Agama adalah fitrah bagi setiap manusia. Setiap manusia memiliki kesadaran akan eksistensi adanya Tuhan, sebagai inti dari pengalaman keberagamaannya. Manusia menemukan bahwa pada dirinya terdapat keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan dan nilai-nilai kebenaran. Meskipun demikian, manusia memiliki kecenderungan untuk berubah dari masa ke masa dikarenakan disorientasi fitrah yang dimilikinya. Karena itulah, manusia memerlukan petunjuk, dirumuskan dalam ajaran agama yang membimbing manusia ke jalan yang benar.
Islam datang sebagai penutup agama samawi, setelah sebelumnya didahului oleh Yahudi dan Kristen. Seorang muslim dalam hidupnya dengan sadar mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhannya dan Tuhan bagi semesta alam. Syahadat dalam Islam, yang berlafal:,
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah”, bermakna dua, nafy (peniadaan) dan isbat (penetapan) yang berarti peniadaan tuhan lain selain Allah Swt, dan penetapan Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan. Konsep Tauhid ini mengajarkan bahwa Allah Swt sebagai Tuhan, memiliki entitas yang berbeda dengan makhluk-Nya. Konsep ini dikenal dengan dualisme, adanya dua entitas yang eksis di dunia: Pencipta dan ciptaan. Pencipta adalah Allah Swt, sedangkan ciptaan adalah segala sesuatu selain Allah Swt. Dengan demikian, tidaklah mungkin bagi ciptaan untuk menempati posisi Pencipta, karena Pencipta adalah Zat yang Absolut.
Konsep Tuhan dalam Islam adalah Dzat yang transenden dan mutlak, sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak sepatutnya manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi (gambaran) kepada Dzat Pencipta.
Manusia diciptakan dengan status khalifah di muka bumi. Khalifah adalah wakil Allah Swt, untuk mewujudkan khilafah sebagaimana yang dikehendaki- Nya. Penciptaan ini digambarkan secara dramatis dalam Al-Qur’an, ketika Allah Swt memberitahukan para malaikat bahwa Ia menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat kemudian mempertanyakan, kenapa Allah Swt menjadikan manusia khalifah di bumi, padahal ia akan merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, sedangkan berlawanan dengan manusia, mereka, para malaikat, selalu bertasbih kepada-Nya dan mensucikan-Nya, pun mentaati segala perintah-Nya.
Kekhilafahan manusia bukanlah tanpa sebab, ia adalah ciptaan yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan kehendak Tuhan, atas kehendaknya sendiri. Kebebasan, adalah hal yang membedakan antara manusia dan malaikat. Malaikat tidak memiliki kebebasan, selalu mentaati perintah-Nya. Manusia memiliki hak prerogatifnya, yaitu memilih dengan kehendaknya sendiri. Pada bagian lain Al-Qur’an, Allah memberitahukan bagaimana Ia menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka mereka pun berpaling ketakutan dari tawaran ini. Akan tetapi, manusia menerima amanat ini, dengan kebebasannya untuk berkehendak.
Dengan pemberian ini, manusia memiliki peran untuk menjalankan kehendak Allah Swt di muka bumi. Maka tidaklah mungkin, manusia dibiarkan begitu saja dalam keadaan tersesat tanpa petunjuk. Untuk mengetahui kehendak-Nya, Allah Swt memberikan apa yang disebut dengan wahyu kepada mereka yang dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan.
Inti dari agama yang dengannya para rasul diutus oleh Allah Swt adalah ibadah kepada Allah Swt semata, tidak menyembah selain-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, bertawakkal, berdoa akan kebaikan dan meminta perlindungan dari keburukan. Akan tetapi, tidak hanya kebebasan, manusia juga diberi pedoman yang disebut suatu dengan nilai moral, kemampuan untuk menentukan kebenaran maupun kesalahan dalam statusnya.
Kebebasan untuk berkehendak bukanlah berarti manusia selalu benar dalam hidupnya. Dengan semua kemampuannya, manusia menjadi makhluk yang paling berkompeten untuk memakmurkan bumi. Manusia memiliki potensi untuk mengembangkan peradaban, teknologi, masyarakat dan semua yang dibutuhkannya, berbeda dengan eksistensi lainnya, manusia sebagai makhluk yang berkembang, mengembangkan kebudayaannya dari waktu ke waktu. Potensi itu terwujud dengan status manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Islam berpendapat bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan suci, atas fitrahnya, yakni tauhid. Sebelum ia lahir di muka bumi, ketika masih berada dalam alam ghaib sebelum dunia, manusia telah diminta kesaksiannya mengenai ketuhanan Allah Swt, dan ia pun bersaksi, sebagai mana termaktub dalam Al-Qur’an:
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A’raf : 172)
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang tauhid sebagai inti pengalaman beragama. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Islam datang sebagai penutup agama samawi, setelah sebelumnya didahului oleh Yahudi dan Kristen. Seorang muslim dalam hidupnya dengan sadar mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhannya dan Tuhan bagi semesta alam. Syahadat dalam Islam, yang berlafal:,
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah”, bermakna dua, nafy (peniadaan) dan isbat (penetapan) yang berarti peniadaan tuhan lain selain Allah Swt, dan penetapan Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan. Konsep Tauhid ini mengajarkan bahwa Allah Swt sebagai Tuhan, memiliki entitas yang berbeda dengan makhluk-Nya. Konsep ini dikenal dengan dualisme, adanya dua entitas yang eksis di dunia: Pencipta dan ciptaan. Pencipta adalah Allah Swt, sedangkan ciptaan adalah segala sesuatu selain Allah Swt. Dengan demikian, tidaklah mungkin bagi ciptaan untuk menempati posisi Pencipta, karena Pencipta adalah Zat yang Absolut.
Konsep Tuhan dalam Islam adalah Dzat yang transenden dan mutlak, sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak sepatutnya manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi (gambaran) kepada Dzat Pencipta.
Manusia diciptakan dengan status khalifah di muka bumi. Khalifah adalah wakil Allah Swt, untuk mewujudkan khilafah sebagaimana yang dikehendaki- Nya. Penciptaan ini digambarkan secara dramatis dalam Al-Qur’an, ketika Allah Swt memberitahukan para malaikat bahwa Ia menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Malaikat kemudian mempertanyakan, kenapa Allah Swt menjadikan manusia khalifah di bumi, padahal ia akan merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, sedangkan berlawanan dengan manusia, mereka, para malaikat, selalu bertasbih kepada-Nya dan mensucikan-Nya, pun mentaati segala perintah-Nya.
Kekhilafahan manusia bukanlah tanpa sebab, ia adalah ciptaan yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan kehendak Tuhan, atas kehendaknya sendiri. Kebebasan, adalah hal yang membedakan antara manusia dan malaikat. Malaikat tidak memiliki kebebasan, selalu mentaati perintah-Nya. Manusia memiliki hak prerogatifnya, yaitu memilih dengan kehendaknya sendiri. Pada bagian lain Al-Qur’an, Allah memberitahukan bagaimana Ia menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka mereka pun berpaling ketakutan dari tawaran ini. Akan tetapi, manusia menerima amanat ini, dengan kebebasannya untuk berkehendak.
Dengan pemberian ini, manusia memiliki peran untuk menjalankan kehendak Allah Swt di muka bumi. Maka tidaklah mungkin, manusia dibiarkan begitu saja dalam keadaan tersesat tanpa petunjuk. Untuk mengetahui kehendak-Nya, Allah Swt memberikan apa yang disebut dengan wahyu kepada mereka yang dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan.
Inti dari agama yang dengannya para rasul diutus oleh Allah Swt adalah ibadah kepada Allah Swt semata, tidak menyembah selain-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, bertawakkal, berdoa akan kebaikan dan meminta perlindungan dari keburukan. Akan tetapi, tidak hanya kebebasan, manusia juga diberi pedoman yang disebut suatu dengan nilai moral, kemampuan untuk menentukan kebenaran maupun kesalahan dalam statusnya.
Kebebasan untuk berkehendak bukanlah berarti manusia selalu benar dalam hidupnya. Dengan semua kemampuannya, manusia menjadi makhluk yang paling berkompeten untuk memakmurkan bumi. Manusia memiliki potensi untuk mengembangkan peradaban, teknologi, masyarakat dan semua yang dibutuhkannya, berbeda dengan eksistensi lainnya, manusia sebagai makhluk yang berkembang, mengembangkan kebudayaannya dari waktu ke waktu. Potensi itu terwujud dengan status manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Islam berpendapat bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan suci, atas fitrahnya, yakni tauhid. Sebelum ia lahir di muka bumi, ketika masih berada dalam alam ghaib sebelum dunia, manusia telah diminta kesaksiannya mengenai ketuhanan Allah Swt, dan ia pun bersaksi, sebagai mana termaktub dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A’raf : 172)
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang tauhid sebagai inti pengalaman beragama. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.