Dikisahkan bahwa hiduplah seorang wanita tua dengan seorang anak lelakinya yang sangat saleh dan taat kepadanya. Pemuda tersebut bernama Juraij. Ia terkenal akan kepatuhannya kepada sang ibu, juga ketaatannya dalam beribadah kepada Allah Swt. Agar ibadahnya lebih khusu’, Juraij membangun tempat ibadah semacam mu¡alla yang tidak jauh dari rumahnya.
Suatu ketika Juraij sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba ibunya datang memanggilnya, “Wahai Juraij!”. Dalam hatinya, Juraij bergumam, “Wahai Rabbku, apakah yang harus aku dahulukan, meneruskan śalatku ataukah memenuhi panggilan ibuku?” Dalam kebimbangan, dia memutuskan untuk tetap meneruskan shalatnya. Akhirnya sang ibu pulang.
Esok harinya, sang ibu datang lagi dan memanggil, “Wahai Juraij!” Juraij yang saat itu pun sedang shalat bergumam dalam hatinya, “Wahai Rabbku, apakah aku harus meneruskan shalatku ataukah (memenuhi) panggilan ibuku?” Juraij pun memutuskan bahwa shalat lebih utama untuk dilanjutkan daripada membatalkannya untuk memenuhi panggilan ibunya. Ia pun tetap meneruskan shalatnya. Ibunya pun kembali pulang untuk-kedua kalinya.
Hari berikutnya, yaitu untuk ketiga kalinya ia datang lagi seraya memanggil, “Wahai Juraij!”. Lagi-lagi Juraij sedang menjalankan shalat. Seperti halnya panggilan yang pertama dan kedua, Juraij bimbang apakah meneruskan shalat ataukah membatalkannya untuk memenuhi panggilan ibunya tercinta. Akhirnya, Juraij memutuskan untuk melanjutkan shalatnya dan baru kemudian memenuhi panggilan ibunya.
Dengan perasaan kecewa dan jengkel setelah tiga kali panggilannya tidak mendapat respons dari anaknya, sang ibu berdoa, “Ya Allah Swt., janganlah engkau matikan Juraij hingga dia melihat wajah wanita pelacur”. Orang-orang Bani Israil (ketika itu) sering menyebut-nyebut nama Juraij serta ketekunan ibadahnya sehingga ada seorang wanita pelacur berparas cantik jelita mengatakan, “Jika kalian mau, aku akan menggodanya (Juraij).”
Wanita pelacur itu pun kemudian merayu dan menawarkan diri kepada Juraij. Tetapi sedikitpun Juraij tak memperdulikannya. Namun apa yang kemudian dilakukan oleh wanita itu? Ia mendatangi seseorang yang tengah menggembala di sekitar tempat ibadah Juraij.
Lalu demi terlaksananya tipu muslihat, wanita itu kemudian merayunya. Maka, terjadilah perzinaan antara dia dengan penggembala itu. Hingga akhirnya wanita itu hamil. Manakala bayinya telah lahir, dia membuat pengakuan palsu dengan berkata kepada orang-orang, “Bayi ini adalah anak Juraij.” Mendengar hal itu, masyarakat percaya dan beramai-ramai mendatangi tempat ibadah Juraij, memaksanya turun, merusak tempat ibadahnya dan memukulinya.
Juraij yang tidak tahu masalahnya bertanya dengan heran, “Ada apa dengan kalian? Kamu telah berzina dengan wanita pelacur lalu dia sekarang melahirkan anakmu,” jawab mereka.
Maka, tahulah Juraij bahwa ini adalah makar wanita lacur itu. Lantas ia bertanya, “Di mana bayinya?”. Mereka pun membawa bayinya. Juraij berkata, “Biarkan saya melakukan shalat dahulu”, kemudian dia berdiri untuk melaksanakan shalat. Seusai menunaikan shalat, dia menghampiri si bayi lalu mencubit perutnya seraya bertanya, “Wahai bayi, siapakah ayahmu?” Si bayi menjawab, “Ayahku adalah si fulan, seorang penggembala.”
Akhirnya, masyarakat bergegas menghampiri Juraij, mencium dan mengusapnya. Mereka meminta maaf dan berkata, “Kami akan membangun tempat ibadahmu dari emas.” Juraij mengatakan, “Tidak, bangun saja seperti semula, yaitu dari tanah liat.” Lalu, mereka pun mengerjakannya. (Dikutip dari Kitab Hadits Shahih Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang dikembangkan).
Kesimpulan dari Kisah diatas adalah sebagai berikut,
1. Keterangan tentang akibat durhaka kepada kedua orang tua, tidak berbuat baik kepada keduanya dan memenuhi perintah keduanya. Hal itu bisa menjadi sebab musibah yang menimpa seseorang sebagaimana terjadi pada Juraij ahli ibadah.
2. Allah menyelamatkan hamba karena keshalihan dan ketaqwaannya, sebagaimana Dia menyelamatkan Juraij dan membebaskannya dari tuduhna yang dialamatkan kepadanya.
3. Kemampuan Allah membuat seseorang berbicara di mana orang sepertinya belum berbicara, sebagaimana Allah membuat bayi itu berbicara untuk membebaskan Juraij.
4. Jika salah satu dari bapak ibu memanggil untuk kepentingan yang dibolehkan secara syara’, maka seseorang yang sedang shalat sunnah harus meninggalkan shalatnya. Hadis di atas menunjukkan bahwa Juraij bersalah kepada Allah karena tidak menjawab panggilan ibunya.
5. Akibat dari ujian adalah kebaikan, jika seorang hamba bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Setelah Juraij tertimpa ujian, ia bertindak lebih baik di mata manusia dan di mata Tuhan manusia, daripada sebelumnya.
6. Seorang hamba shalih bisa memiliki keteguhan, keyakinan dan kepercayaan diri kepada Allah. Dengan itu dia mampu menghadapi persoalan-persoalan besar dengan keberaniam dan ketangguhan sebagaimana yang dilakukan Juraij.
7. Wudhu telah disyariatkan pada umat sebelum kita. Juraij shalat setelah berwudhu lalu menyentuh perut bayi.
8. Orang-orang shalih akan berlindung kepada shalat jika mereka menghadapi musibah dan cobaan.
9. Para pengikut kenistaan berusaha membuat buram muka orang-orang shalih, sebagaimana wanita pelacur tersebut melakukannya kepada Juraij.
10. Tidak boleh tergesa-gesa mempercayai tuduhan tanpa bukti dan dalil, seperti yang dilakukan oleh penduduk desa manakala mereka mempercayai tuduhan pelacur itu kepada Juraij. Semestinya mereka mengecek kebenaran ucapan pelacur itu sebelum menyerang Juraij, mencaci dan memukulnya.
Suatu ketika Juraij sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba ibunya datang memanggilnya, “Wahai Juraij!”. Dalam hatinya, Juraij bergumam, “Wahai Rabbku, apakah yang harus aku dahulukan, meneruskan śalatku ataukah memenuhi panggilan ibuku?” Dalam kebimbangan, dia memutuskan untuk tetap meneruskan shalatnya. Akhirnya sang ibu pulang.
Esok harinya, sang ibu datang lagi dan memanggil, “Wahai Juraij!” Juraij yang saat itu pun sedang shalat bergumam dalam hatinya, “Wahai Rabbku, apakah aku harus meneruskan shalatku ataukah (memenuhi) panggilan ibuku?” Juraij pun memutuskan bahwa shalat lebih utama untuk dilanjutkan daripada membatalkannya untuk memenuhi panggilan ibunya. Ia pun tetap meneruskan shalatnya. Ibunya pun kembali pulang untuk-kedua kalinya.
Hari berikutnya, yaitu untuk ketiga kalinya ia datang lagi seraya memanggil, “Wahai Juraij!”. Lagi-lagi Juraij sedang menjalankan shalat. Seperti halnya panggilan yang pertama dan kedua, Juraij bimbang apakah meneruskan shalat ataukah membatalkannya untuk memenuhi panggilan ibunya tercinta. Akhirnya, Juraij memutuskan untuk melanjutkan shalatnya dan baru kemudian memenuhi panggilan ibunya.
Dengan perasaan kecewa dan jengkel setelah tiga kali panggilannya tidak mendapat respons dari anaknya, sang ibu berdoa, “Ya Allah Swt., janganlah engkau matikan Juraij hingga dia melihat wajah wanita pelacur”. Orang-orang Bani Israil (ketika itu) sering menyebut-nyebut nama Juraij serta ketekunan ibadahnya sehingga ada seorang wanita pelacur berparas cantik jelita mengatakan, “Jika kalian mau, aku akan menggodanya (Juraij).”
Wanita pelacur itu pun kemudian merayu dan menawarkan diri kepada Juraij. Tetapi sedikitpun Juraij tak memperdulikannya. Namun apa yang kemudian dilakukan oleh wanita itu? Ia mendatangi seseorang yang tengah menggembala di sekitar tempat ibadah Juraij.
Lalu demi terlaksananya tipu muslihat, wanita itu kemudian merayunya. Maka, terjadilah perzinaan antara dia dengan penggembala itu. Hingga akhirnya wanita itu hamil. Manakala bayinya telah lahir, dia membuat pengakuan palsu dengan berkata kepada orang-orang, “Bayi ini adalah anak Juraij.” Mendengar hal itu, masyarakat percaya dan beramai-ramai mendatangi tempat ibadah Juraij, memaksanya turun, merusak tempat ibadahnya dan memukulinya.
Juraij yang tidak tahu masalahnya bertanya dengan heran, “Ada apa dengan kalian? Kamu telah berzina dengan wanita pelacur lalu dia sekarang melahirkan anakmu,” jawab mereka.
Maka, tahulah Juraij bahwa ini adalah makar wanita lacur itu. Lantas ia bertanya, “Di mana bayinya?”. Mereka pun membawa bayinya. Juraij berkata, “Biarkan saya melakukan shalat dahulu”, kemudian dia berdiri untuk melaksanakan shalat. Seusai menunaikan shalat, dia menghampiri si bayi lalu mencubit perutnya seraya bertanya, “Wahai bayi, siapakah ayahmu?” Si bayi menjawab, “Ayahku adalah si fulan, seorang penggembala.”
Akhirnya, masyarakat bergegas menghampiri Juraij, mencium dan mengusapnya. Mereka meminta maaf dan berkata, “Kami akan membangun tempat ibadahmu dari emas.” Juraij mengatakan, “Tidak, bangun saja seperti semula, yaitu dari tanah liat.” Lalu, mereka pun mengerjakannya. (Dikutip dari Kitab Hadits Shahih Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang dikembangkan).
Kesimpulan dari Kisah diatas adalah sebagai berikut,
1. Keterangan tentang akibat durhaka kepada kedua orang tua, tidak berbuat baik kepada keduanya dan memenuhi perintah keduanya. Hal itu bisa menjadi sebab musibah yang menimpa seseorang sebagaimana terjadi pada Juraij ahli ibadah.
2. Allah menyelamatkan hamba karena keshalihan dan ketaqwaannya, sebagaimana Dia menyelamatkan Juraij dan membebaskannya dari tuduhna yang dialamatkan kepadanya.
3. Kemampuan Allah membuat seseorang berbicara di mana orang sepertinya belum berbicara, sebagaimana Allah membuat bayi itu berbicara untuk membebaskan Juraij.
4. Jika salah satu dari bapak ibu memanggil untuk kepentingan yang dibolehkan secara syara’, maka seseorang yang sedang shalat sunnah harus meninggalkan shalatnya. Hadis di atas menunjukkan bahwa Juraij bersalah kepada Allah karena tidak menjawab panggilan ibunya.
5. Akibat dari ujian adalah kebaikan, jika seorang hamba bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Setelah Juraij tertimpa ujian, ia bertindak lebih baik di mata manusia dan di mata Tuhan manusia, daripada sebelumnya.
6. Seorang hamba shalih bisa memiliki keteguhan, keyakinan dan kepercayaan diri kepada Allah. Dengan itu dia mampu menghadapi persoalan-persoalan besar dengan keberaniam dan ketangguhan sebagaimana yang dilakukan Juraij.
7. Wudhu telah disyariatkan pada umat sebelum kita. Juraij shalat setelah berwudhu lalu menyentuh perut bayi.
8. Orang-orang shalih akan berlindung kepada shalat jika mereka menghadapi musibah dan cobaan.
9. Para pengikut kenistaan berusaha membuat buram muka orang-orang shalih, sebagaimana wanita pelacur tersebut melakukannya kepada Juraij.
10. Tidak boleh tergesa-gesa mempercayai tuduhan tanpa bukti dan dalil, seperti yang dilakukan oleh penduduk desa manakala mereka mempercayai tuduhan pelacur itu kepada Juraij. Semestinya mereka mengecek kebenaran ucapan pelacur itu sebelum menyerang Juraij, mencaci dan memukulnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.