Pujian adalah ungkapan kekaguman yang positif terhadap orang lain karena kelebihan yang dimilikinya, baik itu berupa kecantikan atau ketampanan, kekayaan, kepintaran, dan sebagainya dengan tulus dan sejujurnya, sehingga dapat juga memberikan motivasi kepada orang yang diberi pujian. Manusia pada dasarnya senang dipuji dan dikagumi, karena pujian diisyaratkan sebagai suatu bentuk perhatian orang lain terhadap dirinya. Akan tetapi Islam telah mengatur tata cara dan adab memuji terhadap orang lain yang mengandung banyak kebaikan.
Memuji manusia pada dasarnya tidak dilarang dalam agama, selama pujian itu tidak merusakkan orang lain, atau membuat orang lain menjadi angkuh, atau ia merasa, dengan pujian itu ia mendapat kesempatan untuk menghina atau mencari keuntungan. Terutama pujian yang sangat berlebih-lebihan.
Memuji manusia yang sangat berlebih-lebihan akan menyamai manusia terhadap Khalik, Pencipta alam semesta. Sebab, yang berhak menerima Puja dan puji setinggi-tingginya hanyalah Allah semata.
Pujian terbagi menjadi 2 yaitu,
1. Pujian yang Tercela.
Pujian yang tercela adalah pujian yang berlebih-lebihan dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri dan sombong.
Dari Abu Bakar ra, beliau menceritakan bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi Saw. Nabi Saw bersabda,
“Celakalah engkau, kamu telah menggorok leher saudaramu. Kamu telah meggorok leher saudaramu!”
Nabi Saw mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi Saw bersabda,
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah: ‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai (keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Musa ra, beliau menceritakan bahwa Nabi Saw mendengar ada orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi Saw bersabda,
“Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah membinasakannya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri dan sombong, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.
2. Pujian yang Dibolehkan.
Pujian yang dibolehkan adlah pujian yang tidak-berlebih-lebahan, sehingga tidak membuat orang yang dipuji tersebut sombong atau merasa bangga diri. Maka hukumnya diperbolehkan.
Imam Bukhari ra memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad ra berkata,
“Tidak pernah kudengar Nabi Saw menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.” (HR. Bukhari (VII/87)
Rasulullah Saw melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab ra. sebagai berikut,
“Jika setan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” (HR. Muslim (IV/1864)
Pujian yang diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang diperbolehkan. Bahkan Nabi Saw pun dipuji dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi Saw tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya dengan pujian yang wajar tersebut.
Nabi Saw pernah bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan keberkahan kepadanya.” (HR. Imam Malik, Ibnu Majah dan Ahmad)
Sahabat bacaan madani yang dirahmati Allah Swt. Imam Nawawi ra. mengatakan bahwa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri di dalam diri orang yang dipuji.
Akan tetapi, jika tidak dikhawatirkan akan terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang tersebut. (Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim XVIII/126)
Memuji manusia pada dasarnya tidak dilarang dalam agama, selama pujian itu tidak merusakkan orang lain, atau membuat orang lain menjadi angkuh, atau ia merasa, dengan pujian itu ia mendapat kesempatan untuk menghina atau mencari keuntungan. Terutama pujian yang sangat berlebih-lebihan.
Memuji manusia yang sangat berlebih-lebihan akan menyamai manusia terhadap Khalik, Pencipta alam semesta. Sebab, yang berhak menerima Puja dan puji setinggi-tingginya hanyalah Allah semata.
Pujian terbagi menjadi 2 yaitu,
1. Pujian yang Tercela.
Pujian yang tercela adalah pujian yang berlebih-lebihan dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri dan sombong.
Dari Abu Bakar ra, beliau menceritakan bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi Saw. Nabi Saw bersabda,
“Celakalah engkau, kamu telah menggorok leher saudaramu. Kamu telah meggorok leher saudaramu!”
Nabi Saw mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi Saw bersabda,
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah: ‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai (keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Musa ra, beliau menceritakan bahwa Nabi Saw mendengar ada orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi Saw bersabda,
“Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah membinasakannya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri dan sombong, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.
2. Pujian yang Dibolehkan.
Pujian yang dibolehkan adlah pujian yang tidak-berlebih-lebahan, sehingga tidak membuat orang yang dipuji tersebut sombong atau merasa bangga diri. Maka hukumnya diperbolehkan.
Imam Bukhari ra memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad ra berkata,
“Tidak pernah kudengar Nabi Saw menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.” (HR. Bukhari (VII/87)
Rasulullah Saw melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab ra. sebagai berikut,
“Jika setan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” (HR. Muslim (IV/1864)
Pujian yang diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang diperbolehkan. Bahkan Nabi Saw pun dipuji dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi Saw tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya dengan pujian yang wajar tersebut.
Nabi Saw pernah bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan keberkahan kepadanya.” (HR. Imam Malik, Ibnu Majah dan Ahmad)
Sahabat bacaan madani yang dirahmati Allah Swt. Imam Nawawi ra. mengatakan bahwa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri di dalam diri orang yang dipuji.
Akan tetapi, jika tidak dikhawatirkan akan terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang tersebut. (Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim XVIII/126)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.