Tradisi menurut bahasa berarti adat istiadat, kebiasaan, turun menurun. Sedangan tradisi menurut istilah adalah adat kebiasaan turun-menurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.
Sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan. Hal inilah yang membuat proses dakwah Islam pada saat itu tidak terlepas dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, karena sudah mendarah daging. Sehingga memerlukan proses yang cukup lama.
Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa tradisi Islam di Nusantara merupakan akulturasi antara ajaran Islam dan adat istiadat yang ada di Nusantara.
Contoh seni budaya lokal Nusantara.
A. Kesenian Nusantara.
Banyaknya kesenian dan adat istiadat yang berkembang di Nusantara yang bernafaskan Islam merupakan rangkaian dakwah Islam yang dilakukan pada masa itu, misalnya:
1. Wayang.
Wayang merupakan hasil karya seorang wali, yaitu Sunan Kalijaga, yang mana wayang mengandung nilai filosofis, religius dan pendidikan. Misalnya: Cerita pewayangan yang bernafaskan Islam adalah Jamus Kalimosodo, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan Babat Alas Wonomarto.
2. Qasidah.
Qasidah adalah puisi yang terdiri dari 14 bait lebih, yang merupakan jenis seni suara yang bernafaskan Islam karena berisikan unsur-unsur dakwah Islam. Lagu-lagu qosidah biasanya dibawakan dengan irama gembira dan diiringi rebana. Pada awalnya rebana adalah intrumen yang mengiringi lagu-lagu keagamaan, seperti puji-pujian terhadap Allah, shalawat kepada Nabi saw atau syair-syair Arab.
3. Hadrah.
Hadrah adalah suatu kesenian dalam bentuk seni tari dan nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam. Lagu-lagu yang digunakan berisikan ajaran Islam dengan musiknya menggunakan rebana dan genjring dalam acara khitanan dan pernikahan.
4. Sekaten.
Sekaten merupakan perayaan maulid Nabi Muhammad saw. yang diadakan di Yogyakarta dan di Surakarta. Kata Sekaten berasal dari kata syahadatain. Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasarkan hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:
a. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang. Gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk.
Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam.
b. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
c. Pemberian sedekah (ungkapan rasa syukur kehadlirat Illahi) Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja. Selain itu ada tiga unsur penting dalam tradisi sekaten Ngayogyakarto, yaitu Pasar malam sekaten, Upacara perayaan sekaten dan Garebek sekaten
B. Adat Nusantara.
1. Adat Jawa.
Dalam adat Jawa setidaknya ada empat upacara adat Jawa, antara lain:
a. Upacara Ruwatan
Ruwatan (pensucian diri )adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia.
b. Upacara Perkawinan Tradisional Jawa
c. Upacara Tedak Siten.
Tedak siten adalah suatu upacara dalam tradisi budaya Jawa yang dilakukan ketika anak pertama belajar jalan dan dilaksanakan pada usia sekitar tujuh atau delapan bulan upacara Turun Tanah adalah salah satu upacara adat budaya Jawa untuk anak yang berusia 8 bulan (pitung lapan), di daerah lain di Indonesia juga dikenal upacara adat turun tanah ini dengan istilah yang berbeda. Upacara ini mewujudkan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam disekitarnya dan mulai belajar berjalan.
d. Upacara Tingkepan Atau Mitoni.
Upacara tingkepan disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama.Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.
2. Adat Melayu.
Kehidupan orang melayu (Riau) selalu diwarnai dengan upacara adat sebagai warisan tradisi nenek moyang mereka. Misalnya kelahiran anak hingga masuk usia dewasa.
Baca Juga : 10 Contoh Tradisi atau Budaya Islam di Nusantara
a. Anak yang baru lahir jika bayi laki-laki segera diadzankan sedang bayi perempuan diiqomahkan. Khusus bayi perempuan lidahnya ditetesi madu dengan menggunakan kain yang maksudnya agar anak tersebut memiliki kata-kata semanis madu.
b. Beberapa hari setelah kelahiran diadakan aqiqoh sesuai ajaran Islam, bagi laki-laki disembelihkan 2 ekor kambing dan bagi bayi perempuan 1 ekor kambing, selain diaqiqohi juga dilakukan pemotongan rambut sekaligus diberi nama.
c. Ketika bayi berusia 3 bulan diadakan upacara mengayun budak. Bagi bayi perempuan telinganya ditindik untuk dipasang perhiasan.
d. Pada usia 6 bulan diadakan upacara turun tanah (mudun lemah) yaitu ketika bayi menjejakkan kakinya pertama kali di tanah.
e. Pada usia 7 tahun orang tua mengantarkan ke Guru ngaji untuk belajar Al Qur’an, bersila dan menari zapin.
f. Khitanan (bersunat) jika sudah khatam ngajinya dengan diadakan pesta perayaan yang dimeriahkan dengan kesenian gazal dan langgam.
3. Adat Minang.
Menurut adat Minang, bahwa anak laki-laki yang akil baligh harus segera dikhitan dan belajar mengaji. Adapun bagi anak perempuan yang masuk usia dewasa diadakan upacara merias rambut (menata konde) terutama ketika pertama kali mendapati haid.
4. Adat Bugis.
Di Bugis ada jenis tarian adat yang disebut tari pergaulan yang dimainkan secara berkelompok baik laki-laki maupun perempuan saja. Tari pergaulan ini disajikan dalam berbagai upacara seperti pernikahan, khitanan atau hajatan lainnya yang bertujuan memeriahkan jalannya upacara.
5. Adat Madura.
Madura memiliki kesenian adat seperti sandur yang berarti nyanyian ritual, meniru suara gamelan dengan mulut dan tata cara bersenandung menghibur diri. Di Bangkalan, Sandur berarti pertunjukan teater komedi yang dahulu disebut slabadan yang belakangan ini disebut sandur Madura. Tema cerita diangkat berkisar tentang konflik rumah tangga yang dipresentasikan dengan kesahajaan, blak-blakan, lugas, dan komedi. Hal ini ada kemiripan dengan kesenian Jawa, seperti ketoprak, ludruk dan teater daerah.
6. Adat Sunda.
Perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut :
a. Pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan (biasa), misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.
b. Berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.
c. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda.
d. Berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, shalawat, dan tahlil. Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda.
1. terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan;
2. lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung;
3. terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.
Sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan. Hal inilah yang membuat proses dakwah Islam pada saat itu tidak terlepas dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, karena sudah mendarah daging. Sehingga memerlukan proses yang cukup lama.
Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa tradisi Islam di Nusantara merupakan akulturasi antara ajaran Islam dan adat istiadat yang ada di Nusantara.
Contoh seni budaya lokal Nusantara.
A. Kesenian Nusantara.
Banyaknya kesenian dan adat istiadat yang berkembang di Nusantara yang bernafaskan Islam merupakan rangkaian dakwah Islam yang dilakukan pada masa itu, misalnya:
1. Wayang.
Wayang merupakan hasil karya seorang wali, yaitu Sunan Kalijaga, yang mana wayang mengandung nilai filosofis, religius dan pendidikan. Misalnya: Cerita pewayangan yang bernafaskan Islam adalah Jamus Kalimosodo, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat, dan Babat Alas Wonomarto.
2. Qasidah.
Qasidah adalah puisi yang terdiri dari 14 bait lebih, yang merupakan jenis seni suara yang bernafaskan Islam karena berisikan unsur-unsur dakwah Islam. Lagu-lagu qosidah biasanya dibawakan dengan irama gembira dan diiringi rebana. Pada awalnya rebana adalah intrumen yang mengiringi lagu-lagu keagamaan, seperti puji-pujian terhadap Allah, shalawat kepada Nabi saw atau syair-syair Arab.
3. Hadrah.
Hadrah adalah suatu kesenian dalam bentuk seni tari dan nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam. Lagu-lagu yang digunakan berisikan ajaran Islam dengan musiknya menggunakan rebana dan genjring dalam acara khitanan dan pernikahan.
4. Sekaten.
Sekaten merupakan perayaan maulid Nabi Muhammad saw. yang diadakan di Yogyakarta dan di Surakarta. Kata Sekaten berasal dari kata syahadatain. Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasarkan hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:
a. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang. Gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk.
Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam.
b. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
c. Pemberian sedekah (ungkapan rasa syukur kehadlirat Illahi) Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja. Selain itu ada tiga unsur penting dalam tradisi sekaten Ngayogyakarto, yaitu Pasar malam sekaten, Upacara perayaan sekaten dan Garebek sekaten
B. Adat Nusantara.
1. Adat Jawa.
Dalam adat Jawa setidaknya ada empat upacara adat Jawa, antara lain:
a. Upacara Ruwatan
Ruwatan (pensucian diri )adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia.
b. Upacara Perkawinan Tradisional Jawa
c. Upacara Tedak Siten.
Tedak siten adalah suatu upacara dalam tradisi budaya Jawa yang dilakukan ketika anak pertama belajar jalan dan dilaksanakan pada usia sekitar tujuh atau delapan bulan upacara Turun Tanah adalah salah satu upacara adat budaya Jawa untuk anak yang berusia 8 bulan (pitung lapan), di daerah lain di Indonesia juga dikenal upacara adat turun tanah ini dengan istilah yang berbeda. Upacara ini mewujudkan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam disekitarnya dan mulai belajar berjalan.
d. Upacara Tingkepan Atau Mitoni.
Upacara tingkepan disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama.Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus.
2. Adat Melayu.
Kehidupan orang melayu (Riau) selalu diwarnai dengan upacara adat sebagai warisan tradisi nenek moyang mereka. Misalnya kelahiran anak hingga masuk usia dewasa.
Baca Juga : 10 Contoh Tradisi atau Budaya Islam di Nusantara
a. Anak yang baru lahir jika bayi laki-laki segera diadzankan sedang bayi perempuan diiqomahkan. Khusus bayi perempuan lidahnya ditetesi madu dengan menggunakan kain yang maksudnya agar anak tersebut memiliki kata-kata semanis madu.
b. Beberapa hari setelah kelahiran diadakan aqiqoh sesuai ajaran Islam, bagi laki-laki disembelihkan 2 ekor kambing dan bagi bayi perempuan 1 ekor kambing, selain diaqiqohi juga dilakukan pemotongan rambut sekaligus diberi nama.
c. Ketika bayi berusia 3 bulan diadakan upacara mengayun budak. Bagi bayi perempuan telinganya ditindik untuk dipasang perhiasan.
d. Pada usia 6 bulan diadakan upacara turun tanah (mudun lemah) yaitu ketika bayi menjejakkan kakinya pertama kali di tanah.
e. Pada usia 7 tahun orang tua mengantarkan ke Guru ngaji untuk belajar Al Qur’an, bersila dan menari zapin.
f. Khitanan (bersunat) jika sudah khatam ngajinya dengan diadakan pesta perayaan yang dimeriahkan dengan kesenian gazal dan langgam.
3. Adat Minang.
Menurut adat Minang, bahwa anak laki-laki yang akil baligh harus segera dikhitan dan belajar mengaji. Adapun bagi anak perempuan yang masuk usia dewasa diadakan upacara merias rambut (menata konde) terutama ketika pertama kali mendapati haid.
4. Adat Bugis.
Di Bugis ada jenis tarian adat yang disebut tari pergaulan yang dimainkan secara berkelompok baik laki-laki maupun perempuan saja. Tari pergaulan ini disajikan dalam berbagai upacara seperti pernikahan, khitanan atau hajatan lainnya yang bertujuan memeriahkan jalannya upacara.
5. Adat Madura.
Madura memiliki kesenian adat seperti sandur yang berarti nyanyian ritual, meniru suara gamelan dengan mulut dan tata cara bersenandung menghibur diri. Di Bangkalan, Sandur berarti pertunjukan teater komedi yang dahulu disebut slabadan yang belakangan ini disebut sandur Madura. Tema cerita diangkat berkisar tentang konflik rumah tangga yang dipresentasikan dengan kesahajaan, blak-blakan, lugas, dan komedi. Hal ini ada kemiripan dengan kesenian Jawa, seperti ketoprak, ludruk dan teater daerah.
6. Adat Sunda.
Perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah melahirkan beberapa hal sebagai berikut :
a. Pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan (biasa), misalnya masjid (bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.
b. Berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam dengan mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni dan pesta-pesta perkawinan.
c. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda.
d. Berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan, shalawat, dan tahlil. Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan komunitas masyarakat di wilayah Sunda telah melahirkan tiga aspek religiusitas yang berbeda.
1. terkungkungnya satu wilayah religius yang khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan;
2. lahirnya tradisi, budaya, dan religi baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Jawa Sunda di Cigugur Kuningan dan aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung;
3. terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pengertian tradisi Islam nusantara serta contoh kesenian dan adat nusantara. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.