Orang muslim yang benar-benar bertakwa bukan hanya lepas dari sifat-sifat tercela, tetapi juga harus menghiasi dirinya dengan sifat dan akhlak yang mulia, positif dan konstruktif, yaitu akhlak suka saling menasehati dan jujur, dengan kepercayaan bahwa agama adalah nasehat, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah melalui sabdanya,
"Agama itu nasehat, Kami bertanya, Untuk siapakah itu? Beliau menjawab, Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam dari mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. mengatakan, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya,” (HR. Al-Bukhari)
Ceriminan dari hadits Rsulullah tersebut bisa kita lihat kisah Imam Ahmad Ibnu Hambal Menasehati Muridnya Harun ibnu ‘Abdillah.
Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita:
Suatu hari, Saat mulai larut malam, pintu rumahku di ketuk oleh seorang laki-laki. “Siapa..?”, tanyaku.
“Ahmad”, jawab orang diluar pelan.
“Ahmad yg mana..?”
Tanyaku makin penasaran.
“Ibn Hanbal”, jawabnya pelan.
"Subhanallah, Itu guruku..!, kataku dalam hati.
Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk, dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.
Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara.
“Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini..?”
“Maafkan aku ya Harun…
Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadits selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.”
Aku terkejut.
"Sejak siang..?
Apakah itu wahai guru ?
“Begini…”
Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik.
"Siang tadi aku lewat disamping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadits-hadits, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan.
Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun.
Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk..!"
Aku tercekat, tak mampu berkata…
Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati.
Masya Allah…
Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.
Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku dihadapan murid-muridku.
Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.
Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tidak ada anggota keluargaku yang terjaga.
Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.
Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i:
"Nasehati aku saat sendiri, jangan di saat ramai & banyak saksi. Sebab nasehat ditengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; Maka maafkan jika hatiku berontak…”
Sahabat bacaan madani, dari kisah diatas tadi bisa disimpulan, yang pertama, menasehati seseorang itu harus dengan keikhlasan. Kedua, menasehati itu harus dengan cara rahasia, untuk menutupi aib orang yang dinasehati. Ketiga, memberi nasehat harus dengan halus penuh dengan kelemah lembutan. Keempat, tidak memaksa orang untuk dinasehati. Kelima, memilih waktu yang tepat untuk memberi nasehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.