Saddz berarti menutup, mengunci, mencegah. Zari’ah menurut bahasa adalah perantara, sarana, atau ajakan menuju sesuatu secara umum. Tetapi lazimnya kata zarī’ah digunakan untuk “jalan yang menuju kepada hal yang membahayakan”.
Menurut istilah syara’, adalah "Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang dilarang".
Contoh, melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang karena dikawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.
Kehujjahan Saddzu dzari’ah.
Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa menjerumuskan kepada kemaksiatan, terbagi menjadi:
Pertama: kecil kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat wanita yang dikhitbah. Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya.
Kedua: besar kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata pada saat ada perkelahian.
Ketiga: menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan, seperti orang yang menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat.
Menurut ulama’ Hanbali dan Maliki perbuatan di poin kedua dan ketiga tidak boleh di lakukan, dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika membuka jalan ke arah kemaksiatan, hal ini didasarkan pada hadits Nabi Saw.
“Barang siapa yang berputar-putar di sekitar larangan Allah ia akan terjatuh ke dalamnya”
Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan di poin kedua dan ketiga boleh di lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan yang pada asalnya mubah harus di perlakukan mubah tidak bisa menjadi haram hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam kemaksiatan.
Menurut istilah syara’, adalah "Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang dilarang".
Contoh, melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang karena dikawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.
Kehujjahan Saddzu dzari’ah.
Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa menjerumuskan kepada kemaksiatan, terbagi menjadi:
Pertama: kecil kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat wanita yang dikhitbah. Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya.
Kedua: besar kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata pada saat ada perkelahian.
Ketiga: menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan, seperti orang yang menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat.
Menurut ulama’ Hanbali dan Maliki perbuatan di poin kedua dan ketiga tidak boleh di lakukan, dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika membuka jalan ke arah kemaksiatan, hal ini didasarkan pada hadits Nabi Saw.
(فَمَنْ حَامَ حَوْل َالْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ (رواه البخارى
“Barang siapa yang berputar-putar di sekitar larangan Allah ia akan terjatuh ke dalamnya”
Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan di poin kedua dan ketiga boleh di lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan yang pada asalnya mubah harus di perlakukan mubah tidak bisa menjadi haram hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam kemaksiatan.
Sumber Buku Fiqih MA Kelas XII, Kementerian Agama Republik Indonesia
Apa contoh dzariah dalam kehidupan sehari hari?
BalasHapusTentang transaksi jual beli secara kredit
HapusMembuat pisau tapi untuk melakukan pembunuhan
Hapus