Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang. Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah Swt karena ketakwaannya.
Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para Wali. Walisongo "berarti sembilan orang wali"
Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara sejak abad ke-7 Masehi, namun baru diminati oleh penduduk asing dari China, Arab dan Persia. Baru pada akhir abad ke-15 hingga paruh abad ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam yang berjuluk Wali Songo berhasil mengislamkan penduduk pribumi dengan metode dakwah yang khas, tanpa menimbulkan pergolakan dan penolakan.
Wali Songo berhasil menjelaskan apa itu Islam dan seluk-beluknya dengan perangkat-perangkat budaya yang ada dan dapat dihayati oleh masyarakat. Islam “dibumikan” dengan prinsip bil hikmah wal mauidzatil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan. Penjelasan mengenai Islam dikemas secara sederhana yang dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat.
Misalnya Sunan Giri bertugas menjelaskan siklus perhitungan kalender dan perubahan hari. Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah. Sunan Kudus mengajarkan cara membuat keris dan kerajinan emas.
Hal penting yang perlu dicatat dalam sukses dakwah Wali Songo adalah corak sufistik dalam ajaran-ajaran mereka. Istilah “wali” itu sendiri sangat lekat dengan kaum sufi atau kajian tasawuf. Corak sufistik dalam hal ini dapat diperbandingkan dengan corak fikih yang serba “hitam-putih”. Ajaran sufi lebih terbuka, luwes dan adaptif dalam menyikapi keberadaan ajaran di luar Islam. Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu Tembang Pangkur.
Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya. Walisongo dikenal sangat peka beradaptasi. Cara mereka menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah.
Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan ‘sembahyang’ yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, seperti Masjid Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, sebagai pusat pendidikan agama Islam.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang strategi dakwah Wali Songo. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para Wali. Walisongo "berarti sembilan orang wali"
Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara sejak abad ke-7 Masehi, namun baru diminati oleh penduduk asing dari China, Arab dan Persia. Baru pada akhir abad ke-15 hingga paruh abad ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam yang berjuluk Wali Songo berhasil mengislamkan penduduk pribumi dengan metode dakwah yang khas, tanpa menimbulkan pergolakan dan penolakan.
Wali Songo berhasil menjelaskan apa itu Islam dan seluk-beluknya dengan perangkat-perangkat budaya yang ada dan dapat dihayati oleh masyarakat. Islam “dibumikan” dengan prinsip bil hikmah wal mauidzatil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan. Penjelasan mengenai Islam dikemas secara sederhana yang dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat.
Misalnya Sunan Giri bertugas menjelaskan siklus perhitungan kalender dan perubahan hari. Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah. Sunan Kudus mengajarkan cara membuat keris dan kerajinan emas.
Hal penting yang perlu dicatat dalam sukses dakwah Wali Songo adalah corak sufistik dalam ajaran-ajaran mereka. Istilah “wali” itu sendiri sangat lekat dengan kaum sufi atau kajian tasawuf. Corak sufistik dalam hal ini dapat diperbandingkan dengan corak fikih yang serba “hitam-putih”. Ajaran sufi lebih terbuka, luwes dan adaptif dalam menyikapi keberadaan ajaran di luar Islam. Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu Tembang Pangkur.
Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya. Walisongo dikenal sangat peka beradaptasi. Cara mereka menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah.
Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan ‘sembahyang’ yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, seperti Masjid Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, sebagai pusat pendidikan agama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.