Al-Ma'mun ar-Rasyid bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Ma'mun adalah putera dari putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
Al-Ma'mun merupakan orang kedua yang berkuasa di keturunan Harun ar-Rasyid, selain itu saudara-saudara lainnya adalah al-Amin dan al-Mu'tasim yang menjadi khalifah sedangkan lainnya adalah al-Qasim dan al-Mu'taman. Keturunan al-Ma'mun tidak ada yang meneruskan menjadi khalifah, kekuasaan diteruskan oleh keponakannya, anak dari al-Mu'tasim yang bernama al-Watsiq.
Khalifah Al-Ma'mun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang shaleh yang memusuhinya. Bahkan sejarah mencatat beberapa noda hitam dalam masa pemerintahannya.
Oleh karena itu, sering kali mimbar-mimbar agama dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk menyerukan masyarakat agar lebih bersungguh-sungguh melawan kemungkaran dan kezaliman para penguasa. Namun sejauh itu, tidak ada yang berani dengan terang-terangan melawan dan mencaci Khalifah Al-Ma'mun.
Pada suatu hari, Khalifah Al-Ma'mun mengunjungi Bashrah. Ia ikut shalat Jum’at di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan Al-Bashri itu. Tiba-tiba khatib dalam khutbahnya menyebut namanya dengan nada tidak sopan dan membongkar serta menuduh kecurangan dan ketidak beresan kahlifah al-Makmun secara kasar.
Khalifah Al-Ma'mun mengelus dada dan berbaik sangka. Siapa tahu khatib itu cuma terbawa emosi akibat hawa panas yang sedang menyengat seluruh negeri?
Pada waktu yang lain, ketika Khalifah menjalankan shalat Jum’at di masjid yang berbeda, kebetulan khatibnya sama, seperti pada waktu khalifah shalat di masjid agung Bashrah. Dan khatib itu mengulangi kembali makian serta kutukan-kutukannya kepada khalifah Al-Ma'mun.
Di antaranya khatib itu berdoa, “Mudah-mudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah Swt.”
Maka habislah kesabaran Khliafah Al-Ma'mun. Khatib itu diperintahkan untuk datang menghadap ke istana. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau juga mengunjungi Khalifah Al-Ma'mun di istana.
Khalifah Al-Ma'mun bertanya kepada khatib yang keras itu,
“Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa?”
Tanpa berpikir panjang, sang khatib yang keras itu menjawab,
“Sudah tentu Nabi Musa lebih baik daripada saya. Tuan pun tahu bukan?” “
Ya,ya. Saya pikir begitu,” sahut Al-Ma'mun.
Khalifah Al-Ma'mun pun melanjutkan pertanyaannya,
“Lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya atau Firaun?”
Disini sang khatib terperangah. Khatib tersebut sudah menduga kemana tujun pertanyaan Khalifah itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka sang khatib lantas menjawab pertanyaan Khalifah Al-Ma'mun tersebut,
“Menurut saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan.”
Mendengar jawaban sang khatib tersebut, Khalifah Al-Ma'mun menegur sang khatib tersebut,
“Maaf, Tuan. Seingat saya, bagaimana pun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku sebagai tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa As, malah telah membunuh dayang-dayang putrinya yang bernama Masyitah beserta anaknya, namun Nabi Musa As tetap diperintahkan Allah Swt untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun yang zalim itu. Tolong Tuan membacakan buat saya perintah Allah Swt yang dimuat dalam Al-Quran tersebut?”
Sang khatib pun membacakan surah Thaha ayat 44 dengan gemetaran dan gagap yang bunyinya:
"Maka berbicaralah kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Khalifah Al-Ma'mun tersenyum sebelum dengan tegas bertitah,
”Karena itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih ber-etika?
Sebab Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan mempunya Al-Quran lain yang memuat ayat 44 surat Thaha itu?”
Khatib tersebut tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Hatinya tidak puas, rasanya masih ingin mengutuk Al-Ma'mun dengan kalimat yang lebih garang dan keras. Akan tetapi, bagaimana pun juga pahitnya, perintah Allah Swt harus dipatuhi, ayat Al-Quran harus dipegang.
Sejak saat itu sang khatib berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan pengajaran-pengajarannya, lalu berbalik langkah dari dunia hitam yang penuh maksiat, untuk bertaubat melaksanakan ibadah yang lebih taat.
Melalui mimbar-mimbarnya, ia sudah berani lantang mengutip surah An-Nahl ayat 125 yang berbunyi :
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dengan nasihat yang baik, dan berhujahlah kepada mereka dengan cara yang baik.”
Demikianlah sahabat bacaan madani kisah khalifah Al-Ma'mun yang tidak sejahat Fir’aun dan seorang khatin yang tidak sebaik Nabi Musa. As. Dari kisah tersebut bisa kita mengambil pelajaran bahwa kita tetap mensehati orang lain dengan kata-kata yang sopan dan penuh dengan kelemah lembutan.
Al-Ma'mun merupakan orang kedua yang berkuasa di keturunan Harun ar-Rasyid, selain itu saudara-saudara lainnya adalah al-Amin dan al-Mu'tasim yang menjadi khalifah sedangkan lainnya adalah al-Qasim dan al-Mu'taman. Keturunan al-Ma'mun tidak ada yang meneruskan menjadi khalifah, kekuasaan diteruskan oleh keponakannya, anak dari al-Mu'tasim yang bernama al-Watsiq.
Khalifah Al-Ma'mun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang shaleh yang memusuhinya. Bahkan sejarah mencatat beberapa noda hitam dalam masa pemerintahannya.
Oleh karena itu, sering kali mimbar-mimbar agama dimanfaatkan oleh para mubaligh untuk menyerukan masyarakat agar lebih bersungguh-sungguh melawan kemungkaran dan kezaliman para penguasa. Namun sejauh itu, tidak ada yang berani dengan terang-terangan melawan dan mencaci Khalifah Al-Ma'mun.
Pada suatu hari, Khalifah Al-Ma'mun mengunjungi Bashrah. Ia ikut shalat Jum’at di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan Al-Bashri itu. Tiba-tiba khatib dalam khutbahnya menyebut namanya dengan nada tidak sopan dan membongkar serta menuduh kecurangan dan ketidak beresan kahlifah al-Makmun secara kasar.
Khalifah Al-Ma'mun mengelus dada dan berbaik sangka. Siapa tahu khatib itu cuma terbawa emosi akibat hawa panas yang sedang menyengat seluruh negeri?
Pada waktu yang lain, ketika Khalifah menjalankan shalat Jum’at di masjid yang berbeda, kebetulan khatibnya sama, seperti pada waktu khalifah shalat di masjid agung Bashrah. Dan khatib itu mengulangi kembali makian serta kutukan-kutukannya kepada khalifah Al-Ma'mun.
Di antaranya khatib itu berdoa, “Mudah-mudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah Swt.”
Maka habislah kesabaran Khliafah Al-Ma'mun. Khatib itu diperintahkan untuk datang menghadap ke istana. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau juga mengunjungi Khalifah Al-Ma'mun di istana.
Khalifah Al-Ma'mun bertanya kepada khatib yang keras itu,
“Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa?”
Tanpa berpikir panjang, sang khatib yang keras itu menjawab,
“Sudah tentu Nabi Musa lebih baik daripada saya. Tuan pun tahu bukan?” “
Ya,ya. Saya pikir begitu,” sahut Al-Ma'mun.
Khalifah Al-Ma'mun pun melanjutkan pertanyaannya,
“Lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya atau Firaun?”
Disini sang khatib terperangah. Khatib tersebut sudah menduga kemana tujun pertanyaan Khalifah itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka sang khatib lantas menjawab pertanyaan Khalifah Al-Ma'mun tersebut,
“Menurut saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan.”
Mendengar jawaban sang khatib tersebut, Khalifah Al-Ma'mun menegur sang khatib tersebut,
“Maaf, Tuan. Seingat saya, bagaimana pun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku sebagai tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa As, malah telah membunuh dayang-dayang putrinya yang bernama Masyitah beserta anaknya, namun Nabi Musa As tetap diperintahkan Allah Swt untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun yang zalim itu. Tolong Tuan membacakan buat saya perintah Allah Swt yang dimuat dalam Al-Quran tersebut?”
Sang khatib pun membacakan surah Thaha ayat 44 dengan gemetaran dan gagap yang bunyinya:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
"Maka berbicaralah kamu berdua (Musa dan Harun) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Khalifah Al-Ma'mun tersenyum sebelum dengan tegas bertitah,
”Karena itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih ber-etika?
Sebab Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan mempunya Al-Quran lain yang memuat ayat 44 surat Thaha itu?”
Khatib tersebut tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Hatinya tidak puas, rasanya masih ingin mengutuk Al-Ma'mun dengan kalimat yang lebih garang dan keras. Akan tetapi, bagaimana pun juga pahitnya, perintah Allah Swt harus dipatuhi, ayat Al-Quran harus dipegang.
Sejak saat itu sang khatib berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan pengajaran-pengajarannya, lalu berbalik langkah dari dunia hitam yang penuh maksiat, untuk bertaubat melaksanakan ibadah yang lebih taat.
Melalui mimbar-mimbarnya, ia sudah berani lantang mengutip surah An-Nahl ayat 125 yang berbunyi :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dengan nasihat yang baik, dan berhujahlah kepada mereka dengan cara yang baik.”
Demikianlah sahabat bacaan madani kisah khalifah Al-Ma'mun yang tidak sejahat Fir’aun dan seorang khatin yang tidak sebaik Nabi Musa. As. Dari kisah tersebut bisa kita mengambil pelajaran bahwa kita tetap mensehati orang lain dengan kata-kata yang sopan dan penuh dengan kelemah lembutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.