Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain.
Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
Pembagian Ahliyah.
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujuddan ahliyah al-ada’.
1) Ahliyah Ada’
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2) Ahliyah al-Wujud.
Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
3) Ahliyah al-Wujud an-Naqishah.
Ahliyah al-wujud an-naqishah adalah ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
4)Ahliyah al-Wujud al-Kamilah.
Ahliyah al-wujud al-kamilah adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. (Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999) Hal, 308
Pengertian Awaridl Ahliyah.
Awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua bagian:
1) Awaridl al-Samawiyah.
Awaridl al-samawiyah maksudnya adalah halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
2) Awaridl al-Mukhtasabah.
Awaridl al-mukhtasabah adalah halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh. ( Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999) Hal, 136)
Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain.
Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
Pembagian Ahliyah.
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujuddan ahliyah al-ada’.
1) Ahliyah Ada’
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2) Ahliyah al-Wujud.
Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
3) Ahliyah al-Wujud an-Naqishah.
Ahliyah al-wujud an-naqishah adalah ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
4)Ahliyah al-Wujud al-Kamilah.
Ahliyah al-wujud al-kamilah adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. (Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999) Hal, 308
Pengertian Awaridl Ahliyah.
Awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua bagian:
1) Awaridl al-Samawiyah.
Awaridl al-samawiyah maksudnya adalah halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
2) Awaridl al-Mukhtasabah.
Awaridl al-mukhtasabah adalah halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh. ( Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999) Hal, 136)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.