Muhammad Shalih bin Umar (lahir 1820 M) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut. Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.
Ayahnya, Kiai Umar, merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Sada’ dan Kiai Murtadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lain menyatakan bahwa Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Kiai Saleh Darat wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H bertepatan dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota, Semarang.
Ia disebut Kiai Shalih Darat, karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.
A. Guru-guru KH Shaleh Darat.
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah:
• KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya Kiai Shalih Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). Kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqih, di antaranya adalah kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
• Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam as-Suyuthi.
• Kiai Ishak Damaran, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
• Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar ilmu falak..
• Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya Imam Ghazali.
• Syekh Abdul Ghani Bima. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri, sebuah kitab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
• Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo. Kepadanya Kiai Shaleh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad (Muhammad) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim (putra Mbah Ahmad Alim), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa dalamnya kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.
B. KH Shaleh Darat Belajar ke Makkah.
Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.
Selama di Makkah, Kiai Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka adalah:
• Syekh Muhammad al-Maqri al-Mishri al-Makki. Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).
• Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib, serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sebagaimana tradisi belajar tempo dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syekh Abdul Hamid ad-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh al-Hikam.
• al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.
• al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.
• Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi. Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.
• Kiai Zahid. Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
• Syekh Umar as-Syami. Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
• Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Syarh al-Tahrir karya Imam Zakaria al-Anshari.
• Syekh Jamal, seorang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Qur’an.
C. Jaringan Keulamaan Kiai Shaleh Darat.
Semasa belajar di Makkah, Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulamaulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
• Kiai Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.
• Syekh Ahmad Khatib. Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah (KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan) pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kitab al-Nafahat dan al-Jawahir fi A’mal al-Jaibiyyat.
• Kiai Mahfuzh at-Tirmasi. Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).
• Kiai Khalil Bangkalan, Madura. Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar tahun 1850 dan wafat pada tahun 1925.
D. Santri-santri KH Shaleh Darat.
Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU); KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah); Kiai R. Dahlan Tremas, seorang ahli Falak (w. 1329 H); Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H), yang juga menantu Kiai Shaleh Darat; Kiai Idris, Solo; Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli Kauman, Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang; Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang; serta RA. Kartini, Jepara.
E. Karya Tulis KH Shaleh Darat.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Shaleh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya Kiai Shaleh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 12 buah, yaitu:
• Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
• Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
• Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.
• Lathaif al-Thaharah. Berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
• Manasik al-Hajj. Berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
• Pasolatan. Berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
• Sabilu al-‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
• Minhaj al-Atqiya’, Berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Al-Mursyid al-Wajiz. Berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.
• Hadits al-Mi’raj.
• Syarh Maulid al-Burdah.
• Faidh al-Rahman Ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. Kitab ini diterbitkan di Singapura.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang biografi dan sejarah singkat KH Shaleh Darat serta karyanya. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Ayahnya, Kiai Umar, merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Sada’ dan Kiai Murtadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lain menyatakan bahwa Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Kiai Saleh Darat wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H bertepatan dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota, Semarang.
Ia disebut Kiai Shalih Darat, karena ia tinggal di kawasan yang bernama Darat, suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau ciri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.
A. Guru-guru KH Shaleh Darat.
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah:
• KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya Kiai Shalih Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). Kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqih, di antaranya adalah kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
• Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam as-Suyuthi.
• Kiai Ishak Damaran, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
• Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar ilmu falak..
• Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya Imam Ghazali.
• Syekh Abdul Ghani Bima. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri, sebuah kitab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
• Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo. Kepadanya Kiai Shaleh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad (Muhammad) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim (putra Mbah Ahmad Alim), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa dalamnya kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.
B. KH Shaleh Darat Belajar ke Makkah.
Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.
Selama di Makkah, Kiai Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka adalah:
• Syekh Muhammad al-Maqri al-Mishri al-Makki. Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).
• Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib, serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sebagaimana tradisi belajar tempo dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syekh Abdul Hamid ad-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh al-Hikam.
• al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.
• al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.
• Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi. Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.
• Kiai Zahid. Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
• Syekh Umar as-Syami. Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
• Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Syarh al-Tahrir karya Imam Zakaria al-Anshari.
• Syekh Jamal, seorang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Qur’an.
C. Jaringan Keulamaan Kiai Shaleh Darat.
Semasa belajar di Makkah, Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulamaulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
• Kiai Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.
• Syekh Ahmad Khatib. Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah (KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan) pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kitab al-Nafahat dan al-Jawahir fi A’mal al-Jaibiyyat.
• Kiai Mahfuzh at-Tirmasi. Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).
• Kiai Khalil Bangkalan, Madura. Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar tahun 1850 dan wafat pada tahun 1925.
D. Santri-santri KH Shaleh Darat.
Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU); KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah); Kiai R. Dahlan Tremas, seorang ahli Falak (w. 1329 H); Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H), yang juga menantu Kiai Shaleh Darat; Kiai Idris, Solo; Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli Kauman, Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang; Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang; serta RA. Kartini, Jepara.
E. Karya Tulis KH Shaleh Darat.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Shaleh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya Kiai Shaleh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 12 buah, yaitu:
• Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
• Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
• Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.
• Lathaif al-Thaharah. Berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
• Manasik al-Hajj. Berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
• Pasolatan. Berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
• Sabilu al-‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
• Minhaj al-Atqiya’, Berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Al-Mursyid al-Wajiz. Berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.
• Hadits al-Mi’raj.
• Syarh Maulid al-Burdah.
• Faidh al-Rahman Ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. Kitab ini diterbitkan di Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.