Ilmu akhlak ialah ilmu untuk menetapkan segala perbuatan manusia. Baik atau buruknya, benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan mempergunakan ilmu akhlak sebagai petunjuknya.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan:
“Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan mereka dan menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk;
b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama;
c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat,dan
d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka dapat dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak itu ialah tindakantindakan seseorang yang dapat diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah pembahasan ilmu akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan akhlak dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu dia berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan dia tidak bisa mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun dia berhadap-hadapan dengan seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau seseorang karena digigit nyamuk, dia menamparkan pada yang digigit nyamuk tersebut.
2) Automatic action, al-a‟maalul‟aliyah
Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat. Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan dapat dimasukkan perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum akhlak baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak.
Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik apa buruk ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
(1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan
(2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya.
Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang tidak dikatakan melakukan kejahatan, karena ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang anak kecil yang main api didalam rumah hingga berakibat rumah itu terbakar, tidak dapat dikatakan bersalah, karena ia tidak tahu akibat perbuatannya itu. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa karena melanggar syariat, jika ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah menurut hukum Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan di atas Rasulullah saw. telah memberikan penjelasan bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari karena kelalaian (di luar kontrol akal normal) atau karena dipaksa, betapapun ada ukuran baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas Rasulullah Saw. telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda:
Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim karena tiga perkara: (1) orang gila hingga sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur hingga terbangun dan (3) seorang anak hingga ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi hukum dan tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang dipaksa. Namun, menurut ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdoa kepada Allah Swt, untuk minta ampun, agar Allah Swt tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga mendapat hukuman siksa. Jadi meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak.
Dalam hal ini para ahli etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut diketahui akibat-akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh karena itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta'adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan sebagainya.
b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut ta'adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak. Sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengisyaraktkan sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian ilmu akhlak dan objek kajian ilmu akhlak. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan:
“Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan mereka dan menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk;
b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama;
c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat,dan
d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka dapat dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak itu ialah tindakantindakan seseorang yang dapat diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah pembahasan ilmu akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan akhlak dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu dia berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan dia tidak bisa mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun dia berhadap-hadapan dengan seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau seseorang karena digigit nyamuk, dia menamparkan pada yang digigit nyamuk tersebut.
2) Automatic action, al-a‟maalul‟aliyah
Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat. Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan dapat dimasukkan perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum akhlak baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak.
Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik apa buruk ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
(1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan
(2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya.
Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang tidak dikatakan melakukan kejahatan, karena ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang anak kecil yang main api didalam rumah hingga berakibat rumah itu terbakar, tidak dapat dikatakan bersalah, karena ia tidak tahu akibat perbuatannya itu. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa karena melanggar syariat, jika ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah menurut hukum Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan di atas Rasulullah saw. telah memberikan penjelasan bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari karena kelalaian (di luar kontrol akal normal) atau karena dipaksa, betapapun ada ukuran baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas Rasulullah Saw. telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda:
Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim karena tiga perkara: (1) orang gila hingga sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur hingga terbangun dan (3) seorang anak hingga ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi hukum dan tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang dipaksa. Namun, menurut ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdoa kepada Allah Swt, untuk minta ampun, agar Allah Swt tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga mendapat hukuman siksa. Jadi meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak.
Dalam hal ini para ahli etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut diketahui akibat-akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh karena itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta'adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan sebagainya.
b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut ta'adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak. Sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengisyaraktkan sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.