a. Dzahir
Dzahir secara bahasa : Yang terang (الواضح) dan yang jelas (البين).
Dalam pengertian istilah adalah apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rojih dengan lafadhnya sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,
“Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!”
Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
b. Takwil.
1. Pengertian Takwil.
Secara etimologi berarti at-Tafsir, al-Marja’, al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti tafsir (penjelasan, uraian), atau al-Marja’, al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
2. Macam-macam Takwil.
a. Ta’wil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shahih, seperti ta’wil terhadap firman Allah Swt :
“bertanyalah kepada desa.”
Kepada makna “bertanyalah kepada penduduk desa”, karena desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya.
b. Ta’wil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan makna tersebut, seperti ta’wil orang-orang mu’aththilah (ahli ta’thil) terhadap firman Allah Swt QS. Thoha (20) : 5
“Ar-Rohman bersemayam di atas arsy”
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
3. Syarat Takwil.
a. Lafadh yang dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at adalah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., bersabda:
Berkata, Ibnu 'Umar ra kepada 'Amru bin 'Utsman: "Bukankan dilarang menangis dan sungguh Rasulullah Saw telah bersabda: "Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?"(HR. Bukhari)
Siti Aisyah menolak hadis tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam al Qur’an yaitu firman Allah SWT:
Sebagian mujtahid mena’wilkan kemutlakan hadis tersebut kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. dengan contoh di atas dapat diketahui bahwa ta’wil itu ada karena adanya pertentangan dalam nash yang artinya zahir.
1. Ta’wil berdasarkan dalil adalah maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu harus nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun ‘amm, dengan cara seperti itu dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi hukum yang umum atau keadaan umum.
Taksis merupakan salah satu bagian dari ta’wil bahkan yang paling banyak dipakai. Contoh:
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaliyah). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka bila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat adalah maslahat.
2. Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum adalah kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum adalah kemerdekaan jual beli dan hak memiliki terhadap barang adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia dengan mengutamakan persamaan karena hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah Saw melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi karena jual beli semacam itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting terhadap manusia. Taksis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, karena didalamnya terdapat pengikisan keadilan dan terdapat unsur memakan harta manusia secara batil, yakni kaidah yang menghilangkan keridhaan.
3. Lafadh yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwillan kisah- kisah yang ada dalam al Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti iu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh tentang petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilannya berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari pada zahir lafadh. Begitu pula bertentangan antara zahir dengan nash tidak diragukan lagi bahwa nash itu menaksis yang zahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti asli maksud harus diutamakan.
Juga tentang penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zahir lafadhnya.
Dzahir secara bahasa : Yang terang (الواضح) dan yang jelas (البين).
Dalam pengertian istilah adalah apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rojih dengan lafadhnya sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,
توضؤوا من لحوم الإبل
“Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!”
Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
b. Takwil.
1. Pengertian Takwil.
Secara etimologi berarti at-Tafsir, al-Marja’, al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti tafsir (penjelasan, uraian), atau al-Marja’, al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
2. Macam-macam Takwil.
a. Ta’wil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shahih, seperti ta’wil terhadap firman Allah Swt :
وَاسْأَلْ أَهْلَ الْقَرْيَةِ
“bertanyalah kepada desa.”
Kepada makna “bertanyalah kepada penduduk desa”, karena desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya.
b. Ta’wil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan makna tersebut, seperti ta’wil orang-orang mu’aththilah (ahli ta’thil) terhadap firman Allah Swt QS. Thoha (20) : 5
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rohman bersemayam di atas arsy”
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
3. Syarat Takwil.
a. Lafadh yang dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan ta’wil.
Contoh: ta’wil dari nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zahir nash yang mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at adalah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., bersabda:
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
Berkata, Ibnu 'Umar ra kepada 'Amru bin 'Utsman: "Bukankan dilarang menangis dan sungguh Rasulullah Saw telah bersabda: "Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?"(HR. Bukhari)
Siti Aisyah menolak hadis tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam al Qur’an yaitu firman Allah SWT:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى
Sebagian mujtahid mena’wilkan kemutlakan hadis tersebut kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. dengan contoh di atas dapat diketahui bahwa ta’wil itu ada karena adanya pertentangan dalam nash yang artinya zahir.
1. Ta’wil berdasarkan dalil adalah maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu harus nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun ‘amm, dengan cara seperti itu dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi hukum yang umum atau keadaan umum.
Taksis merupakan salah satu bagian dari ta’wil bahkan yang paling banyak dipakai. Contoh:
وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ اَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنَ
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaliyah). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka bila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat adalah maslahat.
2. Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum adalah kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum adalah kemerdekaan jual beli dan hak memiliki terhadap barang adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia dengan mengutamakan persamaan karena hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah Saw melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi karena jual beli semacam itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting terhadap manusia. Taksis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, karena didalamnya terdapat pengikisan keadilan dan terdapat unsur memakan harta manusia secara batil, yakni kaidah yang menghilangkan keridhaan.
3. Lafadh yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwillan kisah- kisah yang ada dalam al Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti iu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
Contoh tentang petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilannya berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari pada zahir lafadh. Begitu pula bertentangan antara zahir dengan nash tidak diragukan lagi bahwa nash itu menaksis yang zahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti asli maksud harus diutamakan.
Juga tentang penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zahir lafadhnya.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian dzahir, takwil macam-macam takwil dan syarat takwil. Sumber Buku Fiqih Ushul Fiqih Kelas XII MA. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.