Sebelum kedatangan Islam, bangsa Indonesia sudah menganut berbagai macam agama (Hindu dan Budha) dan kepercayaan, seperti animisme (kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami bendabenda seperti pohon, batu, sungai, gunung) dan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup), dan lain-lain. Kepercayaan ini sangat kuat dan mengakar di hati masyarakat Indonesia.
A. Masa Kesultanan.
Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, seperti di daerahdaerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa, ajaran Islam berhasil mempengaruhi kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerahdaerah tersebut agama Islam dapat menampilkan diri dalam berbagai bentuk. Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin mudah karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain, hingga membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf.
Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugasmengontrol, bahkan berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Termasuk di Jawa, guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan berbagai upaya agar Islam dan tradisi Jawa dapat bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimmana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung. Saat Sultan Agung memeluk ajaran Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.
B. Masa Penjajahan.
Ditengah proses transformasi sosial yang relatif damai antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Dan sejak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijakan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
• Bidang agama murni atau ibadah;
• Bidang sosial kemasyarakatan; dan
• Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Pergerakan dan Organisasi Islam.
Akibat dari “resep politik Islam” Snouck Hurgronje, menjelang permulaan abad XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik baru dan pemikirpemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam organisasi Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang dapat masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.
Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik saat itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.
Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, karena mereka berusaha menggunakan doktrin-doktrin agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:
a). Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
b). Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
c). Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang fase perkembangan Islam di Indonesia. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
A. Masa Kesultanan.
Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, seperti di daerahdaerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa, ajaran Islam berhasil mempengaruhi kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerahdaerah tersebut agama Islam dapat menampilkan diri dalam berbagai bentuk. Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin mudah karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain, hingga membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf.
Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugasmengontrol, bahkan berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Termasuk di Jawa, guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan berbagai upaya agar Islam dan tradisi Jawa dapat bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimmana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung. Saat Sultan Agung memeluk ajaran Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.
B. Masa Penjajahan.
Ditengah proses transformasi sosial yang relatif damai antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Dan sejak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijakan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
• Bidang agama murni atau ibadah;
• Bidang sosial kemasyarakatan; dan
• Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Pergerakan dan Organisasi Islam.
Akibat dari “resep politik Islam” Snouck Hurgronje, menjelang permulaan abad XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik baru dan pemikirpemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam organisasi Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang dapat masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.
Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik saat itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.
Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, karena mereka berusaha menggunakan doktrin-doktrin agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:
a). Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
b). Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
c). Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.