A. Pengertian Tahammul wal Ada’ (Tahammul al-Hadis dan Ada’ al-Hadis)
Pengertian tahammul al-hadis dan ada’ al-hadis ada yang menurut bahasa dan juga istilah. Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madly ح حَّمل yang حَت berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara kesuluruhan menurut bahasa tahammul al-hadis adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tahammul al-hadis menurut istilah ulama ahli hadis adalah: تلقى احلديث واخذه عن الشيوخ
“Tahammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syekh atau guru.” Sedangkan pengertian ada’ al-hadis menurut bahasa ‘ada adalah menyampaikan. Berarti secara bahasa ada’ al-hadis adalah menyampaikan hadis.
Sedangkan ada’ al-hadis menurut istilah adalah meriwayatkan hadis dan memberikannya pada para murid. Ada’ al-hadis juga bias diartikan sebgai proses mereportasekan hadis setelah ia menerimanya dari seorang guru. Karena tidak semua orang bias menyampaikan hadis kepada orang lain, dalam hal ini mayoritas ulama hadis, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan criteria bagi pewaris hadis.
Terdapat istilah lain dalam ilmu hadis yang disebut dengan al-tahammul dan al-ada’. al-Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain dengan cara-cara tertentu.
B. Syarat-Syarat Perawi dalam Tahammul wal Ada’ Hadis
1. Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadis
Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.
Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis:
1) Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental
Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.
Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.
3) Tamyiz
Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
2. Syarat perawi dalam ada’ al-hadis
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah:
1) Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam.
2) Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih.
3) Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri (muru’ah) sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat ‘adalahnya seorang rawi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat ‘adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (جمهول.
4) Dlabit
Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu:
a) Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
b) Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.
Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian Tahammul al-Hadis dan Ada’ al-Hadis serta syarat-syarat perawi dalam Tahammul wal Ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Al-Qur’an Hadits PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Pengertian tahammul al-hadis dan ada’ al-hadis ada yang menurut bahasa dan juga istilah. Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madly ح حَّمل yang حَت berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara kesuluruhan menurut bahasa tahammul al-hadis adalah menerima hadis atau menanggung hadis. Sedangkan tahammul al-hadis menurut istilah ulama ahli hadis adalah: تلقى احلديث واخذه عن الشيوخ
“Tahammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syekh atau guru.” Sedangkan pengertian ada’ al-hadis menurut bahasa ‘ada adalah menyampaikan. Berarti secara bahasa ada’ al-hadis adalah menyampaikan hadis.
Sedangkan ada’ al-hadis menurut istilah adalah meriwayatkan hadis dan memberikannya pada para murid. Ada’ al-hadis juga bias diartikan sebgai proses mereportasekan hadis setelah ia menerimanya dari seorang guru. Karena tidak semua orang bias menyampaikan hadis kepada orang lain, dalam hal ini mayoritas ulama hadis, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan criteria bagi pewaris hadis.
Terdapat istilah lain dalam ilmu hadis yang disebut dengan al-tahammul dan al-ada’. al-Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain dengan cara-cara tertentu.
B. Syarat-Syarat Perawi dalam Tahammul wal Ada’ Hadis
1. Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadis
Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.
Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis:
1) Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental
Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.
Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.
3) Tamyiz
Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
2. Syarat perawi dalam ada’ al-hadis
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah:
1) Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam.
2) Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih.
3) Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri (muru’ah) sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat ‘adalahnya seorang rawi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat ‘adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (جمهول.
4) Dlabit
Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu:
a) Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
b) Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.
Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.