Sebelum mendalami hadits tentang kejujuran, ada baiknya dikaji terlebih dahulu tentang lafaz sidqu dan kizbu sebagai lawan katanya. Dalam Alquran, kata sidq diulang sebanyak 14 kali (‘Abd al-Baqi’: tth., 513-516), tidak termasuk turunannya. Berikut salah satu ayat yang mengajarkan pentingnya kejujuran yang dikaitkan dengan iman dan takwa, yaitu: QS. at-Taubah: 119,
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur. (QS. at-Taubah: 119)
Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq adalah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456).
Sidq dapat disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menunjukkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur adalah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, sikap jujur senantiasa berlawanan dari sikap dusta atau tindakan menipu.
Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), adalah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melakukan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi hukuman setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).
Kejujuran adalah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi lembaga atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq adalah salah satu sifat dasar para Nabi dan Rasul Allah Swt. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara manusia mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat populer dinyatakan:
Artinya: Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw. bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jika dipercaya, berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik menurut Al-Quran maupun hadits. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad Saw. mengistilahkannya dengan zu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872).
Orang yang demikian suatu ketika bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laku curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya digunakan sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).
Hadits Rasulullah Saw Tentang Kejujuran.
Artinya: Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menyampaikan hadis kepada kami, al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan karena sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HR. Muslim).
Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menunjukkan beberapa pesan penting, antara lain:
Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara surga dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak jelas bedanya (sidqu dan kizbu), jelas cara meraihnya (birru dan fujuru), dan jelas pula hasil akhirnya (jannah dan nar). Secara tidak langsung Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.
Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika manusia bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan sikap hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jika manusia hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan sampai ke surga, bahkan akan sampai ke neraka.
Ketiga, pembiasaan diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh setelah melalui latihan dan belajar yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang agar terus dapat hidup dalam kejujuran hingga Allah Swt. menetapkannya menjadi ahli kejujuran (shiddiq).
Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga akhirnya ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya.
Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan akhirnya tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.
Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak lama kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan akhirat yang abadi. Pada akhirnya manusia akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan bahagia dunia akhirat dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur. (QS. at-Taubah: 119)
Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq adalah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456).
Sidq dapat disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menunjukkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur adalah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, sikap jujur senantiasa berlawanan dari sikap dusta atau tindakan menipu.
Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), adalah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melakukan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi hukuman setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).
Kejujuran adalah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi lembaga atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq adalah salah satu sifat dasar para Nabi dan Rasul Allah Swt. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara manusia mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat populer dinyatakan:
Artinya: Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw. bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jika dipercaya, berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik menurut Al-Quran maupun hadits. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad Saw. mengistilahkannya dengan zu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872).
Orang yang demikian suatu ketika bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laku curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya digunakan sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).
Hadits Rasulullah Saw Tentang Kejujuran.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Artinya: Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menyampaikan hadis kepada kami, al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan karena sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HR. Muslim).
Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menunjukkan beberapa pesan penting, antara lain:
Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara surga dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak jelas bedanya (sidqu dan kizbu), jelas cara meraihnya (birru dan fujuru), dan jelas pula hasil akhirnya (jannah dan nar). Secara tidak langsung Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.
Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika manusia bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan sikap hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jika manusia hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan sampai ke surga, bahkan akan sampai ke neraka.
Ketiga, pembiasaan diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh setelah melalui latihan dan belajar yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang agar terus dapat hidup dalam kejujuran hingga Allah Swt. menetapkannya menjadi ahli kejujuran (shiddiq).
Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga akhirnya ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya.
Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan akhirnya tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.
Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak lama kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan akhirat yang abadi. Pada akhirnya manusia akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan bahagia dunia akhirat dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian jujur dan hadits tentang jujur (Kejujuran). Sumber buku Siswa Kelas XII SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.