inna haadzihi ummatukum ummatan waahidatan wa-anaa rabbukum fau'buduu
Artinya: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku."(Q.S. Al-Anbiya: 92)
wa-inna haadzihi ummatukum ummatan waahidatan wa-anaa rabbukum fattaquun
Artinya: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)” (Q.S Al-Mu’minun: 52)
walaa takuunuu kalladziina tafarraquu wakhtalafuu min ba'di maa jaa-ahumu lbayyinaatu waulaa-ika lahum 'adzaabun 'azhiim
Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berceraiberai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Q.S. Al-Imran: 105)
Selain ayat-ayat quran di atas, dalam hadis juga dijelaskan tentang konsep wawasan kebangsaan, di antaranya:
Musnad Ahmad 12162: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim telah menceritakan kepada kami al-Harits bin 'Umair dari Humaid, at-thowil dari Anas, Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam jika tiba dari suatu perjalanan dan melihat kedinding-dinding Madinah, beliau percepat untanya dan jika diatas kendaraannya, ditarik-tariknya, karena begitu cintanya kepada Madinah
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang wawasan kebangsaan dalam prespektif Quran dan Hadis. Sumber Modul 6 Konsep Pendidikan karakter dalam Alquran Hadis , PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab Mesir pada 1960, dalam buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata ummah. Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13. Apakah untuk memahami wawasan Quran tentang paham kebangsaan perlu merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini ? Misalnya, dengan menunjukkan Quran surat Al-Hujurat 13 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
yaa ayyuhaa nnaasu innaa khalaqnaakum min dzakarin wauntsaa waja'alnaakum syu'uuban waqabaa-ila lita'aarafuu inna akramakum 'inda laahi atqaakum inna laaha 'aliimun khabiir
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat: 13)
Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan karena Allah Swt telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa? Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang ditemukan dalam Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti bahwa Quran mendukung paham kebangsaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan, "Ya Qaumi" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Quran surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain lain!).
قَالَ يَٰقَوْمِ أَرَءَيْتُمْ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَءَاتَىٰنِى مِنْهُ رَحْمَةً فَمَن يَنصُرُنِى مِنَ ٱللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُۥ ۖ فَمَا تَزِيدُونَنِى غَيْرَ تَخْسِيرٍ
qaala yaa qawmi ara-aytum in kuntu 'alaa bayyinatin min rabbii waaataanii minhu rahmatan faman yanshurunii mina laahi in 'ashaytuhu famaa taziiduunanii ghayra takhsiir
Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian" (QS. Hud :63)
وَيَٰقَوْمِ هَٰذِهِۦ نَاقَةُ ٱللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِىٓ أَرْضِ ٱللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوٓءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ
wayaa qawmi haadzihi naaqatu laahi lakum aayatan fadzaruuhaa ta'kul fii ardhi laahi walaa tamassuuhaa bisuu-in faya'khudzakum 'adzaabun qariib
"Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat" (QS. Hud :64)
وَجَآءَهُۥ قَوْمُهُۥ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِن قَبْلُ كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ هَٰٓؤُلَآءِ بَنَاتِى هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِى ضَيْفِىٓ ۖ أَلَيْسَ مِنكُمْ رَجُلٌ رَّشِيدٌ
wajaa-ahu qawmuhu yuhra'uuna ilayhi wamin qablu kaanuu ya'maluuna ssayyi-aati qaala yaa qawmi haaulaa-i banaatii hunna athharu lakum fattaquu laaha walaa tukhzuuni fii dhayfii alaysa minkum rajulun rasyiid
"Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hud :78)
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ وَلَا تَنقُصُوا۟ ٱلْمِكْيَالَ وَٱلْمِيزَانَ ۚ إِنِّىٓ أَرَىٰكُم بِخَيْرٍ وَإِنِّىٓ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيطٍ
wa-ilaa madyana akhaahum syu'ayban qaala yaa qawmi u'buduu laaha maa lakum min ilaahin ghayruhu walaa tanqushuu lmikyaala walmiizaana innii araakum bikhayrin wa-innii akhaafu 'alaykum 'adzaaba yawmin muhiith
"Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)" (QS. Hud :84)
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah SWT dalam Quran memerintahkan Nabi saw untuk menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas" (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya dengan "Ya ayyuhal ladzina 'amanu?" Benarkah dalam Al-Quran tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan kata qaum untuk menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk menemukan wawasan Quran tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Quran ketika menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf A.s. yang membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).
قَالَ قَآئِلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا۟ يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِى غَيَٰبَتِ ٱلْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ ٱلسَّيَّارَةِ إِن كُنتُمْ فَٰعِلِينَ
qaala qaa-ilun minhum laa taqtuluu yuusufa wa-alquuhu fii ghayaabati ljubbi yaltaqithhu ba'dhu ssayyaarati in kuntum faa'iliin
Seorang diantara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat". (QS Yusuf : 10)
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Quran, itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah -- seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab. Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa kini. Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata sya'b sama dengan bangsa atau kebangsaan.
Ayat-ayat Quran yang membahas nilai-nilai wawasan kebangsaan, seperti halnya Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan sebagaimana dalam QS. Al-Anbiya’: 92; Q.S Al-Mu’minun: 52 dan Q.S Al-Imran: 105.
إِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَأَنَا۠ رَبُّكُمْ فَٱعْبُدُونِ
inna haadzihi ummatukum ummatan waahidatan wa-anaa rabbukum fau'buduu
Artinya: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku."(Q.S. Al-Anbiya: 92)
وَإِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَأَنَا۠ رَبُّكُمْ فَٱتَّقُونِ
wa-inna haadzihi ummatukum ummatan waahidatan wa-anaa rabbukum fattaquun
Artinya: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)” (Q.S Al-Mu’minun: 52)
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُوا۟ وَٱخْتَلَفُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
walaa takuunuu kalladziina tafarraquu wakhtalafuu min ba'di maa jaa-ahumu lbayyinaatu waulaa-ika lahum 'adzaabun 'azhiim
Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berceraiberai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Q.S. Al-Imran: 105)
Selain ayat-ayat quran di atas, dalam hadis juga dijelaskan tentang konsep wawasan kebangsaan, di antaranya:
Musnad Ahmad 12162: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim telah menceritakan kepada kami al-Harits bin 'Umair dari Humaid, at-thowil dari Anas, Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam jika tiba dari suatu perjalanan dan melihat kedinding-dinding Madinah, beliau percepat untanya dan jika diatas kendaraannya, ditarik-tariknya, karena begitu cintanya kepada Madinah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.