Ragu (keraguan) adalah suatu keadaan tidak tetap hati dalam mengambil suatu keputusan, menentukan pilihan atau kebimbangan antara ya atau tidak. Sifat ragu-ragu merupakan sifat yang harus dihindari, pada dasarnya sifat ragu-ragu itu adalah tipu daya setan. Firman Allah Swt.
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisa`: 120).
Sedangkan kebenaran itu sendiri berasal dari Allah Swt. Firman Allah Swt.
"Kebenaran itu adalah dari Robmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu (wahai Muhammad) Termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah : 147)
Seringkali kita dihinggapi ragu-ragu atau keraguan dalam hati. Ragu-ragu yang berlebihan bila dibiasakan akan melahirkan karakter peragu. Karena itu janganlah ragu-ragu dijadikan karakter, namun tempatkan itu hanya sebagai sinyal / tanda tanda untuk menguatkan mata hati kita menghadapi perkara atau persoalan.
Dalam Al-quran sudah dikatakan sifat ragu-ragu atau was-was adalah hasil tipu daya setan, jika seseorang sering ragu dalam mengambil keputusan berarti orang tersebut imannya lemah, orang yang kuat imannya tidak akan bisa setan mempengaruhinya dalam mengambil keputusan.
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. Dan tidak ada kekuasaan iblis atas mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Saba’: 20-21)
Ragu-ragu adalah perkara hati, karena semuanya kembali kepada keputusan hati dalam menetapkan suatu urusan itu untuk dijalankan atau tidak dijalankan. Terkait dengan itu lebih lanjut ada hadis lain yang berasal dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, telah berkata :
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw dan kesayangannya ra dia berkata: "Saya menghafal dari Rasulullah Saw (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu." (HR. Turmuzi dan dia berkata, Haditsnya hasan shahih)
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Dalam hadits Nabi Saw menegaskan:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.
Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Makna hadits di atas ialah berhenti dari hal-hal yang syubhat dan menjauhinya karena perkara yang halal itu tidak menimbulkan keraguan di hati seorang Mukmin. Keraguan adalah kekalutan dan kegoncangan. Justru jiwa terasa damai dengan perkara halal dan tenteram dengannya. Adapun hal-hal yang syubhat menimbulkan kekalutan dan kegoncangan di hati dan membuatnya ragu-ragu.
Abu ‘Abdur-Rahman al-Amri rahimahullah berkata, “Jika seorang hamba bersikap wara`, ia akan meninggalkan apa saja yang meragukannya menuju apa saja yang tidak meragukannya.”
Meninggalkan yang ragu ini berlaku dalam ibadah, mu’amalah, pernikahan, dan berlaku pula dalam setiap bab dalam disiplin ilmu.
Contoh dalam ibadah: Seseorang batal wudhu`nya, kemudian shalat, dan ia ragu-ragu apakah ia masih memiliki wudhu` ataukah sudah batal? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu-ragu. Yang diragukan di sini ialah sahnya shalat, yang tidak diragukan ialah hendaknya engkau berwudhu` dan shalat.
Kebalikannya: Seseorang wudhu` kemudian shalat, lalu ia ragu-ragu apakah wudhu`nya batal ataukah tidak? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu. Yang yakin padamu adalah wudhu`, sedangkan batal atau tidak batal adalah keraguan, maka tinggalkan keragu-raguan dan lanjutkan shalat.
Jika keragu-raguan terjadi di waktu shalat, maka pelakunya tidak boleh meninggalkan shalatnya karena ada hadits shahîh yang melarangnya. Seperti orang yang yakin mempunyai wudhu` kemudian shalat, namun ragu-ragu apakah ia telah batal atau belum, berdasarkan hadits shahîh dari Nabi Saw.
Bahwasanya diceritakan kepada Rasulullah Saw seorang laki-laki yang mengira bahwa ia mendapati sesuatu (hadats yang keluar darinya, Pen.) dalam shalat. Maka beliau Saw bersabda: “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”.
Begitu pula orang yang sering waswas dalam wudhu` dan shalatnya, maka hendaklah ia tinggalkan waswas tersebut karena waswas itu dari setan.
Adapun contoh yang lain: Seseorang yang pakaiannya terkena najis lalu ia cuci, kemudian ia ragu-ragu apakah najisnya sudah hilang ataukah belum? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu, hendaknya ia mencucinya lagi karena ia meragukan kesucian pakaiannya itu. Sebab, asalnya ialah terkena najis dan hilangnya najis masih diragukan.
Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan.”
Maksudnya, sesungguhnya kebaikan itu menentramkan hati, sedangkan keburukan membuat hati serba ragu dan tidak tentram. Ini isyarat untuk kembali kepada hati jika terjadi sesuatu yang tidak jelas.
Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.
Demikianlah Sahabat bacaan madani ulasan tentang hadits Rasulullah Saw untuk meninggalkan perkara yang meragukan. Sebab sifat meragukan itu berasal dari setan. Sedangkan kebenaran berasal dari Allah Swt. Mudah-mudan kita di jauhkan dari sifat ragu-ragu atau was-was. Aamiin.
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisa`: 120).
Sedangkan kebenaran itu sendiri berasal dari Allah Swt. Firman Allah Swt.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
"Kebenaran itu adalah dari Robmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu (wahai Muhammad) Termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah : 147)
Seringkali kita dihinggapi ragu-ragu atau keraguan dalam hati. Ragu-ragu yang berlebihan bila dibiasakan akan melahirkan karakter peragu. Karena itu janganlah ragu-ragu dijadikan karakter, namun tempatkan itu hanya sebagai sinyal / tanda tanda untuk menguatkan mata hati kita menghadapi perkara atau persoalan.
Dalam Al-quran sudah dikatakan sifat ragu-ragu atau was-was adalah hasil tipu daya setan, jika seseorang sering ragu dalam mengambil keputusan berarti orang tersebut imannya lemah, orang yang kuat imannya tidak akan bisa setan mempengaruhinya dalam mengambil keputusan.
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. Dan tidak ada kekuasaan iblis atas mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Saba’: 20-21)
Ragu-ragu adalah perkara hati, karena semuanya kembali kepada keputusan hati dalam menetapkan suatu urusan itu untuk dijalankan atau tidak dijalankan. Terkait dengan itu lebih lanjut ada hadis lain yang berasal dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, telah berkata :
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw dan kesayangannya ra dia berkata: "Saya menghafal dari Rasulullah Saw (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu." (HR. Turmuzi dan dia berkata, Haditsnya hasan shahih)
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Dalam hadits Nabi Saw menegaskan:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.
Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda : “Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.
Makna hadits di atas ialah berhenti dari hal-hal yang syubhat dan menjauhinya karena perkara yang halal itu tidak menimbulkan keraguan di hati seorang Mukmin. Keraguan adalah kekalutan dan kegoncangan. Justru jiwa terasa damai dengan perkara halal dan tenteram dengannya. Adapun hal-hal yang syubhat menimbulkan kekalutan dan kegoncangan di hati dan membuatnya ragu-ragu.
Abu ‘Abdur-Rahman al-Amri rahimahullah berkata, “Jika seorang hamba bersikap wara`, ia akan meninggalkan apa saja yang meragukannya menuju apa saja yang tidak meragukannya.”
Meninggalkan yang ragu ini berlaku dalam ibadah, mu’amalah, pernikahan, dan berlaku pula dalam setiap bab dalam disiplin ilmu.
Contoh dalam ibadah: Seseorang batal wudhu`nya, kemudian shalat, dan ia ragu-ragu apakah ia masih memiliki wudhu` ataukah sudah batal? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu-ragu. Yang diragukan di sini ialah sahnya shalat, yang tidak diragukan ialah hendaknya engkau berwudhu` dan shalat.
Kebalikannya: Seseorang wudhu` kemudian shalat, lalu ia ragu-ragu apakah wudhu`nya batal ataukah tidak? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu. Yang yakin padamu adalah wudhu`, sedangkan batal atau tidak batal adalah keraguan, maka tinggalkan keragu-raguan dan lanjutkan shalat.
Jika keragu-raguan terjadi di waktu shalat, maka pelakunya tidak boleh meninggalkan shalatnya karena ada hadits shahîh yang melarangnya. Seperti orang yang yakin mempunyai wudhu` kemudian shalat, namun ragu-ragu apakah ia telah batal atau belum, berdasarkan hadits shahîh dari Nabi Saw.
Bahwasanya diceritakan kepada Rasulullah Saw seorang laki-laki yang mengira bahwa ia mendapati sesuatu (hadats yang keluar darinya, Pen.) dalam shalat. Maka beliau Saw bersabda: “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”.
Begitu pula orang yang sering waswas dalam wudhu` dan shalatnya, maka hendaklah ia tinggalkan waswas tersebut karena waswas itu dari setan.
Adapun contoh yang lain: Seseorang yang pakaiannya terkena najis lalu ia cuci, kemudian ia ragu-ragu apakah najisnya sudah hilang ataukah belum? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu, hendaknya ia mencucinya lagi karena ia meragukan kesucian pakaiannya itu. Sebab, asalnya ialah terkena najis dan hilangnya najis masih diragukan.
Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan.”
Maksudnya, sesungguhnya kebaikan itu menentramkan hati, sedangkan keburukan membuat hati serba ragu dan tidak tentram. Ini isyarat untuk kembali kepada hati jika terjadi sesuatu yang tidak jelas.
Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan.
Demikianlah Sahabat bacaan madani ulasan tentang hadits Rasulullah Saw untuk meninggalkan perkara yang meragukan. Sebab sifat meragukan itu berasal dari setan. Sedangkan kebenaran berasal dari Allah Swt. Mudah-mudan kita di jauhkan dari sifat ragu-ragu atau was-was. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.