Pengertian nasikh dan mansukh, macam-macam nasikh dan mansukh, Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat di-Naskh, Syarat naṣ yang dapat di-Naskh, bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur'an dan Hikmah adanya Nasikh Mansukh.
1. Pengertian Naskh secara etimologi (bahasa).
Naskh adalah ism fa’il (bentuk subyek) dari kata kerja nasakha dan maṣdar-nya adalah naskh Terdapat beberapa arti kata naskh, diantaranya adalah al-izalah artinya “menghapus” Dalam al-Qur`an disebutkan:
Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ḥajj : 52)
Diartikan juga at-tabdil artinya “menukar”. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Naḥl ayat 101:
Artinya: "Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui."
Selain itu, naskhu juga dapat berarti al-taḥwīl artinya “mengubah”, selain itu juga dapat diartikan al-naql artinya “memindahkan”.
2. Pengertian Naskh secara terminologi (istilah).
Secara terminologi Nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar‘i dengan dalil hukum syar’i yang lain. Nasikh adalah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansūkh ialah hukum syara’ yang telah dihapus. Sebagaimana hadis Nabi:
Artinya: "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. atTirmidzi)
Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur, berdasarkan hadis ini.
3. Macam-macam Nasikh.
Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.., maka ada empat jenis Nasikh, yaitu:
a. Naskh sunnah dengan sunnah.
Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-Naskh menjadi boleh, seperti pada hadis di atas.
b. Naskh sunnah dengan al-Qur`an.
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, seperti ayat tentang ṣalat yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat setelah turun QS. al-Baqarah ayat 144:
Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram....
c. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an.
Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an ada yang mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-ayat al-Qur`an karena tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya adalah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya: "yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." (QS. Fuṣṣilat : 42 )
Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat menghadapi dua orang kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa ulama.
4. Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi Naskh menjadi tiga macam yaitu:
a. Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah:
Artinya: “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian alQur`an”
b. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada.
Misalnya, ayat tentang mendahulukan sedekah pada QS. Mujadilah : 12:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“
Ayat ini di-Naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13):
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang anda kerjakan.”
c. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contoh kategori ini adalah ayat rajam.
Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat al-Qur`an. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang orang tua yang berzina dan kemudian di-Naskh di atas diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl.
5. Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat di-Naskh.
Tidak semua naṣ (dalil) dalam al-Qur`an maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang tidak dapat di-naskh antara lain yaitu:
a. Naṣh yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah Swt, Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan naṣ yang berisi pokokpokok keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.
b. Naṣh yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya (Q.S. an-Nur : 4).
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."
c. Naṣh yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti kisah kaum ‘Ad, kaum Ṡamūd, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut.
6. Syarat naṣ yang dapat di-Naskh.
Jika dilihat dari segi syarat-syarat naṣh-naṣh yang dapat di-naskh menurut Abu Zahrah seperti yang dikutip Nasiruddin Baidan, ada beberapa kriteria, yaitu:
a. Hukum yang mansūkh (dihapus) tidak menunjukkan berlaku abadi.
b. Hukum yang mansūkh bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik dan buruknya.
c. Ayat nāsikh (yang menghapus) datang setelah yang di-mansukh (dihapus) dan keadaan kedua naṣ tersebut sangat bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
7. Hikmah adanya Nasikh Mansukh.
Diantara hikmah adanya nasikh mansukh adalah:
a. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah Swt. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah Swt akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
b. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum naskh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.
c. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).
d. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
e. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
f. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
1. Pengertian Naskh secara etimologi (bahasa).
Naskh adalah ism fa’il (bentuk subyek) dari kata kerja nasakha dan maṣdar-nya adalah naskh Terdapat beberapa arti kata naskh, diantaranya adalah al-izalah artinya “menghapus” Dalam al-Qur`an disebutkan:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ḥajj : 52)
Diartikan juga at-tabdil artinya “menukar”. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Naḥl ayat 101:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: "Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui."
Selain itu, naskhu juga dapat berarti al-taḥwīl artinya “mengubah”, selain itu juga dapat diartikan al-naql artinya “memindahkan”.
2. Pengertian Naskh secara terminologi (istilah).
Secara terminologi Nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar‘i dengan dalil hukum syar’i yang lain. Nasikh adalah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansūkh ialah hukum syara’ yang telah dihapus. Sebagaimana hadis Nabi:
Artinya: "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. atTirmidzi)
Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur, berdasarkan hadis ini.
3. Macam-macam Nasikh.
Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.., maka ada empat jenis Nasikh, yaitu:
a. Naskh sunnah dengan sunnah.
Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-Naskh menjadi boleh, seperti pada hadis di atas.
b. Naskh sunnah dengan al-Qur`an.
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, seperti ayat tentang ṣalat yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat setelah turun QS. al-Baqarah ayat 144:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram....
c. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an.
Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an ada yang mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-ayat al-Qur`an karena tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya adalah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Artinya: "yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." (QS. Fuṣṣilat : 42 )
Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat menghadapi dua orang kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa ulama.
4. Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi Naskh menjadi tiga macam yaitu:
a. Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah:
Artinya: “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian alQur`an”
b. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada.
Misalnya, ayat tentang mendahulukan sedekah pada QS. Mujadilah : 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۚ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“
Ayat ini di-Naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13):
أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ ۚ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang anda kerjakan.”
c. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contoh kategori ini adalah ayat rajam.
Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat al-Qur`an. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang orang tua yang berzina dan kemudian di-Naskh di atas diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl.
5. Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat di-Naskh.
Tidak semua naṣ (dalil) dalam al-Qur`an maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang tidak dapat di-naskh antara lain yaitu:
a. Naṣh yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah Swt, Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan naṣ yang berisi pokokpokok keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.
b. Naṣh yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya (Q.S. an-Nur : 4).
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."
c. Naṣh yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti kisah kaum ‘Ad, kaum Ṡamūd, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut.
6. Syarat naṣ yang dapat di-Naskh.
Jika dilihat dari segi syarat-syarat naṣh-naṣh yang dapat di-naskh menurut Abu Zahrah seperti yang dikutip Nasiruddin Baidan, ada beberapa kriteria, yaitu:
a. Hukum yang mansūkh (dihapus) tidak menunjukkan berlaku abadi.
b. Hukum yang mansūkh bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik dan buruknya.
c. Ayat nāsikh (yang menghapus) datang setelah yang di-mansukh (dihapus) dan keadaan kedua naṣ tersebut sangat bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
7. Hikmah adanya Nasikh Mansukh.
Diantara hikmah adanya nasikh mansukh adalah:
a. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah Swt. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah Swt akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
b. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum naskh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.
c. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).
d. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
e. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
f. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian nasikh dan mansukh, macam-macam nasikh dan mansukh, dan bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur'an. Sumber Tafsir Ilmu Tafsir Kelas X MA Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
maaf izin minta materinya kak mau untuk belajar terima ksih
BalasHapusNasihk dan mansuh ada 3 macam .
BalasHapusA. Al-Qur'an dengan Al-Qur'an
B Sunnah di nasahk dengan Al-Qur'an
C.sunnah dengan Sunnah
Berikan contohnya dan analisis anda
#bantu dijawab
Ini masih ada 3 macam...yg satu kemana...?
BalasHapusالحمد لله 🖤
BalasHapus