Kata syubhat berasal dari bahasa arab artinya keadaan sama, serupa, keadaan gelap, kabur, samar, tidak jelas. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syubhat berarti sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak diketahui secara pasti, apakah dihalalkan atau diharamkan.
Dalam pengertian yang lebih luas syubhat ialah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung kemungkinan benar atau salah.
Abdurrahman ar-Rasyid, dalam bukunya Halal Haram Menurut al-Quran dan Hadits, mendefinisikan syubhat adalah setiap perkara yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini dapat terjadi karena tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk memahami nash atau dalil yang ada terhadap suatu peristiwa.
Menurut Imam al-Ghazali, syubhat adalah sesuatu yang masalahnya tidak jelas karena di dalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut.
Terhadap persoalan syubhat, Islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat ini seorang muslim diharuskan menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat sehingga ia tidak akan terseret kepada perbuatan yang haram.
Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya karena takut terjatuh pada perkara yang haram.
Abi Abdillah Nu’man bin Basyir ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui banyak orang. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara samar, bersarti jatuh dalam perkara haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat daerah terlarang, tentu sangat riskan, suatu saat hewan gembalaannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna Kandungan Hadits:
Ada perkara-perkara yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas dilarang, dan ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yakni tidak jelas halal dan haramnya. Imam Nawawi berkata: “Segala sesuatu dibagi menjadi tiga: “
a. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: makan roti, berbicara, berjalan, dan lain sebagainya.
b. Jelas-jelas dilarang: minum khamr, zina, dan lain-lain.
c. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu banyak orang yang tidak mengetahuinya. Adapun ulama bisa mengetahui melalui berbagai dalil al-Qur’an dan sunnah, maupun Qiyas. Jika tidak ada nash dan tidak ada ijma’, maka dilakukan ijtihad.
Meskipun demikian jalan yang terbaik adalah meninggalkan perkara syubhat. Seperti: tidak bermu’amalah dengan orang yang hartanya bercampur dengan riba.
Adapun perkara-perkara yang diragukan akibat bisikan setan, bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya: tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir yang menjadi istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tiidak mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan mengandung benda najis.
Macam-macam Syubhat.
Ibnu Mudzir membagi syubhat menjadi tiga:
a. Sesuatu yang Haram, Namun kemudian Timbul Keraguan Karena Tercampur Dengan yang Halal. Misalnya ada dua kambing, salah satunya disembelih orang kafir, namun tidak jelas kambing yang mana yang disembelih orang kafir tersebut. Dalam hal ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-benar diketahui mana kambing yang disembelih orang kafir dan mana yang disembelih mukmin.
Contoh yang lain: Daging bangkai seekor kambing bercampur dengan daging beberapa ekor kambing yang disembelih secara halal. Maka keraguan dalam hal ini harus dijauhi karena tidak ada tanda pada daging dari bangkai yang bercampur. Apabila ada keraguan yang beralasan bahwa daging bangkai kambing itu telah bercampur maka hal tersebut haram.
b. Kebalikannya, yaitu Sesuatu yang Halal, Namun Kemudian Timbul Keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu apakah ia telah dicerai atau belum. Atau seorang yang habis wudhu merasa ragu apakah wudhunya batal atau belum. Keraguan yang demikian itu tidak ada pengaruhnya.
Contoh yang lain :Dilemparkan anak panah pada buruan. Buruan itu terluka lalu terjatuh ke air dan ditemukan telah menjadi bangkai. Tidak ada yang tahu apakah buruan itu mati karena tenggelam atau karena lukanya. Maka buruan ini adalah haram karena asalnya yang haram.
c. Sesuatu yang Diragukan Halal Haramnya.
Dalam masalah ini lebih menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena dikhawatirkan kurma Shadaqah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Ketika saya masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya karena takut kurma itu berasal dari shadaqah.”
Beberapa Pendapat Ulama Tentang Syubhat.
Abu Darda’ berpendapat bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal, sekecil apapun. Termasuk meninggalkan beberpa perkara yang diperbolehkan karena takut terjerumus pada perkara yang dilarang.
Hasan al-Bashry berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang.”
ats-Tsauri berkata: “Dikatakan bertakwa, karena seseorang takut pada hal-hal yang yang sepatutnya tidak ditakutkan.”
Ibnu Umar berkata: “Saya lebih suka menjauh dari perkara-perkara yang dilarang dengan meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan.”
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakikat iman kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara-perkara yang samar.”
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat, tanpa beliau sadari. Ketika beliau mengetahui bahwa beliau telah makan barang syubhat, maka beliau memasukkan jari tangan ke mulutnya hingga muntah.
Ketika Ibrahim bin Adham ditanya kenapa tidak minum air zam-zam, ia pun menjawab: “Seandainya saya punya ember niscaya saya akan minum.” Maksudnya ia ragu-ragu dengan ember yang digunakan untuk mengambil ari zam-zam pada saat itu, karena ember tersebut milik pemerintah dan dikhawatirkan tidak halal.
Menurut Ahmad Batahi al-Khatabi dalam kitab Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram Min Jam’i Adillati al-Ahkam, Juz IV, hukum meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah wajib. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka meninggalkannya adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal, maka meninggalkannya adalah makruh.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syubhat, macam-macam syubhat serta pendapat beberapa ulama tentang syubhat. Mudah-mudahan kita bisa terhindar dari hal-hal yang syubhat. Aamiin.
Dalam pengertian yang lebih luas syubhat ialah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung kemungkinan benar atau salah.
Abdurrahman ar-Rasyid, dalam bukunya Halal Haram Menurut al-Quran dan Hadits, mendefinisikan syubhat adalah setiap perkara yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini dapat terjadi karena tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk memahami nash atau dalil yang ada terhadap suatu peristiwa.
Menurut Imam al-Ghazali, syubhat adalah sesuatu yang masalahnya tidak jelas karena di dalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut.
Terhadap persoalan syubhat, Islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat ini seorang muslim diharuskan menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat sehingga ia tidak akan terseret kepada perbuatan yang haram.
Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya karena takut terjatuh pada perkara yang haram.
Abi Abdillah Nu’man bin Basyir ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui banyak orang. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara samar, bersarti jatuh dalam perkara haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat daerah terlarang, tentu sangat riskan, suatu saat hewan gembalaannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna Kandungan Hadits:
Ada perkara-perkara yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas dilarang, dan ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yakni tidak jelas halal dan haramnya. Imam Nawawi berkata: “Segala sesuatu dibagi menjadi tiga: “
a. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: makan roti, berbicara, berjalan, dan lain sebagainya.
b. Jelas-jelas dilarang: minum khamr, zina, dan lain-lain.
c. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu banyak orang yang tidak mengetahuinya. Adapun ulama bisa mengetahui melalui berbagai dalil al-Qur’an dan sunnah, maupun Qiyas. Jika tidak ada nash dan tidak ada ijma’, maka dilakukan ijtihad.
Meskipun demikian jalan yang terbaik adalah meninggalkan perkara syubhat. Seperti: tidak bermu’amalah dengan orang yang hartanya bercampur dengan riba.
Adapun perkara-perkara yang diragukan akibat bisikan setan, bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya: tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir yang menjadi istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tiidak mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan mengandung benda najis.
Macam-macam Syubhat.
Ibnu Mudzir membagi syubhat menjadi tiga:
a. Sesuatu yang Haram, Namun kemudian Timbul Keraguan Karena Tercampur Dengan yang Halal. Misalnya ada dua kambing, salah satunya disembelih orang kafir, namun tidak jelas kambing yang mana yang disembelih orang kafir tersebut. Dalam hal ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-benar diketahui mana kambing yang disembelih orang kafir dan mana yang disembelih mukmin.
Contoh yang lain: Daging bangkai seekor kambing bercampur dengan daging beberapa ekor kambing yang disembelih secara halal. Maka keraguan dalam hal ini harus dijauhi karena tidak ada tanda pada daging dari bangkai yang bercampur. Apabila ada keraguan yang beralasan bahwa daging bangkai kambing itu telah bercampur maka hal tersebut haram.
b. Kebalikannya, yaitu Sesuatu yang Halal, Namun Kemudian Timbul Keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu apakah ia telah dicerai atau belum. Atau seorang yang habis wudhu merasa ragu apakah wudhunya batal atau belum. Keraguan yang demikian itu tidak ada pengaruhnya.
Contoh yang lain :Dilemparkan anak panah pada buruan. Buruan itu terluka lalu terjatuh ke air dan ditemukan telah menjadi bangkai. Tidak ada yang tahu apakah buruan itu mati karena tenggelam atau karena lukanya. Maka buruan ini adalah haram karena asalnya yang haram.
c. Sesuatu yang Diragukan Halal Haramnya.
Dalam masalah ini lebih menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena dikhawatirkan kurma Shadaqah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Ketika saya masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya karena takut kurma itu berasal dari shadaqah.”
Beberapa Pendapat Ulama Tentang Syubhat.
Abu Darda’ berpendapat bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal, sekecil apapun. Termasuk meninggalkan beberpa perkara yang diperbolehkan karena takut terjerumus pada perkara yang dilarang.
Hasan al-Bashry berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang.”
ats-Tsauri berkata: “Dikatakan bertakwa, karena seseorang takut pada hal-hal yang yang sepatutnya tidak ditakutkan.”
Ibnu Umar berkata: “Saya lebih suka menjauh dari perkara-perkara yang dilarang dengan meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan.”
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakikat iman kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara-perkara yang samar.”
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat, tanpa beliau sadari. Ketika beliau mengetahui bahwa beliau telah makan barang syubhat, maka beliau memasukkan jari tangan ke mulutnya hingga muntah.
Ketika Ibrahim bin Adham ditanya kenapa tidak minum air zam-zam, ia pun menjawab: “Seandainya saya punya ember niscaya saya akan minum.” Maksudnya ia ragu-ragu dengan ember yang digunakan untuk mengambil ari zam-zam pada saat itu, karena ember tersebut milik pemerintah dan dikhawatirkan tidak halal.
Menurut Ahmad Batahi al-Khatabi dalam kitab Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram Min Jam’i Adillati al-Ahkam, Juz IV, hukum meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah wajib. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka meninggalkannya adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal, maka meninggalkannya adalah makruh.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syubhat, macam-macam syubhat serta pendapat beberapa ulama tentang syubhat. Mudah-mudahan kita bisa terhindar dari hal-hal yang syubhat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.