Dunia dan segala isinya sering membuat mata manusia hijau, lupa diri dan lupa daratan bahkan ada yang sampai saling menyakiti, sampai berujung kepada perselisihan dan pertumpahan darah. Dan yang paling berbahaya adalah membuat manusia itu berpaling dari Allah swt. Rasulullah SAW mengingatkan bahayanya bila seseorang berambisi pada dunia.
“Barang siapa yang didunia ini adalah semangat dan hasratnya, kepadanya ia memberikan perhatian dan untuknya ia berniat, niscaya Allah menjadikan kefakiran dihadapan kedua matanya. Allah SWT akan memporak-poandakan segala urusannya dan tidak akan ia perolehh darinya kecuali sekadar apa yang telah ditetapkan untuk dirinya.” (HR Bazzar,Thabrani,dan Ibnu Hibban)
Dunia sesungguhnya hanya sebagai tempat sementara. Dunia ini tak lebih dari tempat bercocok tanam, sedangkan panennya akan diperoleh dalam kehidupan di akhirat nanti. Namun, tetap saja begitu banyak manusia yang lupa akan hakikat dunia, sehingga kesenangan dan kenikmatan dunia menjadi ambisi manusia. Kecinta manusia terhadap harta dan tahta.
Allah Swt. berfirman :
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash : 83)
Dan juga hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Tirmidzî dari Ibn Ka’b:
“Dari Ibn Ka’b bin Mâlik al-Anshari dari ayahnya berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Serigala yang buas yang dilepas di kandang kambing tidak lebih berbahaya dari pada cinta harta dan tahta dalam kehidupan agama seseorang.”. (HR. Tarmidzi)
Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga tunduk kepadanya karena tahtanya, dan memujinya dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya. Seperti harta, maknanya adalah kepemilikan dirham demi mencapai tujuan-tujuannya.
Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan, "Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!" Namun Fir'aun kemudian memperjelas, dan manusia lain menyamarkan.
Tetapi manakala terputus dari sikap "Satu-satunya dalam wujud" (yang paling), dia tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar dia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan.
Menurut Imam al-Ghazali setiap manusia perlu mengetahui etika bertahta. Menurut beliau, tujuan tahta itu adalah keluhuran sedangkan untuk menggapai keluhuran yang hakiki manusia dapat mencapainya dengan taqarrub kepada Allah Swt. Sebab, itulah supremasi dan kesempurnaan sejati, yang tidak mengandung kehinaan, kekayaan yang tidak mengandung kefakiran, kekekalan yang tidak mengandung kehancuran, serta kenikmatan yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Sementara ambisi yang dicaci adalah upaya mencapai kesempurnaan semu, bukan kesempurnaan hakiki.
sahabat bacaan madani yang dirahmati Allah Swt. Setiap keparipurnaan hakiki selalu dikembalikan pada asas keilmuan, kemerdekaan dan kekuasaan. Yaitu, nuansa yang bebas tidak terikat oleh makhluk lain. Sedangkan hamba, tidak memiliki kompetensi untuk berkuasa secara hakiki. Jika kekuasaannya terletak pada harta dan tahta. Padahal kekuasaan seperti itu bersifat semu tidak langgeng dan akan habis karena kematian.
“Barang siapa yang didunia ini adalah semangat dan hasratnya, kepadanya ia memberikan perhatian dan untuknya ia berniat, niscaya Allah menjadikan kefakiran dihadapan kedua matanya. Allah SWT akan memporak-poandakan segala urusannya dan tidak akan ia perolehh darinya kecuali sekadar apa yang telah ditetapkan untuk dirinya.” (HR Bazzar,Thabrani,dan Ibnu Hibban)
Dunia sesungguhnya hanya sebagai tempat sementara. Dunia ini tak lebih dari tempat bercocok tanam, sedangkan panennya akan diperoleh dalam kehidupan di akhirat nanti. Namun, tetap saja begitu banyak manusia yang lupa akan hakikat dunia, sehingga kesenangan dan kenikmatan dunia menjadi ambisi manusia. Kecinta manusia terhadap harta dan tahta.
Allah Swt. berfirman :
ِتلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لاَيُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي اْلاَرْضِ وَلاَفَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ (القصص : ٨٣ )
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash : 83)
Dan juga hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Tirmidzî dari Ibn Ka’b:
عَنْ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ (رواه الترمذي)
“Dari Ibn Ka’b bin Mâlik al-Anshari dari ayahnya berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Serigala yang buas yang dilepas di kandang kambing tidak lebih berbahaya dari pada cinta harta dan tahta dalam kehidupan agama seseorang.”. (HR. Tarmidzi)
Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga tunduk kepadanya karena tahtanya, dan memujinya dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya. Seperti harta, maknanya adalah kepemilikan dirham demi mencapai tujuan-tujuannya.
Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan, "Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!" Namun Fir'aun kemudian memperjelas, dan manusia lain menyamarkan.
Tetapi manakala terputus dari sikap "Satu-satunya dalam wujud" (yang paling), dia tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar dia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan.
Menurut Imam al-Ghazali setiap manusia perlu mengetahui etika bertahta. Menurut beliau, tujuan tahta itu adalah keluhuran sedangkan untuk menggapai keluhuran yang hakiki manusia dapat mencapainya dengan taqarrub kepada Allah Swt. Sebab, itulah supremasi dan kesempurnaan sejati, yang tidak mengandung kehinaan, kekayaan yang tidak mengandung kefakiran, kekekalan yang tidak mengandung kehancuran, serta kenikmatan yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Sementara ambisi yang dicaci adalah upaya mencapai kesempurnaan semu, bukan kesempurnaan hakiki.
sahabat bacaan madani yang dirahmati Allah Swt. Setiap keparipurnaan hakiki selalu dikembalikan pada asas keilmuan, kemerdekaan dan kekuasaan. Yaitu, nuansa yang bebas tidak terikat oleh makhluk lain. Sedangkan hamba, tidak memiliki kompetensi untuk berkuasa secara hakiki. Jika kekuasaannya terletak pada harta dan tahta. Padahal kekuasaan seperti itu bersifat semu tidak langgeng dan akan habis karena kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.