Apabila ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat itu -menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan, baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung,
Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Baca Juga :
1. Hukum Sholat Orang yang Mendapatkan Najis di Bajunya Setelah Salam
2. Adab dan Etika Buang Air Atau Buang Hajat dalam Islam
Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah Saw. masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah Saw., maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."
Di satu riwayat disebutkan:
"Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung." (HR. Bukhari)
Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Baca Juga :
1.Bacaan Niat dan Tata Cara Mandi Wajib atau Junub
2.Waktu yang Dilarang Untuk Sholat dan Alasannya
Diriwayatkan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah Saw. mengembalikan isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hukum menceraikan isteri waktu haid dan nifas. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat. Aamiin.
Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Baca Juga :
1. Hukum Sholat Orang yang Mendapatkan Najis di Bajunya Setelah Salam
2. Adab dan Etika Buang Air Atau Buang Hajat dalam Islam
Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah Saw. masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah Saw., maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."
Di satu riwayat disebutkan:
"Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung." (HR. Bukhari)
Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Baca Juga :
1.Bacaan Niat dan Tata Cara Mandi Wajib atau Junub
2.Waktu yang Dilarang Untuk Sholat dan Alasannya
Diriwayatkan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah Saw. mengembalikan isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hukum menceraikan isteri waktu haid dan nifas. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.