Semua ibadah kita dituntut untuk ikhlash dan dijauhkan dari sifat riya’ atau mengharapkan pujian orang lain. Akan tetapi semua aktivitas yang memperoleh pujian manusia dikategorikan riya’ atau pamer. Semua bergantung kepada hati masing-masing, karena keikhlasan sekali lagi merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Allah swt.
Ada jiga aktivitas yang mendapatkan pujian dari banyak orang, tetapi tidak terselip riya’ atau sum’ah di dalamnya. Hal tersebut justru kabar gembira pendahuluan dari Allah Swt yang dibagikan kepada orang tersebut di dunia. Selain itu, ada kabar gembira pula yang akan ia dapatkan di akhirat karena ketulusan dan keikhlasannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“Abu Dzar Ra berkata, “Rasulullah Saw pernah ditanya, ‘Bagaimana pendapatmu, seandainya ada seseorang yang mengerjakan kebaikan, kemudian ia dipuju oleh orang banyak?’ Beliau menjawab, ‘ Yang demikian itu sebagai pendahulu kabar gembira bagi orang mukmin.’” (HR. Muslim)
Dari sini kita memahami bahwa profesi-profesi yang menuntut tampil didepan publik dan menimbulak popularitas yang tak dapat dielakkan, dan sangat punya potensi untuk riya’. Meskipun demikian, apakah ia benar-benar riya’, atau hatinya tetap hining dalam ketulusan, putih dalam keikhlasan kepada Allah Swt? semuanya hanya Allah zat yang maha mengetahui. Biarlah hal ini menjadi rahasianya, dan rahasia hati yang bersangkutan.
Imam Al-Iz bin Abdus Salam menjelaskan secara terperinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Ketaatan pada Allah ada tiga macam :
1. Amalan yang disyariatkan dengan ditampakan seperti azan, iqamat, bertakbir, membaca Al-Qur’an dalam shalat secara jahr, khutbah, amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat jumat dan shalat berjamaah, merayakan dua hari raya, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya’, hendaknya ia berusaha bersungguh-sunggu untuk menolaknya hingga ia bisa ikhlash. Kemudian, ia bisa melaksanaknnya dengan tulus, sehingga ia akan mendapatkan pahala amalannya juga pahala karena kesungguhannya menolak riya’, karena kemaslahatan amalan-amalan ini juga untuk orang lain.
2. Amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhal daripada jika ditampakkan. Contohnya membaca qiraah secara perlahan tatkala shalat (yaitu shalat yang tidak disyariatkan untuk menyaringkan bacaan), dan berdzikir dalam shalat secara perlahan. Nah dengan perlahan ini lebih baik daripada jika dinyaringkan.
3. Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan, seperti sedekah. Jika ia khawatir tertimpa riya’ atau ia tahu biasanya kalau ia menampkkan amalannya, ia akan riya’ maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan :
1. Ia bukan termasuk orang yang diikuti (tokoh panutan atau publik figur). Lebih baik ia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi ia tertimpa riya’ tatkala menampakkan sedekahnya.
2. Ia merupakan orang yang dicontohi maka menampakkan sedekahnya lebih baik karena tindakan manyantuni fakir miskin itu akan di contoh. Ia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan ia juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah pada fakir miskin karena mencontohnya. Ia juga telah memberi manfaat kepada orang-orang kaya tersebut karena mengikutinya untuk amal saleh.” (Qowa’idul Ahkam 1/25)
Demikianlah sahabat bacaan madani, ulasan tentang keikhlasan. Kesimpulannya, apa pun ibadah kita, kita tetap ikhlas melaksanakannya karena Allah Swt. mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat riya’ atau pamer. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.