Di bawah ini beberapa ciri-ciri dan karakteristik moderasi dalam Islam:
a. Memahami Realita
Ungkapan bijak menyatakan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tetap atau tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya dengan manusia adalah makhluk yang dianugerahi Allah potensi untuk terus berkembang. Konsekuensi dari pemberian potensi tersebut adalah bahwa manusia akan terus mengalami perubahan dan perkembangan.
Sejak periode awal perkembangan Islam, sejarah telah mencatat bahwa banyak fatwa yang berbeda karena disebabkan oleh realitas kehidupan masyarakat yang juga berbeda. Di era modern banyak dijumpai karena realitas kehidupan masyarakat yang berbeda, maka melahirkan fatwa yang juga berbeda. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di beberapa lemabaga fatwa terkemuka di Negaranegara minoritas Muslim untuk mengambil pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dari kitab-kitab fikih.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, adalah bagaimana menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara seperti Indonesia Ini. Sementara pandangan akan merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran, di antaranya Surah Al-Maidah ayat 44, 45, 47.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
"Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."
Dari ketiga ayat tersebut sekelompok ada yang memahami bahwa menerapkan hukum Allah dalam setiap aspek kehidupan termasuk bernegara adalah harga mati, maka bagi seseorang/sekelompok, yang tidak menerapkan dinilai kafir, zalim, dan fasik.
Di sisi lain ada kelompok yang memahami bahwa ketiga ayat di atas hanya ditunjukkan kepada orang Yahudi dan Nasrani bukan untuk umat Islam. Pandangan seperti ini lahir dari paradigma sekuler yang sangat berkeinginan untuk memisahkan antara urusan agama di satu sisi yang hanya menyangkut masalah pribadi dan spiritual dan masalah negara di sisi yang lain.
Kedua pandangan ekstrim tersebut akan sulit diterapkan dan diamalkan dalam konteks ke-Indonesiaan. Kesimpulan tersebut sangat tidak realistis, karena tidak memahami realitas Negara Indonesia yang dari aspek kesejarahan, komposisi, demografisnya, dan konfigurasi sosialnya berbeda dengan negara-negara lain termasuk negara yang secara resmi berdasarkan Islam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang perlu juga digarisbawahi adalah meskipun mayoritas penduduknya Muslim namun dalam pandangan politiknya beraneka ragam. Realitas lain yang harus dipahami bagi siapa pun agar terhindar dari sikap ekstrim adalah bahwa manusia adalah makhluk yang beraneka ragam jenisnya. Ini adalah sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan dan merupakan ketentuan Allah. Isyarat ini dapat ditemukan di antaranya dalam surah Al-Hujurat ayat 13:
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Suku bangsa yang berbeda-beda dan pengalaman sejarah masing-masing bangsa yang juga berbeda-beda sedikit banyak berpengaruh dalam hal mengekspresikan sikap beragama. Sebagai contoh realitas kaum Muslim Indonesia menerima ajaran Islam untuk pertama kalinya diajarkan oleh para pendakwah yang dikenal dengan walisongo yang menggunakan pendekatan kultural untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dengan pendekatan ini adalah pendekatan yang moderat karena sesuai dengan realitas masyarakat saat itu.
b. Memahami Fikih Prioritas
Ciri lain dari ajaran Islam yang moderat adalah pentingnya menetapkan prioritas dalam beramal. Dengan mengetahui tingkatan prioritas amal maka seorang Muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang lebih utama di antara yang biasa dan mana yang wajib di antara yang sunnah.
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa prioritas dalam melakukan amalan agama haruslah diketahui dan diamalkan bagi setiap Muslim. Sebagai contoh dalam hal ini antara lain adanya khilafah dalam amalan-amalan ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan masalah fikih. Seringkali seseorang bersikap ekstrim dalam berpegang kepada salah satu madzhab fikih untuk amalan yang hukumnya sunnah, dan menyalahkan pihak lain yang berbeda, sehingga memunculkan pertentangan dan permusuhan. Kalau orang tersebut memahami fikih prioritas dengan baik, maka hal itu tidak terjadi. Karena menjaga persaudaraan dengan sesama Muslim adalah wajib hukumnya, sedangkan amalan yang dipersilihkan hukumnya sunnah. Sikap moderat ajaran Islam tidak akan muncul apabila seseorang tidak memahami fikih prioritas.
c. Menghindari Fanatisme Berlebihan
Tidak jarang orang mencela sikap fanatis atau yang kemudian dikenal dengan istilah fanatisme. Celaan itu bisa pada tempatnya dan bisa juga tidak karena fantisme dalam pengertian bahasa sebagaimana oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Sifat ini bila menghiasi diri seseorang dalam agama dan keyakinan dapat dibenarkan bahkan terpuji. Untuk menghindari fanatisme yang berlebihan maka kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Maka jelaslah bahwa fanatik adalah sesuatu yang buruk. Al-Quran hadir salah satu misinya adalah untuk menghilangkan sikap fanatik tersebut.
d. Mengedepankan Prinsip Kemudahan dalam Beragama
Semua sepakat bahwa Islam adalah merupakan agama yang mudah serta mencintai dan menganjurkan kemudahan. Banyak argumen yang dapat dituliskan menyangkut hal tersebut. Secara umum para ulama membagi kemudahan ajaran Islam menjadi dua kategori yaitu:
Pertama, kemudahan yang asli; kemudahan yang memang merupakan ciri khas dari ajaran Islam yang memang moderat dan sesuai dengan naluri manusia.
Kedua, kemudahan yang dikarenakan ada sebab yang memudahkan lagi.
Sebagai contoh adalah seseorang yang sedang dalam perjalanan/musafir maka mendapat kemudahan untuk melakukan salat secara jamak dan qasar. Demikian juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi yang safar atau sakit dan masih banyak contoh lainnya.
Yang perlu dicatat bahwa kemudahan tersebut hendaklah mengikuti kaidah-kaidah dalam agama yang telah ditetapkan oleh para ulama, di antaranya adalah;
1) Benar-benar ada udzur yang membolehkannya mengambil keringanan
2) Ada dadil syar’i yang membolehkan untuk mengambil keringanan
3) Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampaui batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
Prinsip kemudahan yang diajarkan Islam ini semestinya menjadikan pemeluknya untuk dapat selalu bersikap moderat dalam mengekspresikan sikap beragamanya.
e. Memahami Teks-teks Keagamaan Secara Komprehensif
Salah satu metode tafsir yang dapat membantu menafsirkan ayat-ayat Al-Qu’an secara komprehensif adalah metode tematik. Metode ini adalah salah satu metode yang dinilai paling objektif, dikatakan objektif karena seolah Al-Quran dipersilahkan untuk menjawab secara langsung setiap masalah yang disodorkan oleh seorang mufasir.
Dengam memahami ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif maka akan menghasilkan pengertian yang lengkap dan utuh yang pada gilirannya dapat memperlihatkan ajaran Islam yang moderat.
f. Keterbukaan dalam Menyikapi Perbedaan
Ciri lain ajaran Islam yang moderat adalah sangat terbuka dalam menyikapi perbedaan baik dalam intern umat beragama maupun antar umat beragama yang berbeda. Prinsip ini didasari pada realitas bahwa perbedaan pandangan dalam kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan.
Dalam realitasnya seringkali perbedaan yang terjadi di antara manusia dapat menimbulkan permusuhan dan ini pada gilirannya akan menimbulkan kelemahan serta ketegangan antar mereka. Di sisi lain manusia dianugerahi Allah Swt kemampuan untuk dapat mengola aneka perbedaan tersebut menjadi kekuatan manakala dapat disinergikan. Untuk dapat bersinergi maka diperlukan sikap terbuka, disinilah peran ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk terus melakukan upayaupaya perbaikan guna menjadikan.
Perbedaan tersebut bukan sebagai titik awal perpecahan melainkan menjadi berkah untuk mendinamisir kehidupan manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial.
Dari analisa kebahasaan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah Swt dengan memiliki sifat ketergantungan kepada pihak lain sampai akhir perjalanan hidupnya, bahkan melampaui hidupnya di dunia ini.
g. Komitmen Terhadap Kebenaran dan Keadilan
Ciri lain ajaran Islam yang moderat adalah adanya komitmen untuk mengakkan kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan yang dimaksud bukan saja eksklusif bagi umat Islam, melainkan juga bagi seluruh manusia secara universal.
Perintah menegakkan keadilan dan larangan mengikuti hawa nafsu (semata), pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan martabat kemanusiaan sehingga tidak terjatu ke tingkat nabati atau hewani. Pengkhususan larangan tersebut kepada seorang pemimpin masyarakat dapat dipahami jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Seorang pemimpin masyarakat yang hanya mengikuti dorongan hawa nafsunya tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan martabatnya), tetapi juga dengan kepandaian dan kekuasaan yang dimilikinya akan menjadikan anggota masyarakat yang dipimpinnya sebagai korban hawa nafsunya.
Perintah untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat khususnya bagi yang memegang kekuasaan juga diisyaratkan secara eksplisit dalam surah al-Baqarah ayat 124:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (Q.S Al-Baqarah: 124)
Frase yang menunjukkan masalah ini adalah "JanjiKu (ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim". Frase ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan bukanlah sekedar hasil kesepakatan semata apalagi berdasarkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah sebuah komitmen untuk menegakkan keadilan. Setiap orang memiliki peran yang beragam dalam kehidupannya, dan pelaksanaan peran itu harus selalu didasari prinsip keadilan dan itu sama halnya berbuat baik terhadap diri sendiri.
Rincian tentang ciri dan karakteristik ajaran Islam yang moderat bukan hanya dibatasi pada poin-poin di atas, namun secara garis besar apa yang telah dipaparkan dapat menjelaskan ciri utama ajaran Islam yang moderat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang ciri-ciri dan karakteristik tawasuth dalam Islam. Sumber Modul 4 Konsep Tawassuth, Tawazun dan Tasamuh dalam Al Quran Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
a. Memahami Realita
Ungkapan bijak menyatakan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tetap atau tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya dengan manusia adalah makhluk yang dianugerahi Allah potensi untuk terus berkembang. Konsekuensi dari pemberian potensi tersebut adalah bahwa manusia akan terus mengalami perubahan dan perkembangan.
Sejak periode awal perkembangan Islam, sejarah telah mencatat bahwa banyak fatwa yang berbeda karena disebabkan oleh realitas kehidupan masyarakat yang juga berbeda. Di era modern banyak dijumpai karena realitas kehidupan masyarakat yang berbeda, maka melahirkan fatwa yang juga berbeda. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di beberapa lemabaga fatwa terkemuka di Negaranegara minoritas Muslim untuk mengambil pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini dipahami dari kitab-kitab fikih.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, adalah bagaimana menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara seperti Indonesia Ini. Sementara pandangan akan merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran, di antaranya Surah Al-Maidah ayat 44, 45, 47.
إِنَّآ أَنزَلْنَا ٱلتَّوْرَىٰةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسْلَمُوا۟ لِلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ بِمَا ٱسْتُحْفِظُوا۟ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُوا۟ عَلَيْهِ شُهَدَآءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ ٱلْإِنجِيلِ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فِيهِ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
"Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."
Dari ketiga ayat tersebut sekelompok ada yang memahami bahwa menerapkan hukum Allah dalam setiap aspek kehidupan termasuk bernegara adalah harga mati, maka bagi seseorang/sekelompok, yang tidak menerapkan dinilai kafir, zalim, dan fasik.
Di sisi lain ada kelompok yang memahami bahwa ketiga ayat di atas hanya ditunjukkan kepada orang Yahudi dan Nasrani bukan untuk umat Islam. Pandangan seperti ini lahir dari paradigma sekuler yang sangat berkeinginan untuk memisahkan antara urusan agama di satu sisi yang hanya menyangkut masalah pribadi dan spiritual dan masalah negara di sisi yang lain.
Kedua pandangan ekstrim tersebut akan sulit diterapkan dan diamalkan dalam konteks ke-Indonesiaan. Kesimpulan tersebut sangat tidak realistis, karena tidak memahami realitas Negara Indonesia yang dari aspek kesejarahan, komposisi, demografisnya, dan konfigurasi sosialnya berbeda dengan negara-negara lain termasuk negara yang secara resmi berdasarkan Islam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang perlu juga digarisbawahi adalah meskipun mayoritas penduduknya Muslim namun dalam pandangan politiknya beraneka ragam. Realitas lain yang harus dipahami bagi siapa pun agar terhindar dari sikap ekstrim adalah bahwa manusia adalah makhluk yang beraneka ragam jenisnya. Ini adalah sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan dan merupakan ketentuan Allah. Isyarat ini dapat ditemukan di antaranya dalam surah Al-Hujurat ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Suku bangsa yang berbeda-beda dan pengalaman sejarah masing-masing bangsa yang juga berbeda-beda sedikit banyak berpengaruh dalam hal mengekspresikan sikap beragama. Sebagai contoh realitas kaum Muslim Indonesia menerima ajaran Islam untuk pertama kalinya diajarkan oleh para pendakwah yang dikenal dengan walisongo yang menggunakan pendekatan kultural untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dengan pendekatan ini adalah pendekatan yang moderat karena sesuai dengan realitas masyarakat saat itu.
b. Memahami Fikih Prioritas
Ciri lain dari ajaran Islam yang moderat adalah pentingnya menetapkan prioritas dalam beramal. Dengan mengetahui tingkatan prioritas amal maka seorang Muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang lebih utama di antara yang biasa dan mana yang wajib di antara yang sunnah.
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa prioritas dalam melakukan amalan agama haruslah diketahui dan diamalkan bagi setiap Muslim. Sebagai contoh dalam hal ini antara lain adanya khilafah dalam amalan-amalan ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan masalah fikih. Seringkali seseorang bersikap ekstrim dalam berpegang kepada salah satu madzhab fikih untuk amalan yang hukumnya sunnah, dan menyalahkan pihak lain yang berbeda, sehingga memunculkan pertentangan dan permusuhan. Kalau orang tersebut memahami fikih prioritas dengan baik, maka hal itu tidak terjadi. Karena menjaga persaudaraan dengan sesama Muslim adalah wajib hukumnya, sedangkan amalan yang dipersilihkan hukumnya sunnah. Sikap moderat ajaran Islam tidak akan muncul apabila seseorang tidak memahami fikih prioritas.
c. Menghindari Fanatisme Berlebihan
Tidak jarang orang mencela sikap fanatis atau yang kemudian dikenal dengan istilah fanatisme. Celaan itu bisa pada tempatnya dan bisa juga tidak karena fantisme dalam pengertian bahasa sebagaimana oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Sifat ini bila menghiasi diri seseorang dalam agama dan keyakinan dapat dibenarkan bahkan terpuji. Untuk menghindari fanatisme yang berlebihan maka kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Maka jelaslah bahwa fanatik adalah sesuatu yang buruk. Al-Quran hadir salah satu misinya adalah untuk menghilangkan sikap fanatik tersebut.
d. Mengedepankan Prinsip Kemudahan dalam Beragama
Semua sepakat bahwa Islam adalah merupakan agama yang mudah serta mencintai dan menganjurkan kemudahan. Banyak argumen yang dapat dituliskan menyangkut hal tersebut. Secara umum para ulama membagi kemudahan ajaran Islam menjadi dua kategori yaitu:
Pertama, kemudahan yang asli; kemudahan yang memang merupakan ciri khas dari ajaran Islam yang memang moderat dan sesuai dengan naluri manusia.
Kedua, kemudahan yang dikarenakan ada sebab yang memudahkan lagi.
Sebagai contoh adalah seseorang yang sedang dalam perjalanan/musafir maka mendapat kemudahan untuk melakukan salat secara jamak dan qasar. Demikian juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi yang safar atau sakit dan masih banyak contoh lainnya.
Yang perlu dicatat bahwa kemudahan tersebut hendaklah mengikuti kaidah-kaidah dalam agama yang telah ditetapkan oleh para ulama, di antaranya adalah;
1) Benar-benar ada udzur yang membolehkannya mengambil keringanan
2) Ada dadil syar’i yang membolehkan untuk mengambil keringanan
3) Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampaui batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
Prinsip kemudahan yang diajarkan Islam ini semestinya menjadikan pemeluknya untuk dapat selalu bersikap moderat dalam mengekspresikan sikap beragamanya.
e. Memahami Teks-teks Keagamaan Secara Komprehensif
Salah satu metode tafsir yang dapat membantu menafsirkan ayat-ayat Al-Qu’an secara komprehensif adalah metode tematik. Metode ini adalah salah satu metode yang dinilai paling objektif, dikatakan objektif karena seolah Al-Quran dipersilahkan untuk menjawab secara langsung setiap masalah yang disodorkan oleh seorang mufasir.
Dengam memahami ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif maka akan menghasilkan pengertian yang lengkap dan utuh yang pada gilirannya dapat memperlihatkan ajaran Islam yang moderat.
f. Keterbukaan dalam Menyikapi Perbedaan
Ciri lain ajaran Islam yang moderat adalah sangat terbuka dalam menyikapi perbedaan baik dalam intern umat beragama maupun antar umat beragama yang berbeda. Prinsip ini didasari pada realitas bahwa perbedaan pandangan dalam kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan.
Dalam realitasnya seringkali perbedaan yang terjadi di antara manusia dapat menimbulkan permusuhan dan ini pada gilirannya akan menimbulkan kelemahan serta ketegangan antar mereka. Di sisi lain manusia dianugerahi Allah Swt kemampuan untuk dapat mengola aneka perbedaan tersebut menjadi kekuatan manakala dapat disinergikan. Untuk dapat bersinergi maka diperlukan sikap terbuka, disinilah peran ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk terus melakukan upayaupaya perbaikan guna menjadikan.
Perbedaan tersebut bukan sebagai titik awal perpecahan melainkan menjadi berkah untuk mendinamisir kehidupan manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial.
Dari analisa kebahasaan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah Swt dengan memiliki sifat ketergantungan kepada pihak lain sampai akhir perjalanan hidupnya, bahkan melampaui hidupnya di dunia ini.
g. Komitmen Terhadap Kebenaran dan Keadilan
Ciri lain ajaran Islam yang moderat adalah adanya komitmen untuk mengakkan kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan yang dimaksud bukan saja eksklusif bagi umat Islam, melainkan juga bagi seluruh manusia secara universal.
Perintah menegakkan keadilan dan larangan mengikuti hawa nafsu (semata), pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan martabat kemanusiaan sehingga tidak terjatu ke tingkat nabati atau hewani. Pengkhususan larangan tersebut kepada seorang pemimpin masyarakat dapat dipahami jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Seorang pemimpin masyarakat yang hanya mengikuti dorongan hawa nafsunya tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan martabatnya), tetapi juga dengan kepandaian dan kekuasaan yang dimilikinya akan menjadikan anggota masyarakat yang dipimpinnya sebagai korban hawa nafsunya.
Perintah untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat khususnya bagi yang memegang kekuasaan juga diisyaratkan secara eksplisit dalam surah al-Baqarah ayat 124:
وَإِذِ ٱبْتَلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِى ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (Q.S Al-Baqarah: 124)
Frase yang menunjukkan masalah ini adalah "JanjiKu (ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim". Frase ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan bukanlah sekedar hasil kesepakatan semata apalagi berdasarkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah sebuah komitmen untuk menegakkan keadilan. Setiap orang memiliki peran yang beragam dalam kehidupannya, dan pelaksanaan peran itu harus selalu didasari prinsip keadilan dan itu sama halnya berbuat baik terhadap diri sendiri.
Rincian tentang ciri dan karakteristik ajaran Islam yang moderat bukan hanya dibatasi pada poin-poin di atas, namun secara garis besar apa yang telah dipaparkan dapat menjelaskan ciri utama ajaran Islam yang moderat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.