Khilafah Utsmani, sebagai negara umat Islam dan sebagai penjaga agama dan wilayah kaum Muslim, jasanya tidak hanya dirasakan oleh umat Islam di Turki, tetapi juga seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Tak terkecuali Indonesia. Selain jasanya dalam penyebaran Islam di tanah air, Khilafah Utsmani juga mempunyai jasa besar dalam perang melawan penjajah Barat yang hendak menjajah negeri ini.
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmani mulai terasa di kawasan Samudera Hindia pada awal abad ke-16 M. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Dengan posisi ini, para penguasa Khilafah Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.
Pada tahun 954 H/1538 M, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928 H/1520-66 M) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah. Khilafah Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Samudera Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.
Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Samudera Hindia, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan kedaulatannya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Laut India sepanjang abad ke-16 M. Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936 H/1528 M), menyatakan bahwa Laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang Kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941 H/1534 M, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb di Mulut Laut Merah.
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani. Pada tahun 925 H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang keberangkatan Armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan Kafir.
Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943 H/1537 M, dia menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Qahhar pun menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia. Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustan as-Salathin, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hutang lain Indonesia kepada Khilafah Utsmani bisa dilihat dalam Perang Jawa (Java Oorlog) yang berlangsung dalam kurun 1825-1830 M. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini berlangsung di sebagian Pulau Jawa. Medannya membentang dari Yogyakarta di pantai selatan hingga perbatasan Banyumas di barat dan Magelang di utara. Meski wilayah ini relatif kecil dalam ukuran zaman sekarang, kawasan ini adalah pusat kerajaan Jawa yang mulai digerogoti oleh kekuasaan Belanda.
Perlawanan ini berkobar lama dan berdarah, ratusan ribu korban jatuh, terutama dari pihak Muslim. Belanda sendiri kehilangan ribuan prajurit dan kasnya hampir kosong untuk membiayai perang. Belanda menghadapi musuh berat yang menentangnya bukan semata sebagai kekuatan penjajah yang merampas hak, namun sebagai kekuatan kafir yang membahayakan akidah Islam. Perlawanan Pangeran Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki. Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah, adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah menunjukkan pengaruh Turki. Bulkiyo adalah adaptasi lidah jawa bagi Boluk, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer khas Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan pasukan Mangkunegaran Surakarta yang menggunakan struktur legiun (mengadopsi sistem Perancis). Juga berbeda dengan kesultanan Yogyakarta yang menggunakan struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Tidak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan mencurigai bahwa ada kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya pantai yang menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng kokoh dibangun Belanda menghadap lautan selatan. Sisanya antara lain masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam) karena sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
Setelah Perang Diponegoro berakhir dengan kemenangan Belanda, pesisir selatan masih menjadi basis pasukan Diponegoro. Sisa-sisa laskarnya menyebar di pesisir selatan Kebumen dan Purworejo. Mereka biasa menyerang kepentingan Belanda di sekitar kota. Oleh Belanda gerakan sisa laskar Diponegoro itu disebut sebagai para kecu (perampok yang bergerak siang hari) dan rampok (biasanya bergerak malam hari) yang terkenal di kawasan itu. Bisa jadi perkecuan dan perampokan itu dilandasi semangat terus berjihad melawan Belanda serta merampas ghanimah dan fa’i dari musuhnya [KH Hafidz Abdurrahman].
Inilah, antara lain, hutang Indonesia kepada Khilafah Utsmani. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.