Riwayat Hidup Nuruddin al-Raniri dan Karya Nuruddin al-Raniri.
Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid (al-Humaid) al-Syafi’i al-As’ary al-Aydarusi al-Raniri (w. 1658 M), kemudian dikenal dengan Nuruddin al-Raniri atau al-Raniri lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 M di Ranir (Randir) kota pelabuhan tua di pantai Gujarat (India). Nuruddin al-Raniri meninggal pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H atau bertepatan dengan 21 September 1658 M.
Keturunan nenek moyang dari Nuruddin al-Raniri dikalangan sejarahwan terjadi beda pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari keluarga al-Hamid dari Zuhri (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Pendapat yang lain mengungkapkan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari al-Humaid, dengan nama lengkap Abu Bakr ‘Abd Allah bin Zubair al As’adi al-Humaid yang merupakan seorang mufti Makkah sekaligus murid termashur al-Syafii.
Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir) yaitu belajar ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut, dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri menemui dan menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara yang sudah menetap dan belajar di Arab.
Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga belajar ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian, Nuruddin al-Raniri ternyata juga belajar tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637 M, Nuruddin al-Raniri datang ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua asumsi yang mengatakan kenapa Nuruddin al-Raniri memilih Aceh. Pertama karena Aceh pada saatitu telah menggantikan peran Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai pusat perdagangan, politik, dan studi islam di kawasan Asia Tenggara. Kedua karena mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri (1588 M).
Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan kuat atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf, utamanya untuk membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.
Salah satu peristiwa penting dalam membatasi pengaruh paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40 ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M. Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri sebenarnya sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada murid terdekatnya.
Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam setelah bahasa Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung atas semua tulisan Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber referensi dalam memperkuat argumen yang dipaparkannya.
Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang penulis produktif. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama. Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup populer adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas berbagai masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
Pemikiran Kalam Nuruddin al-Raniri.
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan adalah esa lagi hakiki tanpa harus memerlukan dalil apapun.
2. Sifat dan zat Tuhan.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu antara sifat dan zat tidak memiliki perbedaan karena wujud yang hakiki adalah Allah Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya. Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana diterangkan berikut:
1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan wahdaniyyat (keesaan);
2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-kalam (berbicara).
Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu (Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu (Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-Mutakallimu (Yang Berbicara).
Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il (perbuatan) yang berhubungan dengan manusia yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);
3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.
Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku.
Tajalli dalam pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu:
1. Martabat wahidah;
Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli sifat pada hakikatnya adalah peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian akal yang mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi (mujarrad) dari sifat.
2. Martabat wahidiyyah;
Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu adalah hakikat alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh karena itu, a’yan tsabitah adalah hakikat alam yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah Swt.
Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, karena yang berwujud adalah Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman akal semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak memiliki wujud, dan hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat asmaNya.
4. Manusia.
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas berbagai unsur material. Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) adalah hakikat segala manusia mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam berbagai bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa.
Nur Muhammad adalah hakikat pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat bagian yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
1. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal) ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt. Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
2) iman kepada malaikat.
3) iman kepada kitab suci;
4) iman kepada rasul;
5) iman kepada hari kiamat; dan
6) iman kepada qada’ dan qadar;
2. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :
1) mengucap dua kalimat syahadat;
2) mengerjakan shalat lima waktu;
3)membayar zakat;
4) berpuasa di bulan ramadhan; dan
5) menjalankan ibadah haji;
3. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
4. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam tentang keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan fiilNya;
Kritik pada Paham Wujudiyyah.
1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan adalah hakikat fenomena alam ini;
2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;
3. Al-Qur’an adalah makhluk;
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, seperti ombak kembali ke laut;
Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah menganggap alam tidak memiliki bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan. Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain adalah majazi. Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini adalah wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut, sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak dapat dipidahkan.
Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid (al-Humaid) al-Syafi’i al-As’ary al-Aydarusi al-Raniri (w. 1658 M), kemudian dikenal dengan Nuruddin al-Raniri atau al-Raniri lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 M di Ranir (Randir) kota pelabuhan tua di pantai Gujarat (India). Nuruddin al-Raniri meninggal pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H atau bertepatan dengan 21 September 1658 M.
Keturunan nenek moyang dari Nuruddin al-Raniri dikalangan sejarahwan terjadi beda pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari keluarga al-Hamid dari Zuhri (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Pendapat yang lain mengungkapkan bahwa Nuruddin al-Raniri merupakan keturunan dari al-Humaid, dengan nama lengkap Abu Bakr ‘Abd Allah bin Zubair al As’adi al-Humaid yang merupakan seorang mufti Makkah sekaligus murid termashur al-Syafii.
Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir) yaitu belajar ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut, dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri menemui dan menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara yang sudah menetap dan belajar di Arab.
Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga belajar ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian, Nuruddin al-Raniri ternyata juga belajar tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637 M, Nuruddin al-Raniri datang ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua asumsi yang mengatakan kenapa Nuruddin al-Raniri memilih Aceh. Pertama karena Aceh pada saatitu telah menggantikan peran Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai pusat perdagangan, politik, dan studi islam di kawasan Asia Tenggara. Kedua karena mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri (1588 M).
Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan kuat atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf, utamanya untuk membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.
Salah satu peristiwa penting dalam membatasi pengaruh paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40 ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M. Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri sebenarnya sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada murid terdekatnya.
Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam setelah bahasa Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung atas semua tulisan Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber referensi dalam memperkuat argumen yang dipaparkannya.
Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang penulis produktif. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama. Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup populer adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas berbagai masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
Pemikiran Kalam Nuruddin al-Raniri.
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan adalah esa lagi hakiki tanpa harus memerlukan dalil apapun.
2. Sifat dan zat Tuhan.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu antara sifat dan zat tidak memiliki perbedaan karena wujud yang hakiki adalah Allah Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya. Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana diterangkan berikut:
1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan wahdaniyyat (keesaan);
2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-kalam (berbicara).
Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu (Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu (Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-Mutakallimu (Yang Berbicara).
Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il (perbuatan) yang berhubungan dengan manusia yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);
3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.
Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku.
Tajalli dalam pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu:
1. Martabat wahidah;
Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli sifat pada hakikatnya adalah peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian akal yang mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi (mujarrad) dari sifat.
2. Martabat wahidiyyah;
Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu adalah hakikat alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh karena itu, a’yan tsabitah adalah hakikat alam yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah Swt.
Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, karena yang berwujud adalah Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman akal semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak memiliki wujud, dan hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat asmaNya.
4. Manusia.
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas berbagai unsur material. Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) adalah hakikat segala manusia mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam berbagai bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa.
Nur Muhammad adalah hakikat pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat bagian yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
1. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal) ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt. Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
2) iman kepada malaikat.
3) iman kepada kitab suci;
4) iman kepada rasul;
5) iman kepada hari kiamat; dan
6) iman kepada qada’ dan qadar;
2. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :
1) mengucap dua kalimat syahadat;
2) mengerjakan shalat lima waktu;
3)membayar zakat;
4) berpuasa di bulan ramadhan; dan
5) menjalankan ibadah haji;
3. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
4. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam tentang keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan fiilNya;
Kritik pada Paham Wujudiyyah.
1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan adalah hakikat fenomena alam ini;
2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;
3. Al-Qur’an adalah makhluk;
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, seperti ombak kembali ke laut;
Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah menganggap alam tidak memiliki bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan. Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain adalah majazi. Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini adalah wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut, sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak dapat dipidahkan.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang biografi Nuruddin al-Raniri dan karya Nuruddin al-Raniri serta pemikiran kalam Nuruddin al-Raniri. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.