Mungkin sebagian dari kita pernah mendapati atau menemukan satu kasus, dimana seorang wanita mendapati haidnya tidak berlangsung secara terus menerus, akan tetapi ia mengalir dengan terputus-putus, yakni mengalir dua hari atau tiga hari berlalu berhenti selama satu atau dua hari, lalu mengalir lagi selama dua atau tiga hari. Jika demikaian maka bagaimanakah kita menghukumi hari-hari yang berada di antara sela- sela masa haid yang terputus-putus tersebut, apakah masih termasuk dalam katagori darah haid ataukah bukan?.
Untuk itulah, perlu dikemukakan beberapa pendapat dari para ulama fiqih mengenai permasalahan darah haid yang terputus-putus ini, yaitu :
Pertama : Menurut pendapat Imam Malik bin Anas menyebutkan bahwasanya jika dalam jangka waktu sehari, dua, tiga, atau setelah masa haid, seorang wanita mendapati darah yang keluar dari fajarnya. Maka hukumnya adalah sebagai berikut : jika darah yang keluar itu menyerupai sifat- sifat darah haid (sebagaimana sebelumnya), maka darah tersebut dihukumi sebagaimana darah ysng pertamadan terhitung pula sebagai satu haid. Adapun hari-hari yang berada di sela-sela dua haid tersebut termasuk hari- hari suci.
Adapun dalil yang digunakan sebagai penguat dari pendapat madzab di atas, adalah firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 22.
Dan disyaratkan bahwasanya dara yang keluar secara terputus-putus tersebut tidak melebihi dari batas maksimal dari masa berlangsungnya haid, yakni lima belas hari, dimana perhitungannya berdasarkan pada At- Talfiq (dengan menjumlahkan masa suci dengan masa suci dan masa haid keluarnya darah dengan masa yang sama.
Kedua : Menurut pendapat madzab Hanifah dan Syafi’i menyebutkan bahwasanya Imam Abu Hanifah ra. Berkata : “ kesucian yang berbeda berada di antara dua darah dalam masa haid, jika hal itu terjadi kurang dari lima belas hari, maka hari-hari tersebut adalah terhitung sebagai hari-hari keluar darah (hari haid), dimana semua terhitung sebagai darah yang bersambung. Adapun hari- hari bersihnya darah di antara hari- hari haid adalah kesucian yang tidak normal, sehingga hari-hari tersebut terhitung sebagai hari-hari haid. Sementara itu, untuk bisa dihitung sebagai kesucian yang normal, maka kesucian tersebut haruslah berjumlah lima belas hari atau lebih. Dan perkataan ini dijadikan sebagai rujukan madzabnya.
Pendapat madzab Syafi’i sendiri pun bersepakat dalam hal ini, dimana antara hari keluarnya darah terputusnya darah, semua adalah terhitung sebagai hari haid. Hal ini berdasarkan ketentuan yang menyebutkan bahwasanya haid wanita terkadang bertambah, berkurang dan terkadang pula maju atau mundur.
Di antara pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan sebuah pendapat yang paling terkuat di antara pendapat-pendapat yang berbicara mengenai darah haid yang terputus-putus. Yakni jika seorang wanita mendapati darah yang keluar dari farajnya dengan sifat-sifat daripada darah haid secara teruputus-putus, dimana darah itu keluar selama tiga hari lalu terputus (berhenti) dan keluar lagi seterusnya. Maka tidaklah hari-hari yang terputus tersebut (yang berada di antara haid yang terputus- putus), melainkan adalah terhitung sebagai hari haid, bukan sebagai hari-hari suci dengan catatan bahwa darah yang keluar itu tidak berkurang daripada sehari-semalam (sebagai batas minimal haid).
Akan tetapi perlu ditekankan, kepada setiap wanita harus dapat mengenali bagaimana sifat-sifat dari pada darah haid dan seperti apa sifat-sifat darah istikhadha, agar mereka lebih mudah mengetahui apakah darah yang keluar setelah masa terputus, adalah termasuk darah haid (sebagaimana darah yang keluar pada hari sebelumnya), ataukah termasuk dalam katagori darah istikhadha?. Karena di antara keduanya memiliki hukung yang sangat berbeda. Oleh sebab itulah sesungguhnya Allah SWT memberikan mandate hukum kepada para wanita mengenai permasalahan yang berkaitan dengan haid, istikhadha dan juga nifas. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman-nya:
“ TIdak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimya.” (Qs. Al- Baqarah :222).
Dan jika antara darah yang keluar pada hari- hari pertama dan hari-hari yang kedua (setelah terputus) itu memiliki sifat–sifat yang hampir sama dan serupanya, maka hendaklah ia kembalikan pada hukum yang telah disepakati oleh para jumhur Ulama’ mengenai hukum daripada hari-hari terhentinya darah diantara dua haid tersebut. Allahu A’lam.
Sumber : Permasalahan Darah Wanita, Ustadz Labib Mz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.