Riwayat Hidup Hamzah al-Fansuri dan Karya Hamzah al-Fansuri.
Hamzah al-Fansuri atau dikenal dengan nama lain Hamzah Syahru Nawi lahir di Sumatera Utara, dan hidup antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 M. Fansuri (Barus) diambil dari nama kota kelahirannya yang kemudian dianggap sebagai kelahiran pertama (jasmani), sedangkan Syahru Nawi merupakan nama kelahiran kedua (ruhani). Beliau dikenal sebagai tokoh tasawuf falsafi dengan paham wahdat alwujud yang berpijak pada madzhab Ibnu ‘Arabi.
Hamzah al-Fansuri dalam kebahasaan dipandang sebagai peletak dasar bahasa melayu dalam dunia Islam setelah bahasa Arab, Persi, dan Turki. Dan dalam bidang keilmuan juga dianggap sebagai pelopor penulisan risalah tasawuf yang ilmiah dan sistematis. Selain itu, Hamzah al-Fansuri juga dikenal dalam bidang politik sebagai seorang yang kritis. Serta sebagai pelopor penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian dalam bidang filsafat.
Para sejarahwan berpendapat bahwa Hamzah al-Fansuri sudah mulai menulis pada masa Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (w. 1604 M). Berkat peran Sultan Alauddin juga hasil karya-karya Hamzah al-Fansuri dapat dikenalkan di berbagai daerah, antara lain Gresik, Kudus, Makassar, Ternate, Malaka, Kedah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Adapun karya-karyanya ialah syarah al‘Asyiqin, asrar al-‘Arifin, dan al-Muntahi.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri secara mendalam dijelaskan dalam tiga karyanya yaitu,
1) syarah al-‘Asyiqin;
2) asrar al-‘Arifin; dan
3) al-Muntahi;
Adapun penjelasan secara umam sebagaimana berikut:
Pertama, dalam syarah al-‘Asyiqin secara garis besar membahas ilmu suluk, tajalli Tuhan, dan isyq dan sukr yang penjelasannya sebagai berikut:
1. Ilmu suluk terdiri dari:
a. Syariat adalah kewajiban di dunia dalam menjalankan kebajikan dan menjauhkan diri dari kejahatan dan syariat juga sebagai pintu pertama tarekat;
b. Tarekat dimulai dari taubat al-nasuha. Yaitu tidak memikirkan dan mengurusi dunia dan tidak meminta selain kepada Allah Swt.
c. Hakikat dibagi atas dua yaitu:
Pertama orang beristri, beranak, dan berumah tangga tetapi hati selalu lekat dengan Allah Swt;
Kedua yang menghabiskan hidup untuk menyembah dan mencintai Allah Swt;
d. Ma’rifat adalah mengenal Allah Swt dengan sebenar-benarnya, tanpa ma’rifat shalat yang dilakukan oleh ahli suluk tidak sah.
2. Tajalli Tuhan.
Dalam pembahasan tentang tajalli, al-Fansuri mengkatagorikan bahwa penciptaan tersusun atas lima martabat, yaitu:
a. Ta’ayyun awwam yang terdiri atas pengetahuan (ilm), ada (wujud), menyaksikan (syuhud), dan cahaya (nur);
b. Ta’ayyun tsani yakni kenyataan menjadi yang dikenal dan yang diketahui. Pengetahuan dalam bentuk yang dikenal atau al-a’yan al-tsabitah atau suwar al‘ilmiyah atau al-haqiqah al-asyya atau ruh idlafi;
c. Ta’ayyun tsalits adalah ruh manusia dan makhluk hidup lainnya;
d. Ta’ayyun rabi’ dan khamis yaitu penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk secara terus-menerus, salah satunya penciptaan atas manusia (ila ma la nihayata lahu).
Kedua, asrar al-‘Arifin, Hamzah al-Fansuri menerangkan bahwa melalui ketujuh sifat Tuhan yaitu al-Hayy, al-‘Ilm, al-Mudir, al-Qadim, al-Kalam, al-sami’, dan al-Bashir kemudian Tuhan disebut al-Kamal, al-Rahman, dan al-Rahim mengandung potensi dari tindakan-tindakanNya yang selalu menampakkan diri melalui ciptaanNya. Sebagaimana dianalogikan bahwa wujud Tuhan sebagai al-bahr yakni lautan dalam, yang ombaknya atau penampakan sifat dan pengetahuanNya meliputi segala sesuatu (diumpamakan altariq). Melalui analogi laut dan ombak keduanya adalah al-fariq.
Hamzah Al-Fansuri juga mejelaskan bahwa manusia adalah kecil (habab) dan kasar (khathif) tetapi sesungguhnya dekat dengan Tuhan (bahr al-Lathif atau bahr al-‘Amiq). Sebagaimana merujuk ayat al-Quran bahwa Tuhan dengan manusia sangat dekat, melebihi urat nadinya. Akan tetapi al-Fansuri menegaskan bahwa pendapatnya bukan ingin menyamakan antara Tuhan dan makhluknya, justru hanya sekedar sebagai tamsil dengan ditujukan pada keadaan (syu’un) Tuhan yakni Tuhan selalu mencipta dan tidak berkesudahan.
Ketiga, al-Muntahi, Hamzah al-Fansuri menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta sebagaimana manifestasi Tuhan dan kemahakuasaanNya.
Secara umum, pemikiran wahdat al-Wujud Hamzah al-Fansuri lebih menonjolkan aspek keserupaan atau kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan alam ciptaanNya, singkatnya menganggap Tuhan yang immanen. Walaupun tidak menafikan perbedaan (tanzih) antara Tuhan dan ciptaanNya. Sehingga pemikirannya kemudian dianggap sebagai paham panteisme.
Hamzah al-Fansuri atau dikenal dengan nama lain Hamzah Syahru Nawi lahir di Sumatera Utara, dan hidup antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 M. Fansuri (Barus) diambil dari nama kota kelahirannya yang kemudian dianggap sebagai kelahiran pertama (jasmani), sedangkan Syahru Nawi merupakan nama kelahiran kedua (ruhani). Beliau dikenal sebagai tokoh tasawuf falsafi dengan paham wahdat alwujud yang berpijak pada madzhab Ibnu ‘Arabi.
Hamzah al-Fansuri dalam kebahasaan dipandang sebagai peletak dasar bahasa melayu dalam dunia Islam setelah bahasa Arab, Persi, dan Turki. Dan dalam bidang keilmuan juga dianggap sebagai pelopor penulisan risalah tasawuf yang ilmiah dan sistematis. Selain itu, Hamzah al-Fansuri juga dikenal dalam bidang politik sebagai seorang yang kritis. Serta sebagai pelopor penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian dalam bidang filsafat.
Para sejarahwan berpendapat bahwa Hamzah al-Fansuri sudah mulai menulis pada masa Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (w. 1604 M). Berkat peran Sultan Alauddin juga hasil karya-karya Hamzah al-Fansuri dapat dikenalkan di berbagai daerah, antara lain Gresik, Kudus, Makassar, Ternate, Malaka, Kedah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. Adapun karya-karyanya ialah syarah al‘Asyiqin, asrar al-‘Arifin, dan al-Muntahi.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri secara mendalam dijelaskan dalam tiga karyanya yaitu,
1) syarah al-‘Asyiqin;
2) asrar al-‘Arifin; dan
3) al-Muntahi;
Adapun penjelasan secara umam sebagaimana berikut:
Pertama, dalam syarah al-‘Asyiqin secara garis besar membahas ilmu suluk, tajalli Tuhan, dan isyq dan sukr yang penjelasannya sebagai berikut:
1. Ilmu suluk terdiri dari:
a. Syariat adalah kewajiban di dunia dalam menjalankan kebajikan dan menjauhkan diri dari kejahatan dan syariat juga sebagai pintu pertama tarekat;
b. Tarekat dimulai dari taubat al-nasuha. Yaitu tidak memikirkan dan mengurusi dunia dan tidak meminta selain kepada Allah Swt.
c. Hakikat dibagi atas dua yaitu:
Pertama orang beristri, beranak, dan berumah tangga tetapi hati selalu lekat dengan Allah Swt;
Kedua yang menghabiskan hidup untuk menyembah dan mencintai Allah Swt;
d. Ma’rifat adalah mengenal Allah Swt dengan sebenar-benarnya, tanpa ma’rifat shalat yang dilakukan oleh ahli suluk tidak sah.
2. Tajalli Tuhan.
Dalam pembahasan tentang tajalli, al-Fansuri mengkatagorikan bahwa penciptaan tersusun atas lima martabat, yaitu:
a. Ta’ayyun awwam yang terdiri atas pengetahuan (ilm), ada (wujud), menyaksikan (syuhud), dan cahaya (nur);
b. Ta’ayyun tsani yakni kenyataan menjadi yang dikenal dan yang diketahui. Pengetahuan dalam bentuk yang dikenal atau al-a’yan al-tsabitah atau suwar al‘ilmiyah atau al-haqiqah al-asyya atau ruh idlafi;
c. Ta’ayyun tsalits adalah ruh manusia dan makhluk hidup lainnya;
d. Ta’ayyun rabi’ dan khamis yaitu penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk secara terus-menerus, salah satunya penciptaan atas manusia (ila ma la nihayata lahu).
Kedua, asrar al-‘Arifin, Hamzah al-Fansuri menerangkan bahwa melalui ketujuh sifat Tuhan yaitu al-Hayy, al-‘Ilm, al-Mudir, al-Qadim, al-Kalam, al-sami’, dan al-Bashir kemudian Tuhan disebut al-Kamal, al-Rahman, dan al-Rahim mengandung potensi dari tindakan-tindakanNya yang selalu menampakkan diri melalui ciptaanNya. Sebagaimana dianalogikan bahwa wujud Tuhan sebagai al-bahr yakni lautan dalam, yang ombaknya atau penampakan sifat dan pengetahuanNya meliputi segala sesuatu (diumpamakan altariq). Melalui analogi laut dan ombak keduanya adalah al-fariq.
Hamzah Al-Fansuri juga mejelaskan bahwa manusia adalah kecil (habab) dan kasar (khathif) tetapi sesungguhnya dekat dengan Tuhan (bahr al-Lathif atau bahr al-‘Amiq). Sebagaimana merujuk ayat al-Quran bahwa Tuhan dengan manusia sangat dekat, melebihi urat nadinya. Akan tetapi al-Fansuri menegaskan bahwa pendapatnya bukan ingin menyamakan antara Tuhan dan makhluknya, justru hanya sekedar sebagai tamsil dengan ditujukan pada keadaan (syu’un) Tuhan yakni Tuhan selalu mencipta dan tidak berkesudahan.
Ketiga, al-Muntahi, Hamzah al-Fansuri menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta sebagaimana manifestasi Tuhan dan kemahakuasaanNya.
Secara umum, pemikiran wahdat al-Wujud Hamzah al-Fansuri lebih menonjolkan aspek keserupaan atau kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan alam ciptaanNya, singkatnya menganggap Tuhan yang immanen. Walaupun tidak menafikan perbedaan (tanzih) antara Tuhan dan ciptaanNya. Sehingga pemikirannya kemudian dianggap sebagai paham panteisme.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang biografi dan karya Hamzah al-Fansuri serta pemikiran kalam Hamzah al-Fansuri. Sumber buku Ilmu Kalam Kelas XII MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.