A. Pengertian Hukum Syar’i.
Menurut mayoritas ulama hukum syar’i adalah
“Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau ketetapan.”
Penjelasan definisi :
Maksud dari “Khiṭab atau firman Allah”adalah Firman Allah Swt secara langsung yaitu Al-Qur’an atau Firman-Nya tetapi melalui perantara yaitu sunnah, ijma’, dan semua dalil syar’i. Yang di maksud “iqtiḍa’”adalah tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan, atau tuntutan secara pasti maupun tidak pasti.
Sedangkan “takhyir” yaitu memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehkan mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” adalah firman Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain atau sebagai syarat adanya yang lain atau sebagai penghalang adanya yang lain.
Sebagai contoh firman Allah Swt surat Al-Maidah : 38
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah:38)
Ayat di atas adalah termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah Swt yang menjadikan pencurian sebagai sebab adanya hukum yaitu potong tangan.
Hadits Rasululah Saw
Dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar.”(HR. An-Nasai)
Hadis di atas termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah Swt tapi yang berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan gila sebagai penghalang kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian al-ḥukm menurut ulama usul di atas dapat di ketahui dua hal :
1). Bahwa firman Allah Swt yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf tidak di namakan ḥukm, seperti firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang difirmankan
"dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah :284)
Ayat di atas tidak termasuk al-ḥukm karena tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang berkaitan dengan perbuatan manusia tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan atau ketetapan juga tidak di namakan al-ḥukm, seperti kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan tentang kekalahan bangsa Romawi
“Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa Rumawi,di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (QS. Ar-Rum 1-3)
2) Yang di namakan ḥukm menurut ulama ushul atau yang disebut ushūliyyun adalah firman Allah Swt itu sendiri sedangkan menurut ulama fikih atau fuqaha’ yang di namakan ḥukm adalah kandungan firman Allah Swt. Sebagai contoh firman Allah Swt:
Menurut ulama ushul ayat di atas disebutal ḥukm sedangkan menurut ulama fikih yang disebut al-ḥukm adalah kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
B. Macam-macam Hukum Syar’i.
Menurut ulama usul hukum syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.
1) Hukum Taklifi.
a. Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum taklifi adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklifi karena adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah Swt yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka." (QS. At-Taubah:103)
b. Macam-macam Hukum Taklifi.
Mayoritas ulama ushul membagi hukum taklifi menjadi 5 :
1. Ijab : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk melakukan.
3. Tahrim : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk menjauhi.
5. Ibahah: yaitu Permintaan Allah Swt kepada mukallaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Ulama Ḥanafi membagi hukum taklifi menjadi 7 bagian dengan membagi firman Allah Swt yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti pada dua bagian ijab dan farḍu dan membagi karahah menjadi dua yaitu karahah at-tanzih dan karahah at-tahrim.
Dengan pembagian hukum taklifi seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardu,Ijab, nadb, tahrim, karahah at-tanzih, karahah at-tahrim dan Ibahah.
Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itu oleh ulama fikih dinamakan al-aḥkām al-khamsah, yaitu,
1. Wajib.
Wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk dilakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus hukuman.
Menurut mayoritas ulama bahwa wajib adalah sinonim dari fardu.
2. Mandub.
Mandub adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunah atau mustahab.
3. Muharram (haram).
Muharram adalah perbuatan yang di tuntut oleh Allah swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
4. Makruh.
Makrūh adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan, mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak mendapat dosa. Misalnya: memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, salat di kandang unta dan lain sebagainya.
5. Mubah.
Mubah adalah perbuatan yang dibebaskan oleh Allah Swt untuk dilakukan ataupun ditinggalkan.
2) Hukum wad’i.
a. Pengertian Hukum wad’i.
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.
Contoh :
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Maidah : 38).
Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi sebab diwajibkanya potong tangan.
b. Macam-macam Hukum Wad’i.
Dari pengertian di atas maka hukum wad’i terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama memasukan sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum wad’i.
1. Sabab.
Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah khitab Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sabab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu menyebabkan tidak adanya hukum.
Contoh : masuknya waktu salat adalah menyebabkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.
2. Syarat.
Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan bagian shalat. jika tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, karena bisa jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat.
3. Mani’ (penghalang).
Menurut bahasa mani’ adalah penghalang. Menurut istilah adalah sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Mani’ terbagi menjadi 2 :
- Mani’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. seperti ḥaiḍ dan nifas adalah mani’atau penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi mani’ adanya hukum yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
- Mani’ terhadap sabab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sabab, sehingga sabab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Seperti berhutang menjadi mani’ atau penghalang wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sabab yaitu kepemilikan satu nisab.
4. Sah.
Sah adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunnya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi.
Contoh dalam muamalah seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan rukunya.
5. Batal.
Batal adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.
6. Rukhsah.
Rukhsah adalah sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf .
7. Azimah.
Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, misalnya : shalat farḍu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan
Menurut mayoritas ulama hukum syar’i adalah
“Firman (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau ketetapan.”
Penjelasan definisi :
Maksud dari “Khiṭab atau firman Allah”adalah Firman Allah Swt secara langsung yaitu Al-Qur’an atau Firman-Nya tetapi melalui perantara yaitu sunnah, ijma’, dan semua dalil syar’i. Yang di maksud “iqtiḍa’”adalah tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan, atau tuntutan secara pasti maupun tidak pasti.
Sedangkan “takhyir” yaitu memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehkan mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” adalah firman Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain atau sebagai syarat adanya yang lain atau sebagai penghalang adanya yang lain.
Sebagai contoh firman Allah Swt surat Al-Maidah : 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah:38)
Ayat di atas adalah termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah Swt yang menjadikan pencurian sebagai sebab adanya hukum yaitu potong tangan.
Hadits Rasululah Saw
Dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar.”(HR. An-Nasai)
Hadis di atas termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah Swt tapi yang berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan gila sebagai penghalang kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian al-ḥukm menurut ulama usul di atas dapat di ketahui dua hal :
1). Bahwa firman Allah Swt yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf tidak di namakan ḥukm, seperti firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang difirmankan
وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah :284)
Ayat di atas tidak termasuk al-ḥukm karena tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang berkaitan dengan perbuatan manusia tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan atau ketetapan juga tidak di namakan al-ḥukm, seperti kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan tentang kekalahan bangsa Romawi
الم . غُلِبَتِ الرُّومُ . فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
“Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa Rumawi,di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (QS. Ar-Rum 1-3)
2) Yang di namakan ḥukm menurut ulama ushul atau yang disebut ushūliyyun adalah firman Allah Swt itu sendiri sedangkan menurut ulama fikih atau fuqaha’ yang di namakan ḥukm adalah kandungan firman Allah Swt. Sebagai contoh firman Allah Swt:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Menurut ulama ushul ayat di atas disebutal ḥukm sedangkan menurut ulama fikih yang disebut al-ḥukm adalah kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
B. Macam-macam Hukum Syar’i.
Menurut ulama usul hukum syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.
1) Hukum Taklifi.
a. Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum taklifi adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklifi karena adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah Swt yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka." (QS. At-Taubah:103)
b. Macam-macam Hukum Taklifi.
Mayoritas ulama ushul membagi hukum taklifi menjadi 5 :
1. Ijab : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk melakukan.
3. Tahrim : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk menjauhi.
5. Ibahah: yaitu Permintaan Allah Swt kepada mukallaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Ulama Ḥanafi membagi hukum taklifi menjadi 7 bagian dengan membagi firman Allah Swt yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti pada dua bagian ijab dan farḍu dan membagi karahah menjadi dua yaitu karahah at-tanzih dan karahah at-tahrim.
Dengan pembagian hukum taklifi seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardu,Ijab, nadb, tahrim, karahah at-tanzih, karahah at-tahrim dan Ibahah.
Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itu oleh ulama fikih dinamakan al-aḥkām al-khamsah, yaitu,
1. Wajib.
Wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk dilakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus hukuman.
Menurut mayoritas ulama bahwa wajib adalah sinonim dari fardu.
2. Mandub.
Mandub adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunah atau mustahab.
3. Muharram (haram).
Muharram adalah perbuatan yang di tuntut oleh Allah swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
4. Makruh.
Makrūh adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan, mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak mendapat dosa. Misalnya: memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, salat di kandang unta dan lain sebagainya.
5. Mubah.
Mubah adalah perbuatan yang dibebaskan oleh Allah Swt untuk dilakukan ataupun ditinggalkan.
2) Hukum wad’i.
a. Pengertian Hukum wad’i.
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.
Contoh :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Maidah : 38).
Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi sebab diwajibkanya potong tangan.
b. Macam-macam Hukum Wad’i.
Dari pengertian di atas maka hukum wad’i terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama memasukan sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum wad’i.
1. Sabab.
Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah khitab Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sabab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu menyebabkan tidak adanya hukum.
Contoh : masuknya waktu salat adalah menyebabkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.
2. Syarat.
Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan bagian shalat. jika tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, karena bisa jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat.
3. Mani’ (penghalang).
Menurut bahasa mani’ adalah penghalang. Menurut istilah adalah sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Mani’ terbagi menjadi 2 :
- Mani’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. seperti ḥaiḍ dan nifas adalah mani’atau penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi mani’ adanya hukum yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
- Mani’ terhadap sabab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sabab, sehingga sabab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Seperti berhutang menjadi mani’ atau penghalang wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sabab yaitu kepemilikan satu nisab.
4. Sah.
Sah adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunnya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi.
Contoh dalam muamalah seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan rukunya.
5. Batal.
Batal adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.
6. Rukhsah.
Rukhsah adalah sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf .
7. Azimah.
Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, misalnya : shalat farḍu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian hukum syar’i (syari'ah) dan macam-macam hukum syar’i. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.