Mahkum bih adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy.Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah, makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.
Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih).
Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukumtaklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut;
a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut.
Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya.
Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah Saw kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c) Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah Swt adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf.
Oleh karena itu, Allah Swt tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286. (Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta:AMZAH,2010)
Macam-Macam MahkumBih.
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri atas :
a) Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum syara’.
b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas.
c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d) Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa. (Rachmad Syafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV Bandung:PustakaSetia 2010) hal,332
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah Swt, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum).
Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah Swt maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi. (Khairul umam, ushul fiqih 1, Bandung, cv pustaka setia, 2000), hlm 327.
1. Dasar Taklif.
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum iamampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam:
"Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh." (HR. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib). (Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, Bandung, logos, 1999), hlm 305.
2. Syarat-syarat Taklif.
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i.
Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b) Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.
Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang. (A. Syafi’I Karim, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997), hlm 134.
Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih).
Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukumtaklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut;
a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut.
Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya.
Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah Saw kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c) Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah Swt adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf.
Oleh karena itu, Allah Swt tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286. (Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta:AMZAH,2010)
Macam-Macam MahkumBih.
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri atas :
a) Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait hukum syara’.
b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas.
c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d) Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa. (Rachmad Syafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV Bandung:PustakaSetia 2010) hal,332
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah Swt, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum).
Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah Swt maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi. (Khairul umam, ushul fiqih 1, Bandung, cv pustaka setia, 2000), hlm 327.
1. Dasar Taklif.
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum iamampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam:
"Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh." (HR. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib). (Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, Bandung, logos, 1999), hlm 305.
2. Syarat-syarat Taklif.
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i.
Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
b) Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.
Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang. (A. Syafi’I Karim, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997), hlm 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.