1. Kebijakan dan Strategi Abu Bakar as Shiddiq.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun (632 – 634 M), maka mempunyai beberapa kebijakan dan strategi ketika memimpin negara yaitu :
A. Pembukuan Al-Qur’an.
Perang Riddah menimbulkan banyak kurban, termasuk sebagaian para penghafal Al-Qur’an. Kenyataan ini sangat merugikan sekaligus menghawartirkan Jika semakin banyak penghafal Al-Qur’an gugur, akibatnya Al-Qur’an bisa hilang. Menyadari hal ini, Umur bin Khatab mencatat semua hafalan Al-Qur’an pada para sahabat yang masih hidup. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Abu Bakar ragu, apakah harus menerima usulan Umar bin Khatab ataukah menolaknya ? Ia ragu sebab Nabi belum pernah melakukannya. Namun, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa pengumpulan Al-Qur’an akan sangat bermanfaat bagi keutuhan Al-Qur’an sendiri. Akhirnya, Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin pengumpulan Al-Qur’an. Zaid ditunjuk karena ia pemuda yang cerdas dan berpengalaman mencatat ayat-ayat Al-Qur’an. Zaid bin Tsabit dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
B. Perluasan wilayah baru (Futuhat)
Keberhasilan dalam perang Riddah, ancaman dari dalam Jazirah Arab, dapat dikatakan teratasi. Namun ancaman dari luar sedang bergerak. Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah Saw, bersifat sentral.
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama, ia berusaha mewujudkan keinginan tersebut dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan Islam ke daerah Syiria. Untuk keperluan tersebut Abu Bakar menugaskan 4 orang panglima perang, yaitu :
1) Yazid bin Abu Sufyan yang ditugaskan di Damaskus.
2) Abu Ubaidah bin Jarrah ditugaskan di Homs sebagai panglima besarnya.
3) Amru bin Ash ditugaskan di Palestina.
4) Surahbil bin Hasanah ditugaskan di Yordania.
Ketika itu Syiria berada di bawah kekuasaan Romawi pimpinan Kaisar Heraklius sebenarnya pengembangan Islam ke Syiria ini telah dimulai sejak Nabi akan wafat, di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Namun terhenti karena pasukan Islam mendengar berita tentang wafatnya nabi Muhammad Saw..kemudian ini dilanjutkan kembali pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Usaha perluasan ini dipimpin oleh 4 orang panglima dan diperkuat lagi dengan datngnya pasukan Khalid ibnu Walid yang berjumlah lebih kurang 1500 orang, juga mendapat bantuan dari Mutsanna ibnu Haritsah. Khalid ibnu Walid sebelumnya telah berhasil mengadakan perluasan ke beberapa daerah di Irak dan Persia. Karena Abu Bakar mendengar bahwa Abu Ubaidah kewalahan dalam menghadapi pasukan Romawi Timur di Syiria, lalu Khalid diperintahkan untuk membantu pasukan Abu Ubaidah.
Pada waktu berlangsungnya perang melawan tentara Romawi Timur ini, datang sebuah berita tentang wafatnya Abu Bakar (13 H/634 M). Selanjutnya yang menggantikan kedudukan Abu Bakar adalah Umar ibnu Khatab.
2. Kebijakan dan Strategi Umar bin Khattab.
a. Pengembangan Wilayah Islam.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab, usaha pengembangan Wilayah Islam terus dilanjutkan. Kemenangan dalam perang Yarmuk pada masa Abu Bakar, membuka jalan bagi Umar untuk menggiatkan lagi usahanya. Dalam pertempuran di Ajnadin tahun 16 H/636 M, tentara Romawi dapat dikalahkan. Selanjutnya beberapa kota di pesisir Syiria dan Pelestina, seperti Jaffa, Gizar, Ramla, Typus, Uka (Acre), Askalon dan Beirut dapat ditundukkan pada tahun 18 H/638 M dengan diserahkan sendiri oleh Patrik kepada Umar bin Khatab.
Khalifah Umar bin Khatab melanjutkan perluasa dan pengembangan wilayah Islam ke Persia yang telah dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar. Pasukan Islam yang menuju Persia ini berada di bawah pimpinan panglima Saad bin Abi Waqas. Dalam perkembangna berikutnya, berturut-turut dapat ditaklukan beberapa kota, seperti kadisia tahun 16 H/636M, kota Jalula tahun 17 H/638 M. Madain tahun 18 H / 639 M dan Nahawand tahun 21 H / 642 M.
Khalifah Umar bin Khatab juga mengembangkan kekuasaan Islam ke Mesir. Pada saat itu penduduk Mesir, yaitu suku bangsa Qibti (Qopti) sedang mengalami penganiayaan dari bangsa Romawi dan sangat mengaharapkan bantuan dari orang-orang Islam. Setelah berhasil menaklukkan Syiria dan Palestina, Khalifah Umar bin Khatab memberankatkan pasukannya yang berjumlah 4000 orang menuju Masir di bawah pimpinan Amr bin Ash. Sasaran pertama adalah menghancurkan pintu gerbang al Arisy, lalu berturut-turut al Farma, bilbis, tendonius (Ummu Dunain), Ain Sams, dan juga berhasil merebut benteng babil dan Iskandariyah.
b. Mengeluarkan Undang-Undang.
Di antara jasa dan peninggalan Umar bin Khatab selama ia menjabat khalifah adalah menertibkan pemerintahan dengan mengeluarkan undang-undang. Diadakan kebijakan peraturan perundangan mengenai ketertiban pasar, ukuran dalam jual beli, mengatur kebersihan jalan dan lain-lain.
c. Membagi Wilayah Pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khatab juga membagi daerah menjadi beberapa daerah pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Khalifah bertindak sebagai pemimpin pemerintahan pusat, sedangkan di daerah dipegang oleh para gubernur yang membantu tugas pemerintahan khalifah di daerah-daerah.
d. Membentuk Beberapa Dewan.
Selain itu, Khalifah Umar bin Khatab juga membentuk beberapa dewan, di antarannya Dewan Perbendaharaan Negara, dan Dewan Militer. Ia juga membentuk utusan kehakiman, di mana hakim yang terkenal pada waktu itu adalah Ali bin Abu Thalib.
3. Kebijakan dan Strategi Usman bin Affan.
a. Perluasan Wilayah.
Pada masa khalifah Usman terdapat juga beberapa upaya perluasan daerah kekuasaan Islam di antaranya adalah melanjutkan usaha penaklukan Persia. Kemudian Tabaristan, Azerbaijan dan Armenia. Usaha perluasan daerah kekuasaan Islam tersebut lebih lancar lagi setelah dibangunnya armada laut. Satu persatu daerah di seberang laut ditaklukanya, antara lain wilayah Asia Kecil, pesisir Laut Hitam, pulau Cyprus, Rhodes, Tunisia dan Nubia.
Dalam upaya pemantapan dan stabilitas daerah kekuasaan Islam di luar kota Madinah, khalifah Usman bin Affan telah melakukan pengamanan terhadap para pemberontak yang melakukan maka di daerah Azerbaijan dan Rai, karena mereka enggan membayar pajak, begitu juga di Iskandariyah dan di Persia.
b. Standarisasi Al-Qur’an.
Pada masa Usman, terjadi perselisihan di tengah kaum muslimin perihal secara baca Al-Qur’an (qiraat). Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan beragam cara baca. Karena perselisihan ini, hampir saja terjadi perang saudara. Kondisi ini dilporkan oleh Hudzaifah al Yamani kepada Khalifah Usman. Menanggapai laporan tersebut, Khalifah Usman memutuskan untuk melakukan penyeragaman cara baca Al-Qur’an. Cara baca inilah yang akhirnya secara resmi dipakai oleh kaum muslimin. Dengan demikian, perselisihan dapat diselesaikan dan perpecahan dapat dihindari.
Dalam menyusun cara baca Al-Qur’an resmi ini, Khalifah Usman melakukannya berdasarkan cara baca yang dipakai dalam Al-Qur’an yang disusun leh Abu Bakar. Setelah pembukuan selesai, dibuatlah beberapa salinannya untuk dikirim ke Mesir, Syam, Yaman, Kufah, Basrah dan Mekkah. Satu mushaf disimpan di Madinah.Mushaf-mushaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Usmani. Khalifah Usman mengharuskan umat Islam menggunakan Al-Qur’an hasil salinan yang telah disebarkan tersebut. Sementara mushaf Al-Qur’an dengan cara baca yang lainnya dibakar.
c. Pengangkatan Pejabat Negara.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdir dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting. Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya tersebut. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
d. Pembangunan Fisik.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masa Usman tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
4. Kebijakan dan Strategi Ali bin Abi Thalib.
a. Penggantian Pejabat Lama dengan yang Baru.
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya 6 tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.
b. Penarikan Kembali Tanah Hadiah.
Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab.
c. Mengadapi Para Pemberontak.
Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), karena Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin.
Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut) Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang bernama Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjajian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang strategi dan subtansi dakwah khulafaur rasyidin. Sumber buku Siswa SKI Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun (632 – 634 M), maka mempunyai beberapa kebijakan dan strategi ketika memimpin negara yaitu :
A. Pembukuan Al-Qur’an.
Perang Riddah menimbulkan banyak kurban, termasuk sebagaian para penghafal Al-Qur’an. Kenyataan ini sangat merugikan sekaligus menghawartirkan Jika semakin banyak penghafal Al-Qur’an gugur, akibatnya Al-Qur’an bisa hilang. Menyadari hal ini, Umur bin Khatab mencatat semua hafalan Al-Qur’an pada para sahabat yang masih hidup. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Abu Bakar ragu, apakah harus menerima usulan Umar bin Khatab ataukah menolaknya ? Ia ragu sebab Nabi belum pernah melakukannya. Namun, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa pengumpulan Al-Qur’an akan sangat bermanfaat bagi keutuhan Al-Qur’an sendiri. Akhirnya, Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin pengumpulan Al-Qur’an. Zaid ditunjuk karena ia pemuda yang cerdas dan berpengalaman mencatat ayat-ayat Al-Qur’an. Zaid bin Tsabit dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
B. Perluasan wilayah baru (Futuhat)
Keberhasilan dalam perang Riddah, ancaman dari dalam Jazirah Arab, dapat dikatakan teratasi. Namun ancaman dari luar sedang bergerak. Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah Saw, bersifat sentral.
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama, ia berusaha mewujudkan keinginan tersebut dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan Islam ke daerah Syiria. Untuk keperluan tersebut Abu Bakar menugaskan 4 orang panglima perang, yaitu :
1) Yazid bin Abu Sufyan yang ditugaskan di Damaskus.
2) Abu Ubaidah bin Jarrah ditugaskan di Homs sebagai panglima besarnya.
3) Amru bin Ash ditugaskan di Palestina.
4) Surahbil bin Hasanah ditugaskan di Yordania.
Ketika itu Syiria berada di bawah kekuasaan Romawi pimpinan Kaisar Heraklius sebenarnya pengembangan Islam ke Syiria ini telah dimulai sejak Nabi akan wafat, di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Namun terhenti karena pasukan Islam mendengar berita tentang wafatnya nabi Muhammad Saw..kemudian ini dilanjutkan kembali pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Usaha perluasan ini dipimpin oleh 4 orang panglima dan diperkuat lagi dengan datngnya pasukan Khalid ibnu Walid yang berjumlah lebih kurang 1500 orang, juga mendapat bantuan dari Mutsanna ibnu Haritsah. Khalid ibnu Walid sebelumnya telah berhasil mengadakan perluasan ke beberapa daerah di Irak dan Persia. Karena Abu Bakar mendengar bahwa Abu Ubaidah kewalahan dalam menghadapi pasukan Romawi Timur di Syiria, lalu Khalid diperintahkan untuk membantu pasukan Abu Ubaidah.
Pada waktu berlangsungnya perang melawan tentara Romawi Timur ini, datang sebuah berita tentang wafatnya Abu Bakar (13 H/634 M). Selanjutnya yang menggantikan kedudukan Abu Bakar adalah Umar ibnu Khatab.
2. Kebijakan dan Strategi Umar bin Khattab.
a. Pengembangan Wilayah Islam.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab, usaha pengembangan Wilayah Islam terus dilanjutkan. Kemenangan dalam perang Yarmuk pada masa Abu Bakar, membuka jalan bagi Umar untuk menggiatkan lagi usahanya. Dalam pertempuran di Ajnadin tahun 16 H/636 M, tentara Romawi dapat dikalahkan. Selanjutnya beberapa kota di pesisir Syiria dan Pelestina, seperti Jaffa, Gizar, Ramla, Typus, Uka (Acre), Askalon dan Beirut dapat ditundukkan pada tahun 18 H/638 M dengan diserahkan sendiri oleh Patrik kepada Umar bin Khatab.
Khalifah Umar bin Khatab melanjutkan perluasa dan pengembangan wilayah Islam ke Persia yang telah dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar. Pasukan Islam yang menuju Persia ini berada di bawah pimpinan panglima Saad bin Abi Waqas. Dalam perkembangna berikutnya, berturut-turut dapat ditaklukan beberapa kota, seperti kadisia tahun 16 H/636M, kota Jalula tahun 17 H/638 M. Madain tahun 18 H / 639 M dan Nahawand tahun 21 H / 642 M.
Khalifah Umar bin Khatab juga mengembangkan kekuasaan Islam ke Mesir. Pada saat itu penduduk Mesir, yaitu suku bangsa Qibti (Qopti) sedang mengalami penganiayaan dari bangsa Romawi dan sangat mengaharapkan bantuan dari orang-orang Islam. Setelah berhasil menaklukkan Syiria dan Palestina, Khalifah Umar bin Khatab memberankatkan pasukannya yang berjumlah 4000 orang menuju Masir di bawah pimpinan Amr bin Ash. Sasaran pertama adalah menghancurkan pintu gerbang al Arisy, lalu berturut-turut al Farma, bilbis, tendonius (Ummu Dunain), Ain Sams, dan juga berhasil merebut benteng babil dan Iskandariyah.
b. Mengeluarkan Undang-Undang.
Di antara jasa dan peninggalan Umar bin Khatab selama ia menjabat khalifah adalah menertibkan pemerintahan dengan mengeluarkan undang-undang. Diadakan kebijakan peraturan perundangan mengenai ketertiban pasar, ukuran dalam jual beli, mengatur kebersihan jalan dan lain-lain.
c. Membagi Wilayah Pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khatab juga membagi daerah menjadi beberapa daerah pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Khalifah bertindak sebagai pemimpin pemerintahan pusat, sedangkan di daerah dipegang oleh para gubernur yang membantu tugas pemerintahan khalifah di daerah-daerah.
d. Membentuk Beberapa Dewan.
Selain itu, Khalifah Umar bin Khatab juga membentuk beberapa dewan, di antarannya Dewan Perbendaharaan Negara, dan Dewan Militer. Ia juga membentuk utusan kehakiman, di mana hakim yang terkenal pada waktu itu adalah Ali bin Abu Thalib.
3. Kebijakan dan Strategi Usman bin Affan.
a. Perluasan Wilayah.
Pada masa khalifah Usman terdapat juga beberapa upaya perluasan daerah kekuasaan Islam di antaranya adalah melanjutkan usaha penaklukan Persia. Kemudian Tabaristan, Azerbaijan dan Armenia. Usaha perluasan daerah kekuasaan Islam tersebut lebih lancar lagi setelah dibangunnya armada laut. Satu persatu daerah di seberang laut ditaklukanya, antara lain wilayah Asia Kecil, pesisir Laut Hitam, pulau Cyprus, Rhodes, Tunisia dan Nubia.
Dalam upaya pemantapan dan stabilitas daerah kekuasaan Islam di luar kota Madinah, khalifah Usman bin Affan telah melakukan pengamanan terhadap para pemberontak yang melakukan maka di daerah Azerbaijan dan Rai, karena mereka enggan membayar pajak, begitu juga di Iskandariyah dan di Persia.
b. Standarisasi Al-Qur’an.
Pada masa Usman, terjadi perselisihan di tengah kaum muslimin perihal secara baca Al-Qur’an (qiraat). Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan beragam cara baca. Karena perselisihan ini, hampir saja terjadi perang saudara. Kondisi ini dilporkan oleh Hudzaifah al Yamani kepada Khalifah Usman. Menanggapai laporan tersebut, Khalifah Usman memutuskan untuk melakukan penyeragaman cara baca Al-Qur’an. Cara baca inilah yang akhirnya secara resmi dipakai oleh kaum muslimin. Dengan demikian, perselisihan dapat diselesaikan dan perpecahan dapat dihindari.
Dalam menyusun cara baca Al-Qur’an resmi ini, Khalifah Usman melakukannya berdasarkan cara baca yang dipakai dalam Al-Qur’an yang disusun leh Abu Bakar. Setelah pembukuan selesai, dibuatlah beberapa salinannya untuk dikirim ke Mesir, Syam, Yaman, Kufah, Basrah dan Mekkah. Satu mushaf disimpan di Madinah.Mushaf-mushaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Usmani. Khalifah Usman mengharuskan umat Islam menggunakan Al-Qur’an hasil salinan yang telah disebarkan tersebut. Sementara mushaf Al-Qur’an dengan cara baca yang lainnya dibakar.
c. Pengangkatan Pejabat Negara.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdir dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting. Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya tersebut. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
d. Pembangunan Fisik.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masa Usman tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
4. Kebijakan dan Strategi Ali bin Abi Thalib.
a. Penggantian Pejabat Lama dengan yang Baru.
Khalifah Ali bin Abu Thalib memerintah hanya 6 tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi dikarenakan keteledoran mereka.
b. Penarikan Kembali Tanah Hadiah.
Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasl pendapatannya kepada negara., dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab.
c. Mengadapi Para Pemberontak.
Setelah kebijakan tersebut diterapkan, Ali bin Abu Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Unta), karena Aisyah dalam pertempuran ini menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijasanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus yaitu Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin.
Pertempuran tersebut dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yaitu al Khawarij, artinya orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut) Ali dan al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Keadaan Iini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin melemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah satu anggota kelompok Khawarij yakni Ibnu Muljam.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh putranya yang bernama Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjajian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan ini dikenal dalam sejarah sebagai tahun Amul Jamaah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang strategi dan subtansi dakwah khulafaur rasyidin. Sumber buku Siswa SKI Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.