Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim Asy’ari telah mengenyam pendidikan pesantren sejak kecil. Sebelum dia berumur 6 tahun, Kiai Utsman-lah yang mendidiknya. Pada tahun 1876, saat berusia 6 tahun, Hasyim Asy’ari harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya pindah ke Keras, sebuah desa kecil yang terletak di Selatan kota Jombang. Di desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakannya untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren.
Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama secara lebih intensif oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santrinya. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan para santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Hingga usia 15 tahun, selain mempelajari dasar-dasar ke Islaman, dibawah didikan orang tuanya ia juga digembleng menghafal dan memahami al-Qur’an. Hasyim Asy’ari merupakan seorang santri yang cerdas, ia selalu menguasai apa pun yang diajarkan oleh sang ayah, serta selalu melakukan mothola’ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang bahkan belum pernah diajarkan oleh ayahnya. Karena alasan terakhir inilah, meski masih berusia 12 tahun ia mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama lainnya pada tingkat dasar terhadap para santri lain, yakni pada tahun 1883.
Hasyim Asy’ari kemudian menjadi santri yang gemar mengembara mencari ilmu pengetahuan sejak ia berusia 15 tahun. Dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di Jawa. Situasi seperti ini semakin membawanya pada kehausan intelektual hingga ia kemudian menyeberangi lautan menuju pulau Madura. Di pulau inilah, Hasyim Asy’ari bertemu dengan salah seorang guru pentingnya, Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).
Upaya Hasyim Asy’ari selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain didasarkan atas semangat dan hasratnya untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda dari pesantren-pesantren yang pernah dikunjunginya, karena umumnya setiap pesantren pada masa itu memiliki spesialisasi yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan Jawa Timur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang memiliki spesialisasi ilmu ‘alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika). Sementara pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagai pesantren tasawuf.
Pada tahun 1891, setelah selesai menimba ilmu dari Kiai Khalil Bangkalan, Hasyim Asy’ari tiba di pesantren Siwalan, Sidoarjo. Pesantren yang tidak begitu jauh dengan Surabaya ini diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan, seorang ulama yang dikenal memiliki pandangan luas dan ahli dalam ilmu agama. Sang Kiai sangat terkesan dengan kecerdasan Hasyim Asy’ari, hingga ia menawarkan anaknya, Nafisah, kepada Hasyim Asy’ari yang saat itu masih berusia 21 tahun untuk kemudian dinikahinya pada tahun 1892.
Model pernikahan semacam ini sangat biasa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diharapkan mampu mengangkat kualitas pesantren di masa depan. Di samping itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari kedua pesantren akan menjadi lebih kuat, karena hubungan yang dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga atau pernikahan. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri. Pernikahan keluarga kiai serta fokus keislaman dari ikatan ini telah membentuk bagian tersendiri dari budaya pesantren. Karena sebagian besar para kiai di Jawa saling memiliki hubungan ini, maka ikatan pernikahan bisa juga berarti upaya menjaga kalangan elit religius Jawa (kiai).
Namun, sifat utama dan misi dari para kiai yang harus diperhatikan secara mendalam adalah tugasnya menyeru masyarakat untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam dan menunaikan ibadah dengan penuh ketaatan. Tugas keagamaan ini akan menjelaskan motivasi dari inter-marriage (antar-perkawinan) ini secara lebih baik. Dan hal ini tentunya akan menunjukkan perspektif yang lebih baik dan akurat karena kehidupan pesantren berarti kehidupan religius 24 jam sehari.
Pada tahun 1892, Hasyim Asy’ari bersama isteri, Nafisah, dan ayah mertuanya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di sana. Namun, setelah menetap selama 7 bulan di Makkah ia memperoleh pengalaman yang cukup pahit, karena Nafisah, sang isteri yang menyertainya dan anaknya, Abdullah, yang lahir di Makkah dan berusia masih sangat kecil, meninggal dunia. Meski diterpa kesedihan yang mendalam, dahaga Hasyim Asy’ari untuk menimba ilmu pengetahuan di tanah suci tidak surut, ia berusaha menerima situasi tersebut dengan ikhlas sebagai suatu ujian dari Allah Swt. Dia yakin bahwa jika ia dapat ikhlas dan tabah menghadapi ujian tersebut maka Allah Swt akan memberinya kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana telah ditunjukkan di dalam al-Qur’an. Dalam suasana duka tersebut, Hasyim Asy’ari berusaha menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci, khususnya Baitullah. Beberapa bulan kemudian, ia lalu mengantarkan ayah mertuanya kembali ke tanah air, sekaligus untuk mengunjungi keluarganya di Jawa.
Pada tahun 1893, Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Makkah, kali ini bersama adik kandungnya, Anis, dan menetap di sana selama kurang lebih 6 tahun. Namun, Allah Swt rupanya masih ingin menguji kesabarannya karena tidak lama setelah tiba di Makkah, Anis pun meninggal dunia. Musibah ini pun tidak lantas membuat Hasyim Asy’ari terus menerus hanyut dalam kesedihan. Ia justeru mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di tengah-tengah kesibukannya menuntut ilmu, ia menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat yang dianggap mustajab seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah Saw. Setiap Sabtu pagi ia berangkat menuju Gua Hira’ di Jabal Nur, yang terletak kurang lebih 10 km di luar Kota Makkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis hadis Nabi.
Setiap kali berangkat menuju Goa Hira’, ia selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Ia juga tak lupa membawa perbekalan makanan untuk bekal selama enam hari di sana. Ketika hari Jum’at tiba, ia bergegas turun menuju Kota Makkah guna menunaikan shalat Jum’at di sana. Selain itu, ia juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka.
Di Makkah, Hasyim Asy’ari mendalami ilmu fiqh, ilmu hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ‘ilm alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika), dan lain-lain. Dari semua bidang ilmu tersebut, Hasyim Asy’ari tampaknya lebih tertarik mendalami ilmu hadits, khususnya kumpulan hadits Bukhari dan Muslim. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar santri telah mempelajari ilmu fiqih dengan baik di pesantren-pesantren Jawa. Oleh karenanya, sementara di Makkah mereka merasa perlu memanfaatkan banyak waktu untuk mendalami ilmu hadits di samping al-Qur’an dan tafsirnya, sehingga dengan begitu mereka bisa menyempurnakan pemahaman mereka tentang fiqih. Latar belakang pendidikan pesantren yang pernah dilalui oleh Hasyim Asy’ari ketika di Jawa di masa-masa sebelumnya yang cukup kuat, menjadikannya sangat mudah untuk berpartisipasi aktif dalam aktifitas intelektual di Hijaz.
Pada tahun ketujuh sejak Hasyim Asy’ari menetap di Makkah—tepatnya pada tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan itu terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, Jawa Timur, beserta seorang puterinya, Khadijah. Kiai Romli yang sangat bersimpati kepada Hasyim Asy’ari berencana menjadikannya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan puterinya, Khadijah. Setelah pernikahan yang berlangsung di tanah suci itu, Hasyim Asy’ari bersama isterinya kembali ke tanah air. Pada awalnya, ia tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, ia langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh kakeknya, Kiai Usman, lalu setelah itu ia membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di pesantren Keras.
Sejarah panjang pendidikan yang ditempuh oleh Hasyim Asy’ari semasa hidupnya sebagaimana dipaparkan di atas, secara garis besar dapat dipilah ke dalam 2 fase, yakni: fase pendidikan di pesantren-pesantren Jawa dan fase pendidikan di tanah suci Makkah.
Fase pendidikan Hasyim Asy’ari di pesantren-pesantren Jawa dimulainya sejak ia berusia 15 tahun, yakni pada tahun 1886, hingga tahun 1891. Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun tersebut ia menimba ilmu pengetahuan di beberapa pesantren termasyhur di Jawa saat itu, seperti pesantren Wonorejo di Jombang, pesantren Wonokoyo di Probolinggo, pesantren Langitan di Tuban, pesantren Trenggilis di Semarang (dibawah asuhan Kiai Saleh Darat as-Samarani (1820-1903), yang juga merupakan guru dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi (1868-1919), guru Hasyim Asy’ari ketika belajar di Makkah, dan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah), pesantren Bangkalan di Madura di bawah asuhan Kiai Khalil, dan pesantren Siwalan di Sidoarjo, asuhan Kiai Ya’qub.
Kemudian pada fase berikutnya, yaitu ketika ia menimba ilmu pengetahuan di Makkah sejak tahun 1893 hingga tahun 1899, ia berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919), Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), Syaikh Abdul Hamid ad-Durustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghribi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadlal. Selain itu, sejumlah Sayyid juga pernah menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-‘Atthas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Pada saat tinggal di Makkah, dilaporkan bahwa sejak tahun 1896 Hasyim Asy’ari juga dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama asal Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara, di antaranya Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambak beras, Jombang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Dahlan (Kudus), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan Kiai Shaleh (Tayu).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dari kecil sampai ke Mekkah. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama secara lebih intensif oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santrinya. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan para santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Hingga usia 15 tahun, selain mempelajari dasar-dasar ke Islaman, dibawah didikan orang tuanya ia juga digembleng menghafal dan memahami al-Qur’an. Hasyim Asy’ari merupakan seorang santri yang cerdas, ia selalu menguasai apa pun yang diajarkan oleh sang ayah, serta selalu melakukan mothola’ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang bahkan belum pernah diajarkan oleh ayahnya. Karena alasan terakhir inilah, meski masih berusia 12 tahun ia mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama lainnya pada tingkat dasar terhadap para santri lain, yakni pada tahun 1883.
Hasyim Asy’ari kemudian menjadi santri yang gemar mengembara mencari ilmu pengetahuan sejak ia berusia 15 tahun. Dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di Jawa. Situasi seperti ini semakin membawanya pada kehausan intelektual hingga ia kemudian menyeberangi lautan menuju pulau Madura. Di pulau inilah, Hasyim Asy’ari bertemu dengan salah seorang guru pentingnya, Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).
Upaya Hasyim Asy’ari selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain didasarkan atas semangat dan hasratnya untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda dari pesantren-pesantren yang pernah dikunjunginya, karena umumnya setiap pesantren pada masa itu memiliki spesialisasi yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan Jawa Timur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang memiliki spesialisasi ilmu ‘alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika). Sementara pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagai pesantren tasawuf.
Pada tahun 1891, setelah selesai menimba ilmu dari Kiai Khalil Bangkalan, Hasyim Asy’ari tiba di pesantren Siwalan, Sidoarjo. Pesantren yang tidak begitu jauh dengan Surabaya ini diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan, seorang ulama yang dikenal memiliki pandangan luas dan ahli dalam ilmu agama. Sang Kiai sangat terkesan dengan kecerdasan Hasyim Asy’ari, hingga ia menawarkan anaknya, Nafisah, kepada Hasyim Asy’ari yang saat itu masih berusia 21 tahun untuk kemudian dinikahinya pada tahun 1892.
Model pernikahan semacam ini sangat biasa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diharapkan mampu mengangkat kualitas pesantren di masa depan. Di samping itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari kedua pesantren akan menjadi lebih kuat, karena hubungan yang dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga atau pernikahan. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri. Pernikahan keluarga kiai serta fokus keislaman dari ikatan ini telah membentuk bagian tersendiri dari budaya pesantren. Karena sebagian besar para kiai di Jawa saling memiliki hubungan ini, maka ikatan pernikahan bisa juga berarti upaya menjaga kalangan elit religius Jawa (kiai).
Namun, sifat utama dan misi dari para kiai yang harus diperhatikan secara mendalam adalah tugasnya menyeru masyarakat untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam dan menunaikan ibadah dengan penuh ketaatan. Tugas keagamaan ini akan menjelaskan motivasi dari inter-marriage (antar-perkawinan) ini secara lebih baik. Dan hal ini tentunya akan menunjukkan perspektif yang lebih baik dan akurat karena kehidupan pesantren berarti kehidupan religius 24 jam sehari.
Pada tahun 1892, Hasyim Asy’ari bersama isteri, Nafisah, dan ayah mertuanya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di sana. Namun, setelah menetap selama 7 bulan di Makkah ia memperoleh pengalaman yang cukup pahit, karena Nafisah, sang isteri yang menyertainya dan anaknya, Abdullah, yang lahir di Makkah dan berusia masih sangat kecil, meninggal dunia. Meski diterpa kesedihan yang mendalam, dahaga Hasyim Asy’ari untuk menimba ilmu pengetahuan di tanah suci tidak surut, ia berusaha menerima situasi tersebut dengan ikhlas sebagai suatu ujian dari Allah Swt. Dia yakin bahwa jika ia dapat ikhlas dan tabah menghadapi ujian tersebut maka Allah Swt akan memberinya kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana telah ditunjukkan di dalam al-Qur’an. Dalam suasana duka tersebut, Hasyim Asy’ari berusaha menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci, khususnya Baitullah. Beberapa bulan kemudian, ia lalu mengantarkan ayah mertuanya kembali ke tanah air, sekaligus untuk mengunjungi keluarganya di Jawa.
Pada tahun 1893, Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Makkah, kali ini bersama adik kandungnya, Anis, dan menetap di sana selama kurang lebih 6 tahun. Namun, Allah Swt rupanya masih ingin menguji kesabarannya karena tidak lama setelah tiba di Makkah, Anis pun meninggal dunia. Musibah ini pun tidak lantas membuat Hasyim Asy’ari terus menerus hanyut dalam kesedihan. Ia justeru mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di tengah-tengah kesibukannya menuntut ilmu, ia menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat yang dianggap mustajab seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah Saw. Setiap Sabtu pagi ia berangkat menuju Gua Hira’ di Jabal Nur, yang terletak kurang lebih 10 km di luar Kota Makkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis hadis Nabi.
Setiap kali berangkat menuju Goa Hira’, ia selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Ia juga tak lupa membawa perbekalan makanan untuk bekal selama enam hari di sana. Ketika hari Jum’at tiba, ia bergegas turun menuju Kota Makkah guna menunaikan shalat Jum’at di sana. Selain itu, ia juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka.
Di Makkah, Hasyim Asy’ari mendalami ilmu fiqh, ilmu hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ‘ilm alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika), dan lain-lain. Dari semua bidang ilmu tersebut, Hasyim Asy’ari tampaknya lebih tertarik mendalami ilmu hadits, khususnya kumpulan hadits Bukhari dan Muslim. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar santri telah mempelajari ilmu fiqih dengan baik di pesantren-pesantren Jawa. Oleh karenanya, sementara di Makkah mereka merasa perlu memanfaatkan banyak waktu untuk mendalami ilmu hadits di samping al-Qur’an dan tafsirnya, sehingga dengan begitu mereka bisa menyempurnakan pemahaman mereka tentang fiqih. Latar belakang pendidikan pesantren yang pernah dilalui oleh Hasyim Asy’ari ketika di Jawa di masa-masa sebelumnya yang cukup kuat, menjadikannya sangat mudah untuk berpartisipasi aktif dalam aktifitas intelektual di Hijaz.
Pada tahun ketujuh sejak Hasyim Asy’ari menetap di Makkah—tepatnya pada tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan itu terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, Jawa Timur, beserta seorang puterinya, Khadijah. Kiai Romli yang sangat bersimpati kepada Hasyim Asy’ari berencana menjadikannya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan puterinya, Khadijah. Setelah pernikahan yang berlangsung di tanah suci itu, Hasyim Asy’ari bersama isterinya kembali ke tanah air. Pada awalnya, ia tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, ia langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh kakeknya, Kiai Usman, lalu setelah itu ia membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di pesantren Keras.
Sejarah panjang pendidikan yang ditempuh oleh Hasyim Asy’ari semasa hidupnya sebagaimana dipaparkan di atas, secara garis besar dapat dipilah ke dalam 2 fase, yakni: fase pendidikan di pesantren-pesantren Jawa dan fase pendidikan di tanah suci Makkah.
Fase pendidikan Hasyim Asy’ari di pesantren-pesantren Jawa dimulainya sejak ia berusia 15 tahun, yakni pada tahun 1886, hingga tahun 1891. Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun tersebut ia menimba ilmu pengetahuan di beberapa pesantren termasyhur di Jawa saat itu, seperti pesantren Wonorejo di Jombang, pesantren Wonokoyo di Probolinggo, pesantren Langitan di Tuban, pesantren Trenggilis di Semarang (dibawah asuhan Kiai Saleh Darat as-Samarani (1820-1903), yang juga merupakan guru dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi (1868-1919), guru Hasyim Asy’ari ketika belajar di Makkah, dan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah), pesantren Bangkalan di Madura di bawah asuhan Kiai Khalil, dan pesantren Siwalan di Sidoarjo, asuhan Kiai Ya’qub.
Kemudian pada fase berikutnya, yaitu ketika ia menimba ilmu pengetahuan di Makkah sejak tahun 1893 hingga tahun 1899, ia berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919), Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), Syaikh Abdul Hamid ad-Durustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghribi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadlal. Selain itu, sejumlah Sayyid juga pernah menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-‘Atthas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Pada saat tinggal di Makkah, dilaporkan bahwa sejak tahun 1896 Hasyim Asy’ari juga dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama asal Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara, di antaranya Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambak beras, Jombang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Dahlan (Kudus), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan Kiai Shaleh (Tayu).
Iklannya mengganggu!!!!!
BalasHapus