Perkembangan Islam Periode Makkah
Nabi Muhammad adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan Siqayah. Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun Gajah (570 M.). Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerbu untuk menghancurkan Ka’bah.
Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim, ayahnya, Abdullah meninggal dunia tiga bulan ketika Muhammad dalam kandungan ibunya. Ketika lahir Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannya, ia dibesarkan sampai umur empat tahun. Setelah itu, kurang lebih dua tahun dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia, sehingga dia menjadi yatim piatu. Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad, namun dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Setelah itu tanggung jawab merawat Muhammad beralih kepada pamannya Abu Thalib. Abu Thalib sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan, tapi dia miskin.
Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Pada usia 12 tahun Muhammad menemani pamannya pergi berdagang ke Syiria. Dalam perjalanan ke Syiria ia bertemu dengan seorang pendeta Kristen yang bernama Buhaira yang meyakini Muhammad sebagai calon Rasul akhir zaman. Pendeta itu memberi nasehat kepada Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syiria, sebab dikawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat kepadanya. Pada saat itu Muhammad tidak mengikuti tradisi bangsa Arab yang menyembah berhala, Muhammad sering berpikir dan merenung, hal ini yang membuatnya terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda ia dijuluki al-amin, orang yang dapat dipercaya.
Pada usia 25 tahun, Muhammad berangkat ke Syiria membawa dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda bernama Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar dan kemudian Khadijah melamarnya, maka menikahlah Muhammad yang pada waktu itu berusia 25 tahun dengan Khadijah berusia 40 tahun.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat, perbaikan Ka’bah dilakukan secara bergotong royong, para penduduk Makkah membantu secara suka rela. Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakannya hajar aswad di tempatnya semula timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat itu. Perselisihan semakin memuncak, namun pada akhirnya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk masjid esok hari, dialah yang berhak meletakkan hajar aswad. Ternyata tidak satupun di antara mereka yang masuk masjid lebih dahulu daripada Muhammad. Oleh karena itu Muhammad berhak meletakkan hajar aswad ke tempatnya semula. Walaupun demikian, dengan sifat kearifannya, Muhammad membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-surbannya, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkat bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu kemudian Muhammad meletakkan pada tempatnya semula. Dengan demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana, dan semua kepala suku merasa puas dengan cara penyelesaian semacam itu.
Dengan peristiwa yang penting itu, kita dapat mengetahui bahwa itu merupakan perjuangan Muhammad dalam menyelesaikan sebuah perselisihan yang terjadi pada kaum Quraisy. Sehingga Muhammad dipercaya menjadi hakim dan diberi gelar “al-Amin”.
Menjelang usianya yang ke empat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer letaknya dari Makkah. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Alaq [96]: 1-5).
Nabi Muhammad juga disebut Nabi yang ummi. Menurut salah satu riwayat, ketika Malaikat menyampaikan wahyu yang pertama tersebut kepada Nabi Muhammad sempat diulang beberapa kali; Iqra’ ya Muhammad, Iqra’ ya Muhammad, Iqra’ ya Muhammad. Baru kemudian Malaikan Jibril menuntun Nabi untuk membaca. Dari kasus ini, sebagian sejarawan menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah ummi, dalam arti tidak dapat membaca dan menulis. Bahkan ditambahkan bahwa kondisi Nabi yang ummi ini merupakan mukjizat dari Allah untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah, bukan karangan Muhammad, karena Muhammad tidak dapat membaca dan menulis.
Padahal konsep ummi dalam budaya Arab tidak hanya bermakna tidak bisa membaca dan menulis. Pemahaman bahwa Rasulullah tidak mampu baca-tulis perlu dicermati kembali. Kalau ada ummat yang bangga menerima kenyataan bahwa pemimpin atau nabinya sebagai sosok yang buta huruf, itulah umat Islam. Apakah Nabi pernah menyatakan dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan menulis sejak kecil hingga akhir hayatnya? Lalu jika ada anggapan ia mampu membaca dan menulis, apakah akan mengurangi keabsahan mukjizat dan posisinya sebagai utusan Allah?
Menurut al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tetapi ketika menyangkut Nabi Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”, termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya. Selain itu, kata “ummi” di situ juga bisamerujuk pada kata “umm” atau ibu kandung. Jadi maknanya adalah “orang-orang yang seperti masih dikandung oleh rahim ibunya, sehingga belum tahu apa-apa”. Bisa juga ditafsiri bahwa yang ummi dalam arti illiterate adalah kaumnya, bukan Nabinya, yakni Nabi Muhammad yang menjadi Rasul bagi kaum yang kebanyakan masih buta huruf. Al-Maqdisi hendak menunjukkan bukti-bukti autentik yang menunjukkan fakta sebaliknya bahwa Rasulullah adalah sosok yang justru pintar membaca dan menulis. Antara lain, sebuah Hadits yang diuangkapkan Zaid bin Tsabit bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “Jika kamu menulis kalimat Bismimillahirrahmaniraohim, maka perjelaslah huruf sin di situ”.
Menurut al-Maqdisi, kalau untuk soal huruf saja ia memperhatikan, ibarat seorang editor naskah, mungkinkah Nabi Muhammad seorang yang buta huruf? Tak pelak, penelitian al-Maqdisi ini mematahkan semua kekeliruan sejarah ini.
Pandangan serupa telah pula dilontarkan oleh pemikir Muslim lainnya. Diantaranya adalah Muhammad Syahrur penulis buku al-Kitab wa al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis. Demikian pulan pernyataan dari Abdul Karim al-Hariri, penulis buku al-Nabiyul Ummi, bahwa makna kata ummi bukanlah tidak mampu membaca dan menulis, tapi merujuk pada kata umm (ibu kandung).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah Nabi Muhammad sebelum masa kerasulan. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Nabi Muhammad adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan Siqayah. Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun Gajah (570 M.). Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerbu untuk menghancurkan Ka’bah.
Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim, ayahnya, Abdullah meninggal dunia tiga bulan ketika Muhammad dalam kandungan ibunya. Ketika lahir Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannya, ia dibesarkan sampai umur empat tahun. Setelah itu, kurang lebih dua tahun dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia, sehingga dia menjadi yatim piatu. Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad, namun dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Setelah itu tanggung jawab merawat Muhammad beralih kepada pamannya Abu Thalib. Abu Thalib sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan, tapi dia miskin.
Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Pada usia 12 tahun Muhammad menemani pamannya pergi berdagang ke Syiria. Dalam perjalanan ke Syiria ia bertemu dengan seorang pendeta Kristen yang bernama Buhaira yang meyakini Muhammad sebagai calon Rasul akhir zaman. Pendeta itu memberi nasehat kepada Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syiria, sebab dikawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat kepadanya. Pada saat itu Muhammad tidak mengikuti tradisi bangsa Arab yang menyembah berhala, Muhammad sering berpikir dan merenung, hal ini yang membuatnya terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda ia dijuluki al-amin, orang yang dapat dipercaya.
Pada usia 25 tahun, Muhammad berangkat ke Syiria membawa dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda bernama Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar dan kemudian Khadijah melamarnya, maka menikahlah Muhammad yang pada waktu itu berusia 25 tahun dengan Khadijah berusia 40 tahun.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat, perbaikan Ka’bah dilakukan secara bergotong royong, para penduduk Makkah membantu secara suka rela. Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakannya hajar aswad di tempatnya semula timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat itu. Perselisihan semakin memuncak, namun pada akhirnya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk masjid esok hari, dialah yang berhak meletakkan hajar aswad. Ternyata tidak satupun di antara mereka yang masuk masjid lebih dahulu daripada Muhammad. Oleh karena itu Muhammad berhak meletakkan hajar aswad ke tempatnya semula. Walaupun demikian, dengan sifat kearifannya, Muhammad membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-surbannya, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkat bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu kemudian Muhammad meletakkan pada tempatnya semula. Dengan demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana, dan semua kepala suku merasa puas dengan cara penyelesaian semacam itu.
Dengan peristiwa yang penting itu, kita dapat mengetahui bahwa itu merupakan perjuangan Muhammad dalam menyelesaikan sebuah perselisihan yang terjadi pada kaum Quraisy. Sehingga Muhammad dipercaya menjadi hakim dan diberi gelar “al-Amin”.
Menjelang usianya yang ke empat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer letaknya dari Makkah. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ .خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ .اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Alaq [96]: 1-5).
Nabi Muhammad juga disebut Nabi yang ummi. Menurut salah satu riwayat, ketika Malaikat menyampaikan wahyu yang pertama tersebut kepada Nabi Muhammad sempat diulang beberapa kali; Iqra’ ya Muhammad, Iqra’ ya Muhammad, Iqra’ ya Muhammad. Baru kemudian Malaikan Jibril menuntun Nabi untuk membaca. Dari kasus ini, sebagian sejarawan menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah ummi, dalam arti tidak dapat membaca dan menulis. Bahkan ditambahkan bahwa kondisi Nabi yang ummi ini merupakan mukjizat dari Allah untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah, bukan karangan Muhammad, karena Muhammad tidak dapat membaca dan menulis.
Padahal konsep ummi dalam budaya Arab tidak hanya bermakna tidak bisa membaca dan menulis. Pemahaman bahwa Rasulullah tidak mampu baca-tulis perlu dicermati kembali. Kalau ada ummat yang bangga menerima kenyataan bahwa pemimpin atau nabinya sebagai sosok yang buta huruf, itulah umat Islam. Apakah Nabi pernah menyatakan dirinya betul-betul tidak mampu membaca dan menulis sejak kecil hingga akhir hayatnya? Lalu jika ada anggapan ia mampu membaca dan menulis, apakah akan mengurangi keabsahan mukjizat dan posisinya sebagai utusan Allah?
Menurut al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tetapi ketika menyangkut Nabi Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”, termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya. Selain itu, kata “ummi” di situ juga bisamerujuk pada kata “umm” atau ibu kandung. Jadi maknanya adalah “orang-orang yang seperti masih dikandung oleh rahim ibunya, sehingga belum tahu apa-apa”. Bisa juga ditafsiri bahwa yang ummi dalam arti illiterate adalah kaumnya, bukan Nabinya, yakni Nabi Muhammad yang menjadi Rasul bagi kaum yang kebanyakan masih buta huruf. Al-Maqdisi hendak menunjukkan bukti-bukti autentik yang menunjukkan fakta sebaliknya bahwa Rasulullah adalah sosok yang justru pintar membaca dan menulis. Antara lain, sebuah Hadits yang diuangkapkan Zaid bin Tsabit bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “Jika kamu menulis kalimat Bismimillahirrahmaniraohim, maka perjelaslah huruf sin di situ”.
Menurut al-Maqdisi, kalau untuk soal huruf saja ia memperhatikan, ibarat seorang editor naskah, mungkinkah Nabi Muhammad seorang yang buta huruf? Tak pelak, penelitian al-Maqdisi ini mematahkan semua kekeliruan sejarah ini.
Pandangan serupa telah pula dilontarkan oleh pemikir Muslim lainnya. Diantaranya adalah Muhammad Syahrur penulis buku al-Kitab wa al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis. Demikian pulan pernyataan dari Abdul Karim al-Hariri, penulis buku al-Nabiyul Ummi, bahwa makna kata ummi bukanlah tidak mampu membaca dan menulis, tapi merujuk pada kata umm (ibu kandung).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah Nabi Muhammad sebelum masa kerasulan. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.