Pengertian Wudhu menurut bahasa mempunyai artian Bersih dan Indah, sedangkan untuk menurut Syara mempunyai arti membersihkan bagian anggota tubuh dengan air untuk menghilangkan Hadats kecil sebelum anda mengerjakan Shalat (Shalat Wajib dan Sunnah) atau untuk keperluan lainnya seperti membaca Al Qur’an dan lain sebagainya.
Berwudhu merupakan Syarat Sah Shalat sehingga jika anda mengerjakan suatu Shalat tetapi tidak Berwudhu terlebih dahulu maka Shalat yang kita kerjakan akan sia – sia atau mubah atau tidak sah. Seperti Sabda Nabi Muhammad Saw seperti, ” Tidak diterima Sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu.” (HR. Muslim)
Jika suami istri bisa berpegangan dan bersentuhan lebih bebas, bagaimana jadinya jika salah satu atau keduanya sudah berwudhu? Apakah batal seperti halnya bersentuhan dengan lawan jenis bukan muhrim lainnya?
Secara umum ada tiga pendapat berbeda dalam hal ini.
Berikut pendapat pertama mengenai bersentuhan dengan isteri dapat membatalkan wudhu’, antara lain :
1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’. (Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14)
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun." (QS. An-Nisa’ : 43)
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
Artinya : "Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu’."(HR. Malik).
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”.
Pendapat kedua, Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
Artinya : "Sesungguhnya Nabi Saw pernah mencium isterinya, kemudian keluar melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu’ lagi." (HR. Ahmad)
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, (Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37) ( Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’. (Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32)
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
Artinya : "Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya sesudah berwudhu’ , kemudian beliau tidak mengulangi wudhu’ lagi." (HR. Baihaqi 10 dan Darulquthny 11)
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya.
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
Artinya : "Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah binti Zainab, cucu beliau sendiri." (HR. Bukhari)
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’
4.Hadits dari Aisyah ;
Artinya : "Sesungguhnya aku melihat Rasulullah Saw melakukan shalat, sedangkan aku berbaring diantara beliau dan qiblat. Apabila beliau ingin sujud, beliau mengisyaratkan kepada dua kakiku, maka aku menarik keduanya.” (HR.Bukhari)
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
Artinya : "Jika Rasulullah Saw melakukan shalat, sedangkan aku berbaring di antara hadapannya seperti jenazah sehingga apabila beliau merencanakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya." (HR. al-Nisa’i)
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut.
Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
Syekh Salih bin Muhammad bin Utsaimin berpendapat tidak batal wudhunya suami istri yang bersentuhan bahkan berciuman. Dasarnya adalah hadis dari Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan, "Nabi Saw mencium salah satu istrinya kemudian melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud).
Hadits ini diperselisihkan di kalangan ulama mengenai derajatnya. Syekh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya. Tidak utuhnya para ulama menerima derajat shahih hadits ini juga menjadi penyebab perbedaan pendapat masalah ini.
Pendapat yang ketiga dari mazhab Malik dan Hanbali yang menyatakan batalnya wudhu akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap suami istri ataupun selainnya. Ibnu Qudamah lebih menekankan hukum asalnya tidak membatalkan, namun jika keluar madzi dan mani maka wudhunya batal.
Berwudhu merupakan Syarat Sah Shalat sehingga jika anda mengerjakan suatu Shalat tetapi tidak Berwudhu terlebih dahulu maka Shalat yang kita kerjakan akan sia – sia atau mubah atau tidak sah. Seperti Sabda Nabi Muhammad Saw seperti, ” Tidak diterima Sholatmu tanpa Bersuci atau Wudhu.” (HR. Muslim)
Jika suami istri bisa berpegangan dan bersentuhan lebih bebas, bagaimana jadinya jika salah satu atau keduanya sudah berwudhu? Apakah batal seperti halnya bersentuhan dengan lawan jenis bukan muhrim lainnya?
Secara umum ada tiga pendapat berbeda dalam hal ini.
Berikut pendapat pertama mengenai bersentuhan dengan isteri dapat membatalkan wudhu’, antara lain :
1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’. (Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14)
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun." (QS. An-Nisa’ : 43)
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
Artinya : "Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu’."(HR. Malik).
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”.
Pendapat kedua, Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
Artinya : "Sesungguhnya Nabi Saw pernah mencium isterinya, kemudian keluar melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu’ lagi." (HR. Ahmad)
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, (Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37) ( Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’. (Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32)
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
Artinya : "Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya sesudah berwudhu’ , kemudian beliau tidak mengulangi wudhu’ lagi." (HR. Baihaqi 10 dan Darulquthny 11)
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya.
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
Artinya : "Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah binti Zainab, cucu beliau sendiri." (HR. Bukhari)
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’
4.Hadits dari Aisyah ;
Artinya : "Sesungguhnya aku melihat Rasulullah Saw melakukan shalat, sedangkan aku berbaring diantara beliau dan qiblat. Apabila beliau ingin sujud, beliau mengisyaratkan kepada dua kakiku, maka aku menarik keduanya.” (HR.Bukhari)
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
Artinya : "Jika Rasulullah Saw melakukan shalat, sedangkan aku berbaring di antara hadapannya seperti jenazah sehingga apabila beliau merencanakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya." (HR. al-Nisa’i)
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut.
Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
Syekh Salih bin Muhammad bin Utsaimin berpendapat tidak batal wudhunya suami istri yang bersentuhan bahkan berciuman. Dasarnya adalah hadis dari Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan, "Nabi Saw mencium salah satu istrinya kemudian melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud).
Hadits ini diperselisihkan di kalangan ulama mengenai derajatnya. Syekh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya. Tidak utuhnya para ulama menerima derajat shahih hadits ini juga menjadi penyebab perbedaan pendapat masalah ini.
Pendapat yang ketiga dari mazhab Malik dan Hanbali yang menyatakan batalnya wudhu akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap suami istri ataupun selainnya. Ibnu Qudamah lebih menekankan hukum asalnya tidak membatalkan, namun jika keluar madzi dan mani maka wudhunya batal.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang tiga pendapat masalah batalkah wudhu' apabila bersentuhan dengan isteri tanpa pembatas atau alas. Mudah-mudahan kita bisa menilai pendapat mana yang harus kita amalkan. Semoga kita umat Islam tidak berpecah dengan adanya tiga pendapat tersebut. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.