Perdebatan ulama tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak sejatinya mencerminkan hubungan dua kewajiban tersebut. Namun, penting kiranya mengetahui posisi pajak dalam Islam, sebagaimana pada bab sebelumnya kita telah mempelajari kedudukan atau posisi zakat dalam ajaran Islam.
Abdurrahman Navis mengatakan bahwa pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Negara dapat menampilkan dirinya sebagai penguasa yang bisa mengatur rakyat dan warga negaranya untuk mengeluarkan pajak. Di sini sudah mulai tegas bahwa pajak dibuat oleh negara, sedangkan zakat datang dari agama.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penguasa tentu saja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam artian, pajak yang ditetapkan oleh penguasa harus mengikuti norma hukum. Sedangkan hukum negara itu sendiri adalah hasil keputusan bersama para wakil rakyat di dewan legeslatif.
Dalam ajaran Islam, pajak sering diistilahkan dengan al-dharibah. Kata ini memiliki bentuk jamak berupa al-dharaib. Sebutan lain dari para ulama untuk pajak ini adalah al-muks. Namun begitu, jangan sampai dikacaukan dengan konteks lain, dimana Islam memperkenalkan istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak. Istilah istilah ini berbeda satu sama lain, sekalipun pada aspek lahiriah yang kasat mata hampir serupa. Tetapi, secara substansi berbeda mencolok.
Pertama, al-jizyah, yaitu upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam. Upeti ini sebagai bentuk ketundukan, jaminan tidak ada perlawanan dan pengkhianatan, komitmen untuk hidup akur, harmonis, dan bersama-sama.
Kedua, al-kharaj yaitu pajak bumi yang dimiliki oleh negara. Suatu negara pasti memiliki batasan wilayah. Seluruh tanah yang ada di wilayah tersebut adalah milik negara, sehingga penduduk yang menempatinya wajib membayar kharraj. Dalam bahasa kita, kharraj adalah pajak bumi.
Ketiga, al-usyr yaitu bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam. Dalam sejarah Islam, ada praktek al-‘usyr yang berarti bea cukai yang diterapkan penguasa Islam kepada pedagang non-muslim.
Semua jenis pemungutan uang, baik berupa al-usyr, al-kharraj dan al-jizyah adalah perkara berbeda dibanding dengan zakat. Dalam Islam, zakat adalah pemungutan sebagian harta untuk diserahkan kepada golongan-golongan tertentu yang sudah ditetapkan. Zakat hanya diwajibkan kepada umat muslim, tetapi jizyah dan usyr diwajibkan kepada non muslim dengan catatan tertentu; jizyah bagi non-muslim sebagai bentuk ketundukan, sedangkan usyr sebagai bayaran dalam konteks perdagangan.
Penting kiranya kita belajar tentang beberapa perbedaan ulama berikut ini. Sebab, tidak semua ulama sepakat pajak diwajibkan kepada umat muslim. Sebagian ulama mengatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Apa yang dikemukakan oleh sebagian ulama ini memiliki landasan syariat. Sebuah hadis diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat” (HR Ibnu Majah, No 1779).
Perbuatan menarik pajak hampir serupa dengan perbuatan zina. Jika seorang perempuan berhenti berzina disebut bertaubat, maka seorang penarik pajak yang berhenti dari pekerjaannya juga disebut bertaubat. Dengan kata lain, pemungutan pajak dan zina hampir serupa. Dari sini ulama berpendapat, pajak tidak wajib bagi umat muslim karena sudah dibebani zakat.
Ada juga hadis dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya mendengar Rasul saw. bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak. (HR Abu Daud, No: 2548)
Semua dalil di atas adalah landasan syariat ulama yang menolak pajak. Dari beberapa dalil di atas, banyak ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zalim sebagai perbuatan dosa besar. Sebab, satu-satunya kewajiban umat muslim berkaitan dengan harta adalah zakat, bukan pajak.
Pandangan bahwa pajak tidak bisa disepadankan dengan zakat, pandangan bahwa pajak bukan zakat, dan bahwa pajak haram sedangkan zakat adalah wajib, didukung oleh Imam Dzahabi dalam Al-Kabair.
Kedua, para ulama menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin. Tentu saja kebolehan umat muslim dibebani pajak jika negara dalam situasi sangat membutuhkan dana. Sangat mungkin suatu saat nanti negara dalam kondisi sangat terpuruk karena salah kelola maka menerapkan pajak pada umat muslim diperbolehkan.
Untuk menerapkan kebijakan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Di antara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi, dan Imam Ibnu Hazm. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, No: 595 dan Darimi, No : 1581, di dalamnya ada rawi Abu Hamzah (Maimun). Menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dhaif hadis dan menurut Imam Bukhari dia tidak cerdas).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hubungan Zakat dan Pajak. Sumber Pendalaman Materi Fikih Modul 3 Penyusun: Muh. Shabir Umar Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Abdurrahman Navis mengatakan bahwa pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Negara dapat menampilkan dirinya sebagai penguasa yang bisa mengatur rakyat dan warga negaranya untuk mengeluarkan pajak. Di sini sudah mulai tegas bahwa pajak dibuat oleh negara, sedangkan zakat datang dari agama.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penguasa tentu saja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam artian, pajak yang ditetapkan oleh penguasa harus mengikuti norma hukum. Sedangkan hukum negara itu sendiri adalah hasil keputusan bersama para wakil rakyat di dewan legeslatif.
Dalam ajaran Islam, pajak sering diistilahkan dengan al-dharibah. Kata ini memiliki bentuk jamak berupa al-dharaib. Sebutan lain dari para ulama untuk pajak ini adalah al-muks. Namun begitu, jangan sampai dikacaukan dengan konteks lain, dimana Islam memperkenalkan istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak. Istilah istilah ini berbeda satu sama lain, sekalipun pada aspek lahiriah yang kasat mata hampir serupa. Tetapi, secara substansi berbeda mencolok.
Pertama, al-jizyah, yaitu upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam. Upeti ini sebagai bentuk ketundukan, jaminan tidak ada perlawanan dan pengkhianatan, komitmen untuk hidup akur, harmonis, dan bersama-sama.
Kedua, al-kharaj yaitu pajak bumi yang dimiliki oleh negara. Suatu negara pasti memiliki batasan wilayah. Seluruh tanah yang ada di wilayah tersebut adalah milik negara, sehingga penduduk yang menempatinya wajib membayar kharraj. Dalam bahasa kita, kharraj adalah pajak bumi.
Ketiga, al-usyr yaitu bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam. Dalam sejarah Islam, ada praktek al-‘usyr yang berarti bea cukai yang diterapkan penguasa Islam kepada pedagang non-muslim.
Semua jenis pemungutan uang, baik berupa al-usyr, al-kharraj dan al-jizyah adalah perkara berbeda dibanding dengan zakat. Dalam Islam, zakat adalah pemungutan sebagian harta untuk diserahkan kepada golongan-golongan tertentu yang sudah ditetapkan. Zakat hanya diwajibkan kepada umat muslim, tetapi jizyah dan usyr diwajibkan kepada non muslim dengan catatan tertentu; jizyah bagi non-muslim sebagai bentuk ketundukan, sedangkan usyr sebagai bayaran dalam konteks perdagangan.
Penting kiranya kita belajar tentang beberapa perbedaan ulama berikut ini. Sebab, tidak semua ulama sepakat pajak diwajibkan kepada umat muslim. Sebagian ulama mengatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Apa yang dikemukakan oleh sebagian ulama ini memiliki landasan syariat. Sebuah hadis diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat” (HR Ibnu Majah, No 1779).
Perbuatan menarik pajak hampir serupa dengan perbuatan zina. Jika seorang perempuan berhenti berzina disebut bertaubat, maka seorang penarik pajak yang berhenti dari pekerjaannya juga disebut bertaubat. Dengan kata lain, pemungutan pajak dan zina hampir serupa. Dari sini ulama berpendapat, pajak tidak wajib bagi umat muslim karena sudah dibebani zakat.
Ada juga hadis dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya mendengar Rasul saw. bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak. (HR Abu Daud, No: 2548)
Semua dalil di atas adalah landasan syariat ulama yang menolak pajak. Dari beberapa dalil di atas, banyak ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zalim sebagai perbuatan dosa besar. Sebab, satu-satunya kewajiban umat muslim berkaitan dengan harta adalah zakat, bukan pajak.
Pandangan bahwa pajak tidak bisa disepadankan dengan zakat, pandangan bahwa pajak bukan zakat, dan bahwa pajak haram sedangkan zakat adalah wajib, didukung oleh Imam Dzahabi dalam Al-Kabair.
Kedua, para ulama menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin. Tentu saja kebolehan umat muslim dibebani pajak jika negara dalam situasi sangat membutuhkan dana. Sangat mungkin suatu saat nanti negara dalam kondisi sangat terpuruk karena salah kelola maka menerapkan pajak pada umat muslim diperbolehkan.
Untuk menerapkan kebijakan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Di antara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi, dan Imam Ibnu Hazm. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, No: 595 dan Darimi, No : 1581, di dalamnya ada rawi Abu Hamzah (Maimun). Menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dhaif hadis dan menurut Imam Bukhari dia tidak cerdas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.