Pasca wafatnya Rasulullah Saw., kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani Sa’idah untuk memilih khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua kelompok besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di antara pendukung kaum Anshar adalah Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bin Mundzir. Delegasi Anshar menginginkan agar khalifah dipilih dari golongan mereka. Menurutnya, golongan Anshar adalah orang orang yang membantu perjuangan Rasulullah Saw.. dalam pengembangan dakwah Islam dari Madinah. Merekalah yang memberikan tempat bagi Rasulullah Saw. dan kaum Muhajirin setelah pindah dari Makkah ke Madinah.
Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar ash-Shidiq ra, Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw.. Di samping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar ash-Shidiq ra lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu Ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar ash Shiddiq ra dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam shalat ketika beliau sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.,. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik.
Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar ash-Shidiq ra. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari kaum Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar Ash-Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar ash-Shidiq ra kemudian terpilih sebagai Khalifah pertama umat Islam. Setelah Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin Khattab r.a. secara aklamasi. Banyak kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab r.a. digantikan oleh Usman bin Affan r.a., seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Usman bin Affan r.a. memiliki kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.
Kelemahan Usman bin Affan r.a. yang mencolok dan mengakibatkan ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab r.a., yakni Amr bin al-Ash diganti dengan Abdullah Ibnu Sa’d, salah seorang keluarga Usman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al-fitnatul kubro yang pertama.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ adalah pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia menggunakan figur Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia juga merendahkan Khalifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar seperti Mekah, Madinah, Basrah.
Ketika Utsman bin Affan r.a. wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah Saw.. Penentangan timbul terutama karena Ali bin Abi Thalib r.a. dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan r.a..
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan r.a. perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib radengan Aisyah r.a. dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Tentara gabungan pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman bin Affan r.a.. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib r.a. agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyah bin Abu Sufyan akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib r.a..
Akhirnya, Muawiyah bin Abu Sufyan memutuskan untuk melawan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menawarkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan at-taḥkim (arbitrase) yakni mengangkat Kitab al-Quran di atas tombak. Kedua belah pihak sepakat untuk bersama-sama (Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing.
Tahkim ini dari pihak Ali bin Abi Thalib r.a. diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan pihak Muawiyyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan oleh Amru bin Ash. Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan diterima oleh Amru bin Ash, dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah bin Abu Sufyan.
Pendukunga Ali bin Abi Thalib r.a. selanjutnya disebut dengan golongan Syiah. Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. menyetujui tahkim. Mereka menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi Thalib r.a., Musa Al Asy’ari, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan harus dituntut. Mereka itu mesti dibunuh. Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij berkembang menjadi faham bahwa orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Dari peristiwa perang Siffin tersebut timbul berbagai aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga golongan yakni golongan Khawarij adalah suatu aliran pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali bin Abi Thalib ra yang menerima tahkim dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah.
Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-Ash, Abu Musa alAsy`ari. Yang menerima taḥkim adalah kafir.
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, sejak dahulu telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya :
"Bahwasanya bani Israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya:”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: yang satu itu ialah orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-sahabatku." (H.R. Tirmizi)
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan umat Islam dalam memahami maupun menjalankan ajaran Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis-hadis yang bertalian dengan akan adanya firqah-firqah (golongan-golongan) yang berselisih faham dalam lingkungan umat Islam. Hadis tersebut diantaranya :
"Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Daud)
Masalah akidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah peristiwa tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Muktazilah. Kemudian, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan alAsy’ari yang telah keluar dari kelompok Muktazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya’irah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar ash-Shidiq ra, Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw.. Di samping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw., Abu Bakar ash-Shidiq ra lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu Ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar ash Shiddiq ra dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam shalat ketika beliau sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.,. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik.
Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar ash-Shidiq ra. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari kaum Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar Ash-Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar ash-Shidiq ra kemudian terpilih sebagai Khalifah pertama umat Islam. Setelah Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin Khattab r.a. secara aklamasi. Banyak kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab r.a. digantikan oleh Usman bin Affan r.a., seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Usman bin Affan r.a. memiliki kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.
Kelemahan Usman bin Affan r.a. yang mencolok dan mengakibatkan ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab r.a., yakni Amr bin al-Ash diganti dengan Abdullah Ibnu Sa’d, salah seorang keluarga Usman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al-fitnatul kubro yang pertama.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ adalah pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia menggunakan figur Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia juga merendahkan Khalifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar seperti Mekah, Madinah, Basrah.
Ketika Utsman bin Affan r.a. wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah Saw.. Penentangan timbul terutama karena Ali bin Abi Thalib r.a. dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan r.a..
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan r.a. perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib radengan Aisyah r.a. dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Tentara gabungan pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman bin Affan r.a.. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib r.a. agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyah bin Abu Sufyan akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib r.a..
Akhirnya, Muawiyah bin Abu Sufyan memutuskan untuk melawan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menawarkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan at-taḥkim (arbitrase) yakni mengangkat Kitab al-Quran di atas tombak. Kedua belah pihak sepakat untuk bersama-sama (Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. dan Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing.
Tahkim ini dari pihak Ali bin Abi Thalib r.a. diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, dan pihak Muawiyyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan oleh Amru bin Ash. Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan diterima oleh Amru bin Ash, dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah bin Abu Sufyan.
Pendukunga Ali bin Abi Thalib r.a. selanjutnya disebut dengan golongan Syiah. Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. menyetujui tahkim. Mereka menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi Thalib r.a., Musa Al Asy’ari, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan harus dituntut. Mereka itu mesti dibunuh. Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij berkembang menjadi faham bahwa orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Dari peristiwa perang Siffin tersebut timbul berbagai aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga golongan yakni golongan Khawarij adalah suatu aliran pengikut Ali bin Abi Thalib r.a. yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali bin Abi Thalib ra yang menerima tahkim dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah.
Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-Ash, Abu Musa alAsy`ari. Yang menerima taḥkim adalah kafir.
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, sejak dahulu telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya :
"Bahwasanya bani Israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya:”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: yang satu itu ialah orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-sahabatku." (H.R. Tirmizi)
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan umat Islam dalam memahami maupun menjalankan ajaran Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis-hadis yang bertalian dengan akan adanya firqah-firqah (golongan-golongan) yang berselisih faham dalam lingkungan umat Islam. Hadis tersebut diantaranya :
"Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Daud)
Masalah akidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah peristiwa tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Muktazilah. Kemudian, lahirlah imam Abu Mansur al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan alAsy’ari yang telah keluar dari kelompok Muktazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya’irah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang sejarah perkembangan ilmu kalam. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.