Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadis. Maka Allah Swt menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama' yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama' menetapkan tingkatan Jarh dan Ta'dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan.
Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
a. Tingkatan At-Ta’dil
1) Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2) Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun denganmakna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafizh.
3) Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
4) Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya keadil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sabihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadis yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5) Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadis), atau hasanul-hadiits (yang baik hadisnya).
6) Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: Shalihul-Hadiits (hadisnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis hadisnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1) Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2) Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3) Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
b. Tingkatan Al-Jarh
1) Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah hadisnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2) Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau dla’if, atau “ia mempunyai hadis-hadis yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3) Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis hadisnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bisyai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu sedikit).
4) Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadis, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadis”, atau “mencuri hadis”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bitsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5) Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadis), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadis).
6) Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1) Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2) Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat seorang kritikus hadis. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
a. Tingkatan At-Ta’dil
1) Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2) Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun denganmakna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafizh.
3) Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.
4) Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya keadil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sabihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadis yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5) Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadis), atau hasanul-hadiits (yang baik hadisnya).
6) Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: Shalihul-Hadiits (hadisnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis hadisnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1) Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2) Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3) Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
b. Tingkatan Al-Jarh
1) Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah hadisnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2) Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau dla’if, atau “ia mempunyai hadis-hadis yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3) Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis hadisnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bisyai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu sedikit).
4) Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadis, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadis”, atau “mencuri hadis”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bitsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5) Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadis), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadis).
6) Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1) Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2) Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.