Allah Swt menciptakan segala sesuatu di bumi ini dengan berpasangan, siang-malam, bumi-langit, bulan-bintang, laki-perempuan, begitu juga dengan kehidupan dunia dan akhirat. Dimana kehidupan dunia merupakan sarana yang akan mengantarkan ke akhirat. Dalam rangka menyiapkan kehidupan akhirat manusia pun membutuhkan harta untuk memenuhi hajatnya seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya. Islam mengajarkan keseimbangan dalam memelihara eksistensi kemanusiaan yang terdiri dari unsur al-jasad (jasad), al-aql (akal), dan ar-ruh (roh).
Ajaran Islam mengarahkan manusia agar memperhatikan ketiga unsur psecara seimbang: al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal), dan ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani).Dengan mengimplementasikan sikap tawazun dalam hidup, manusia akan meraih kebahagian hakiki, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan bathin/jiwa dalam Bentuk ketenangan jiwa dan kebahagian lahir/fisik dalam bentuk kestabilan dan ketenangan dalam hidup.
Ayat-ayat al-Quran entang tawazun (keseimbangan) Q.S.Al-Qashash ayat 77 :
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.AlQashash: 77)
Asbab nuzul ayat diatas dimulai dengan kisah Qarun si kaya yang angkuh. kesombongan qarun yang terlampau kikir akan harta yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasehati akan tetapi dia tidak menghiraukan. Ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya, yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadap Bani Isra`il. Perubahan status sosial telah mengantar dirinya menjadi manusia lupa dan durhaka, sehingga walaupun dia telah diingkarkan oleh beberapa orang dari kaum Nabi Musa As. Qorun tetap angkuh.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kekayaan apapun yang kita miliki kita jadikan sebagai sarana atau alat kebahagiaan di kampung akhirat. Perlu diketahui bahwa “fiil wabtaghi” mengandung arti “Carilah apa saja yang diberikan Allah kepada kamu berupa harta, kalbu, perasaan, akal pikiran, anak dan seluruh yang kamu miliki untuk mencari kebahagiaan di kampung akhirat dan ridha Allah. Yakni hendaknya kita meletakkan apa saja yang akan terjadi di masa depan di hadapan mata kita, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan kita tidak boleh melupakan sedikitpun kehidupan duniawi kita.
Maksud ayat ini mengandung anjuran untuk menggunakan harta yang berlimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah untuk bekal ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, dengan mengerjakan berbagai amal pendekatan diri kepada-Nya. Dengan demikian manusia akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena sesungguhnya manusia mempunyai kewajiban terhadap Allah, dan mempunyai kewajiban terhadap diri sendiri, dan juga mempunyai kewajiban terhadap keluargamu serta orang-orang yang bertamu.Maka hendaknya manusia menunaikan kewajiban itu kepada haknya masing-masing.
Ayat ini juga merupakan tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Yakni segala karunia yang diberi Allah di dunia ini digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Melakukan segala tugas dan kewajiban duniawi dengan penuh tanggungjawab serta melakukan ritual ibadah dengan semangat. Dengan menyeimbangkan hidup dunia akhirat, maka manusia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia.Hal ini selaras dengan sebuah hadis :
Artinya: "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok"
Dari ayat ini dapat diambil hikmah, yaitu : hendaknya kita dapat hidup secara seimbang, dengan mengutamakan kebahagiaan akhirat sebagai visi kita, dan juga merengkuh kehidupan dunia serta kenikmatannya sesuai dengan ridha Allah, sebagai bekal kita untuk kehidupan akhirat kelak. Janganlah kita hidup seperti Qarun, tokoh serakah dan pengejar harta, yang terlalu sibuk mengejar harta serta kesenangan dunia, sehingga ia lupa akan kehidupan akhirat yang lebih kekal dan lebih baik dari segala apa yang ada di dunia ini. Selain itu ada dua hal yang perlu diperhatikan menurut ayat ini adalah:
a. Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Segala sesuatu yang kita tanam selama di dunia, akan kita peroleh buahnya di akhirat kelak.
b. Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Surat al-Qashas ayat 77 ini semakna dengan hadis yang diriwayatkanIbnu Assakir dan Anas, yaitu:
Artinya: “Bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain”
Dari ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dapat diketahui bahwa keseimbagan merupakan sarana menuju kehidupan yang sejati. Manusia dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada satu sisi saja tanpa dimbangi dengan yang lain. seseorang tidak boleh hanya berkutat pada teori dan konsep yang kososng, yang hanya menjadikan ajaran islam sebagai sumber diskusi dan diseminarkan tanpa ada praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Allah telah mengisyaratkan dalam banyak ayat-ayat al-Quran, agar kita hidup seimbang, karena dengan hidup seimbang manusia akan mendapatkan kebahagiaan tanpa harus melalaikan dan meninggalkan yang lain. Sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Seperti penjelasan surat ar-rahman ayat 7 :
Kemampuan manusia untuk bertawazun juga didukung oleh fitrah manusia diciptakan Allah SWT, yang mana fitrahnya itu adalah hanif yaitu kecenderungan untuk melakukan kebaikan dan mengakui ketauhidan, namun kemudian keadaannya sesudah lahir yang terkadang diarahkan oleh kedua orang tuanya, dan membuat anak tersebut menjadi berbeda, yakni ada yang nasrani, yahudi, majusi apabila orang tuanya tersebut merupakan nonmuslim. Dengan demikian jika ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah karena pengaruh lingkungan baik lingkungan fisik maupun non fisik. Dalam surat arRuum:30 dijelaskan sebagai berikut:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Sesuai fitrah, manusia memiliki tiga potensi, yaitu aljasad (jasmani), al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing, yaitu yang pertama, jasmani atau fisik adalah amanah dari Allah Ta'ala, karena itu harus dijaga, agar jasmani senantiasa sehat. Maka jasmani pun harus dipenuhi kebutuhannya agar menjadi kuat. Perintah terkait tawazun juga terapat Q.S. A-Rahman ayat 7-9:
Adapun Kebutuhan jasmani adalah makanan, yaitu makanan yang halalan thoyyiban (halal dan baik), beristirahat, kebutuhan biologis dan hal-hal lain yang menjadikan jasmani kuat. Kedua akal, akal merupakan unsur yang membedakan manusia dengan hewan. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu mengenali hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya supaya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardhi. Adapun kebutuhan akal adalah ilmu dalam rangka untuk pemenuhan sarana kebutuhannya. Adapun yang ketiga adalah ruh (hati). Kebutuhan ruh (hati) adalah zikrullah. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini sangat penting, agar ruh/jiwa tetap memiliki semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan sikap tawazun (keseimbangan), manusia dapat meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, karena pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala keseimbangan akan menempatkan umat Islam menjadi umat yang hidup seimbang, Yaitu umat yang seimbang sebagaimana penjelasan surat al_Baqarah:143.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. AlBaqarah: 143)
Kebahagiaan pada diri manusia itu dapat berupa kebahagiaan batin/jiwa, dalam bentuk ketenangan jiwa dan Kebahagiaan zahir/gerak, dalam bentuk kesetabilan, ketenangan ibadah, bekerja dan aktivitas lainnya. Dengan menyeimbangkan dirinya, maka manusia tersebut tergolong sebagai hamba yang pandai mensyukuri nikmat Allah. Hamba/manusia seperti inilah yang disebut manusia seutuhnya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang tawazun dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Quran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Ajaran Islam mengarahkan manusia agar memperhatikan ketiga unsur psecara seimbang: al-jasad membutuhkan al-ghidaul jasadiy (gizi bagi jasad), al-aql membutuhkan al-ghidaul aqli (gizi bagi akal), dan ar-ruh membutuhkan al-ghidaur ruhiy (gizi rohani).Dengan mengimplementasikan sikap tawazun dalam hidup, manusia akan meraih kebahagian hakiki, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan bathin/jiwa dalam Bentuk ketenangan jiwa dan kebahagian lahir/fisik dalam bentuk kestabilan dan ketenangan dalam hidup.
Ayat-ayat al-Quran entang tawazun (keseimbangan) Q.S.Al-Qashash ayat 77 :
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.AlQashash: 77)
Asbab nuzul ayat diatas dimulai dengan kisah Qarun si kaya yang angkuh. kesombongan qarun yang terlampau kikir akan harta yang ia miliki. Sehingga kaumnya menasehati akan tetapi dia tidak menghiraukan. Ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya, yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadap Bani Isra`il. Perubahan status sosial telah mengantar dirinya menjadi manusia lupa dan durhaka, sehingga walaupun dia telah diingkarkan oleh beberapa orang dari kaum Nabi Musa As. Qorun tetap angkuh.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kekayaan apapun yang kita miliki kita jadikan sebagai sarana atau alat kebahagiaan di kampung akhirat. Perlu diketahui bahwa “fiil wabtaghi” mengandung arti “Carilah apa saja yang diberikan Allah kepada kamu berupa harta, kalbu, perasaan, akal pikiran, anak dan seluruh yang kamu miliki untuk mencari kebahagiaan di kampung akhirat dan ridha Allah. Yakni hendaknya kita meletakkan apa saja yang akan terjadi di masa depan di hadapan mata kita, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan kita tidak boleh melupakan sedikitpun kehidupan duniawi kita.
Maksud ayat ini mengandung anjuran untuk menggunakan harta yang berlimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah untuk bekal ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, dengan mengerjakan berbagai amal pendekatan diri kepada-Nya. Dengan demikian manusia akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena sesungguhnya manusia mempunyai kewajiban terhadap Allah, dan mempunyai kewajiban terhadap diri sendiri, dan juga mempunyai kewajiban terhadap keluargamu serta orang-orang yang bertamu.Maka hendaknya manusia menunaikan kewajiban itu kepada haknya masing-masing.
Ayat ini juga merupakan tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Yakni segala karunia yang diberi Allah di dunia ini digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Melakukan segala tugas dan kewajiban duniawi dengan penuh tanggungjawab serta melakukan ritual ibadah dengan semangat. Dengan menyeimbangkan hidup dunia akhirat, maka manusia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia.Hal ini selaras dengan sebuah hadis :
إعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل آلخرتك كأنك متوت غدا (رواه البيهقى
Artinya: "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok"
Dari ayat ini dapat diambil hikmah, yaitu : hendaknya kita dapat hidup secara seimbang, dengan mengutamakan kebahagiaan akhirat sebagai visi kita, dan juga merengkuh kehidupan dunia serta kenikmatannya sesuai dengan ridha Allah, sebagai bekal kita untuk kehidupan akhirat kelak. Janganlah kita hidup seperti Qarun, tokoh serakah dan pengejar harta, yang terlalu sibuk mengejar harta serta kesenangan dunia, sehingga ia lupa akan kehidupan akhirat yang lebih kekal dan lebih baik dari segala apa yang ada di dunia ini. Selain itu ada dua hal yang perlu diperhatikan menurut ayat ini adalah:
a. Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Segala sesuatu yang kita tanam selama di dunia, akan kita peroleh buahnya di akhirat kelak.
b. Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Surat al-Qashas ayat 77 ini semakna dengan hadis yang diriwayatkanIbnu Assakir dan Anas, yaitu:
Artinya: “Bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain”
Dari ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dapat diketahui bahwa keseimbagan merupakan sarana menuju kehidupan yang sejati. Manusia dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada satu sisi saja tanpa dimbangi dengan yang lain. seseorang tidak boleh hanya berkutat pada teori dan konsep yang kososng, yang hanya menjadikan ajaran islam sebagai sumber diskusi dan diseminarkan tanpa ada praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Allah telah mengisyaratkan dalam banyak ayat-ayat al-Quran, agar kita hidup seimbang, karena dengan hidup seimbang manusia akan mendapatkan kebahagiaan tanpa harus melalaikan dan meninggalkan yang lain. Sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Seperti penjelasan surat ar-rahman ayat 7 :
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)” (QS. Ar-Rahman:7)Kemampuan manusia untuk bertawazun juga didukung oleh fitrah manusia diciptakan Allah SWT, yang mana fitrahnya itu adalah hanif yaitu kecenderungan untuk melakukan kebaikan dan mengakui ketauhidan, namun kemudian keadaannya sesudah lahir yang terkadang diarahkan oleh kedua orang tuanya, dan membuat anak tersebut menjadi berbeda, yakni ada yang nasrani, yahudi, majusi apabila orang tuanya tersebut merupakan nonmuslim. Dengan demikian jika ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah karena pengaruh lingkungan baik lingkungan fisik maupun non fisik. Dalam surat arRuum:30 dijelaskan sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Sesuai fitrah, manusia memiliki tiga potensi, yaitu aljasad (jasmani), al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing, yaitu yang pertama, jasmani atau fisik adalah amanah dari Allah Ta'ala, karena itu harus dijaga, agar jasmani senantiasa sehat. Maka jasmani pun harus dipenuhi kebutuhannya agar menjadi kuat. Perintah terkait tawazun juga terapat Q.S. A-Rahman ayat 7-9:
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا۟ فِى ٱلْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7); supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (8);Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9)” (QS Arrahman: 7-9)Adapun Kebutuhan jasmani adalah makanan, yaitu makanan yang halalan thoyyiban (halal dan baik), beristirahat, kebutuhan biologis dan hal-hal lain yang menjadikan jasmani kuat. Kedua akal, akal merupakan unsur yang membedakan manusia dengan hewan. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu mengenali hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya supaya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardhi. Adapun kebutuhan akal adalah ilmu dalam rangka untuk pemenuhan sarana kebutuhannya. Adapun yang ketiga adalah ruh (hati). Kebutuhan ruh (hati) adalah zikrullah. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini sangat penting, agar ruh/jiwa tetap memiliki semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan sikap tawazun (keseimbangan), manusia dapat meraih kebahagiaan hakiki yang merupakan nikmat Allah, karena pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala keseimbangan akan menempatkan umat Islam menjadi umat yang hidup seimbang, Yaitu umat yang seimbang sebagaimana penjelasan surat al_Baqarah:143.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S. AlBaqarah: 143)
Kebahagiaan pada diri manusia itu dapat berupa kebahagiaan batin/jiwa, dalam bentuk ketenangan jiwa dan Kebahagiaan zahir/gerak, dalam bentuk kesetabilan, ketenangan ibadah, bekerja dan aktivitas lainnya. Dengan menyeimbangkan dirinya, maka manusia tersebut tergolong sebagai hamba yang pandai mensyukuri nikmat Allah. Hamba/manusia seperti inilah yang disebut manusia seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.