Secara bahasa lafadz ijtihad adalah bentuk mashdar dari fi’il ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam Syaukani dan Imam Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan isthinbath. Menurut Imam al-Amidi, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan ntuk mencari hukum Islam yang bersifat Dhanny sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
Kalau kita membahas tentang problematika ijtihad maka tak lepas dari problematika menjadi seorang mujtahid yang harus memenuhi beberapa syarat yang sangat berat. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Memahami Al-Qur’an dengan asbabun nuzulnya, nsikh-mansukh dan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh.
2. Memahami hadits, ilmu hadits dirayah, hadits-hadits yang nasikh dan mansukh dan asbabul wurud hadits.
3. mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.
4. Mengetahui tempat-tempat ijma’.
5. Mengetahui ushul fikih.
6. Mengetahui maksud-maksud syari’at.
7. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
8. Bersifat adil dan takwa
Disamping delapan syarat ini, beberapa ulama’ menambahkan tiga syarat lagi, yaitu :
a. Mendalami ilmu ushuluddin.
b. Memahami ilmu manthiq (ilmu logika).
c. Menguasai cabang-cabang fikih.
Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah pada masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena syarat-syarat diatas sangat sulit dipenuhi oleh ulama’ pada masa sekarang. Pada akhirnya muncullah apa yang disebut dengan ijtihad jama’iy, yaitu mengumpulkan para ahli dalam bidangnya untuk mencari hukum suatu masalah yang belum terjawab.
Baca Juga :
1. Pengertian Ittiba’ dan Taqlid
2. Pengertian Tarjih dan Talfiq
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama’ mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu :
1. Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan.
2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3. Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat.
5. Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6. Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
Saat ini, diyakini manusia telah mencapai puncak kehidupan mutakhirnya, dimana kamus mengistilahkannya dengan "globalisasi", artinya dunia semakin mengecil dan segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan dengan ditandai akan berbagai perkembangan teknologi. Dunia tak ubahnya seperti sebuah desa kecil. Seakan sudah tidak ada lagi sekat dan jarak yang memisahkan manusia. Namun, seiring dengan laju perkembangan zaman, maka bertambah pula permasalahan baru yang muncul dan menuntut pembuktian Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin untuk memberikan solusi yang tepat. Hal ini pada akhirnya menuntut seorang mujtahid yang mempunyai otoritas dalam menentukan hukum untuk turut menyelesaikan problematika kehidupan umat. Dr Ahmad Buud (2006), menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif dari modernitas, diantaranya adalah,
Pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan taklid yang membutakan.
Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi, terutama dari Barat.
Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar paham sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam. Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Di sisi lain, pada hakekatnya tidak ada perbedaan mendasar antara sebuah tuntutan kebangkitan ruh berijtihad sebagai sebuah bentuk gerakan pencerahan (aukflarung) dengan kewajiban beragama itu sendiri. Keduanya memiliki akar dan titik tolak yang sama, dimana tujuan keduanya akan bermuara pada pembumian firman-Nya (QS:2:30), yaitu bahwa manusia diutus ke bumi tak lain adalah sebagai khalifah-Nya. Maka manusia berbeda dengan makhluk lain, ia diberi kelebihan akal. Manusia dapat berfikir dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk, sehingga tidak heran apabila manusia disebut oleh Allah sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan bagi Allah kenapa Dia menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk nash-nash yang global. Disamping RasululLah yang diutus untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran, juga menjadi tugas manusia sebagai hamba yang berakal untuk menggali teks-teks tersebut, terutama pada problematika baru yang datang sesudah Rasulullah Saw. mangkat. Kaitanya dalam hal ini, Dr Ahmad Bu’ud dalam bukunya , Ijtihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, memberikan rambu dan perangkat utama pada seorang mujtahid untuk berijtihad di era kontemporer ini.
Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah. Baik permasalahan yang sudah terdapat teks-teks resminya maupun yang belum. Ini penting dilakukan mengingat keduanya, al-Quran dan Sunah adalah dua sumber entitas resmi agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, juga harus dihindari kesalahan-kesalahan dalam memahami teks (nash).
Penggalian hukum tidak cukup hanya dengan bermodalkan keislaman dan keimanan serta pemahaman awal seseorang terhadap nash-nash saja. Juga tidak cukup dengan satu, dua atau tiga orang saja. Lebih dari itu untuk kemaslahatan umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama semua komponen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar produk hukum tersebut menjadi kuat dan bijak. Di samping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya;
(a). memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab,
(b). mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud),
(c). mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syari'ah).
Kedua, fikih realitas (al-waqa'iy)
Hal kedua yang harus dilakukan oleh mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi’, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi’ adalah:
(a). Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal.
(b). Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia. Yang dimaksud dengan keterikatan sosial disini adalah segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan yang lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer.
(c). Di samping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan, seorang mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, ijtihad kolektif (jama'iy). Masih menurut Dr Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami, bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syura). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.
Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syari’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syura), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebutpun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.
Pertanyaannya, bagaimanakah aplikasi ijtihad kolektif (ijtihâd jama’i) pada era sekarang ini? Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma' al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dar Ifta' Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut. Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif yang ada pada zaman ini dan masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.
(a). Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.
(b). Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyatrakat dalam sekup wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau Dâr Iftâ' Mishriy.
(c). Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.
Melihat realitas problematika fiqh kotemporer, maka para ulama melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hokum Islam disamping penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan klarifikasi kepada ahlinya.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian library (library research) dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitik. Data yang terkumpul bersifat kualitatif dan dianalisis menggunakan metode berfikir deduktif yang berpijak dari fakta-fakta yang bersifat umum untuk diambil kesimpulan yang bersifat khusus, sedang pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative.
Ijtihad dalam pengertian “berpikir bebas” adalah mesin penggerak sejarah. Ijtihad dalam teori terminology fiqh merupakan kunci dinamika ajaran Islam dalam mengantisipasi dinamika perubahan zaman. Adapun tujuannya untuk mencari solusi hukum dari suatu persoalan-persoalan yang muncul, karena dengan ijtihad pula fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam. Syarat-syarat ijtihad menurut formulasi fiqh klasik sangat ketat dan sulit dipenuhi di zaman ini. Jika itu dijadikan ukuran keabsahan ijtihad, maka ijtihad yang paling relevan di zaman ini adalah ijtihad jama’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.