Sifat-sifat Allah Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa dan tidak memiliki sifat-sifat. Mu’tazilah melihat bahwa apa yang dimaksud sifat menurut golongan lain adalah zat Allah Swt sendiri. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat golongan lain, bagi mu’tazillah tidak lain adalah zat Allah Swt sendiri.
Aliran mu’tazilah memandang dirinya sebagai aliran ahlut tauhid wal ‘adil dengan menafikan sifat-sifat tuhan, tujuannya adalah untuk menyucikan keesaan tuhan. Golongan mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.
Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah menetapkan adanya dua tuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila tuhan memiliki sifat, sifat tersebut harus kekal seperti halnya zat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang kekal bukan hanya satu tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada pemahaman banyak yang kekal. Selanjutnya paham ini akan membawa kepada paham politheisme atau syirik.
Aliran mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak dapat memiliki sifat-sifat jasmani. Mereka mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat ayat al-Qur’an yang menggambarkan tuhan bersifat jasmani ditakwil dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah Swt. Misalnya, kata istawa dalam surah Thaha ayat lima ditakwil dengan al-Istila wa al-Ghalabah (menguasai dan mengalahkan), kata ini dalam surah Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan ilmi (pengetahuanKu), kata wajhah dalam surah al-Qashash ayat 88 ditakwilkan dengan zatuhu ayy nafsuhu (zatNya, yakni diriNya), kata yadd dalam surah Shad ayat 75 ditakwilkan dengan al quwwah (kekuatan).
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Karena, pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, kedua bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia, padahal kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihat tuhan di alam ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah;
Al-Qur'an Surat al-An’am ayat 103:
Artinya: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui." (QS. al-An’am :103)
Al-Qur'an Surat al-Qiyamah ayat 23:
Artinya: "Kepada tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah : 23)
Al-Qur'an Surat al-Kahfi ayat 110:
Artinya: "Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu adalah tuhan yang esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada tuhannya." (QS. al-Kahfi : 110)
Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah memberikan pandangan sendiri-sendiri mengenai sifat-sifat tuhan:
a. An–Nazhzham mendefikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah Swt yang lain.
Lebih lanjut An– Nazhzham memberikan pendapat bahwa jika ditetapkan bahwa Allah Swt itu adalah zat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah zatNya (bukan sifatNya).
b. Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah Swt adalah Allah Swt sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah Swt bersifat tahu, artinya aku nyatakan bahwa padaNya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah zatNya.
c. Arti tuhan mengetahui dengan esensinya kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.
d. Abu Hasyim berpendapat bahwa arti tuhan mengetahui melalui esensinya, ialah tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
Aliran mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa dan tidak memiliki sifat-sifat. Mu’tazilah melihat bahwa apa yang dimaksud sifat menurut golongan lain adalah zat Allah Swt sendiri. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat golongan lain, bagi mu’tazillah tidak lain adalah zat Allah Swt sendiri.
Aliran mu’tazilah memandang dirinya sebagai aliran ahlut tauhid wal ‘adil dengan menafikan sifat-sifat tuhan, tujuannya adalah untuk menyucikan keesaan tuhan. Golongan mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.
Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah menetapkan adanya dua tuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila tuhan memiliki sifat, sifat tersebut harus kekal seperti halnya zat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang kekal bukan hanya satu tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada pemahaman banyak yang kekal. Selanjutnya paham ini akan membawa kepada paham politheisme atau syirik.
Aliran mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak dapat memiliki sifat-sifat jasmani. Mereka mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat ayat al-Qur’an yang menggambarkan tuhan bersifat jasmani ditakwil dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah Swt. Misalnya, kata istawa dalam surah Thaha ayat lima ditakwil dengan al-Istila wa al-Ghalabah (menguasai dan mengalahkan), kata ini dalam surah Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan ilmi (pengetahuanKu), kata wajhah dalam surah al-Qashash ayat 88 ditakwilkan dengan zatuhu ayy nafsuhu (zatNya, yakni diriNya), kata yadd dalam surah Shad ayat 75 ditakwilkan dengan al quwwah (kekuatan).
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Karena, pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, kedua bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia, padahal kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihat tuhan di alam ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah;
Al-Qur'an Surat al-An’am ayat 103:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui." (QS. al-An’am :103)
Al-Qur'an Surat al-Qiyamah ayat 23:
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: "Kepada tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah : 23)
Al-Qur'an Surat al-Kahfi ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: "Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu adalah tuhan yang esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada tuhannya." (QS. al-Kahfi : 110)
Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah memberikan pandangan sendiri-sendiri mengenai sifat-sifat tuhan:
a. An–Nazhzham mendefikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah Swt yang lain.
Lebih lanjut An– Nazhzham memberikan pendapat bahwa jika ditetapkan bahwa Allah Swt itu adalah zat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah zatNya (bukan sifatNya).
b. Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah Swt adalah Allah Swt sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah Swt bersifat tahu, artinya aku nyatakan bahwa padaNya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah zatNya.
c. Arti tuhan mengetahui dengan esensinya kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.
d. Abu Hasyim berpendapat bahwa arti tuhan mengetahui melalui esensinya, ialah tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sifat-sifat tuhan menurut aliran Mu’tazilah. Sumber buku Siswa Kelas XII MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.