Pemikiran Kalam Muhammad Abduh Tentang Alam, Manusia, Akal, Wahyu, Kebebasan Manusia dan Fatalisme, Perbuatan Tuhan dan Iman.
A. Alam.
Alam dalam pandangan Muhammad Abduh terbagi atas dua, yaitu alam abstrak, dan alam nyata. Alam abstrak adalah alam yang tidak dapat dijelaskan apalagi dilihat oleh panca indera. Dalam alam abstrak juga terdapat alam gaib, akan tetapi alam gaib berbeda dengan alam abstrak itu sendiri (kehidupan setelah meninggal); Sedangkan alam nyata atau alam fisik merupakan alam yang dapat dilihat dengan panca indera. Alam fisik dilihat dari kedudukannya terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Alam tumbuh-tumbuhan, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan dan penerimaan hayat;
2. Alam hewan, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan, penerimaan hayat, dan insting;
3. Alam manusia, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan, penerimaan hayat, insting, dan wahyu;
B. Manusia.
Manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lainnya, hal ini dikarenakan manusia diberikan wahyu oleh tuhan. Akan tetapi, Muhammad Abduh mengatakan antara manusia satu dengan yang lainnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Manusia awam, yaitu manusia yang tidak mampu menggunakan akalnya secara maksimal atau manusia yang hanya dianugrahi akal secara seherhana oleh tuhan. Sehingga pemahaman tentang wahyu sebatas sebagai informasi.
2. Manusia khawas, yaitu manusia yang dianugrahi oleh tuhan memilki kelebihan akal atau manusia yang mampu menggunakan akal secara maksimal. Sehingga pemahaman tentang wahyu selain sebagai informasi juga sebagai konfirmasi.
C. Akal.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh terkait akal, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1. Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ulama (ulama sebelum abad ke-3 hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, al-Qur’an.
2. Memperbaiki gaya bahasa arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika melihat perkembangan umat islam yang sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat islam dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau istinbath hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Baca Juga :
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan perhatian lebih kepada akal bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan mu’tazilah. Adapun menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini, yaitu:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan dan berbuatbaik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
1. Kewajiban manusia mengenal tuhan.
2. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
3. Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Abduh berpandangan bahwa Islam adalah agama pertama yang mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Selain itu juga memandang bahwa salah satu dasar Islam adalah dengan penggunaan akal. Seseorang akan memiliki iman yang sempurna kalau didukung oleh akal. Karena akal difungsikan sebagai alat atau usaha untuk mengenal tuhan.
D. Wahyu.
Manusia sebagaimana telah disinggung, yakni hidup di alam fisik. Tetapi ketika jiwa manusia meninggalkan tubuh maka tubuh akan mati dan jiwa tersebut akan hidup kembali, walaupun dengan bentuk atau wujud yang lain di dalam kehidupan alam gaib. Abduh menitikberatkan pendapatnya terkait wahyu sebagai fungsi, yang terdiri atas sebagaimana berikut:
1. Mengetahui keadaan kehidupan manusia di alam fisik, yakni menolong akal dalam mengatur masyarakat melalui prinsip-prinsip umum yang dibawakan oleh wahyu yakni mengatur manusia untuk hidup damai dan menumbuhkan rasa cinta sebagai dasar ketentraman, dan membawa syariat yang mendorong manusia untuk menjalankannya, seperti kejujuran, kebenaran, bertanggungjawab, menempati janji, dan lainnya;
2. Mengetahui kehidupan alam akhirat, yakni mengetahui akan adanya kehidupan kedua setelah meninggal, dan mengetahui bahwa jiwa akan tetap hidup setelah meninggalkan tubuh;
3. Menolong akal dalam menyempurnakan pengetahuan-nya, yakni pengetahuan tentang tuhan, sifat-sifat tuhan, kewajiban-kewajiban manusia pada tuhan, kebaikan, dan kejahatan;
4. Menguatkan pendapat akal melalui kesakralan dan keabsolutan yang dimiliki oleh wahyu;
Secara umum, Abduh berpandangan bahwa wahyu berfungsi untuk memperkuat atau sebagai konfirmasi atas yang diketahui oleh akal itu sendiri, dan wahyu sebagaiinformasi (memberitahu) tentang yang tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal. Sehingga bagi Abduh wahyu adalah penolong (al-mu’in) akal itu sendiri.
E. Kebebasan Manusia dan Fatalisme.
Pandangan Abduh tentang kebebasan manusia memandang bahwa manusia memiliki daya pikir, dan mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami yang dimiliki. Manusia melalui akal sehingga mampu mempertimbangkan sendiri akibat perbuatannya, kemudian mengambil keputusan melalui kemampuannya dan selanjutnya akan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
Secara umum Abduh mengatakan manusia berdasarkan sunnahtullah yang memiliki kemampuan berpikir, maka segala daya, perbuatan, dan kemauan manusia berasal dari diri manusia itu sendiri. Tetapi kebebasan yang dimiliki tidak bersifat absolut (tidak mutlak/ ada batasannya), dan menyebut sebagai orang yang takabur dan angkuh ketika mengaku memiliki kebebasan mutlak.
F. Sifat-sifat Tuhan.
Muhammad Abduh berbicara terkait sifat-sifat tuhan dalam karyanya yaitu risalah al-Tauhid. Akan tetapi dalam karyanya tersebut tidak dijelaskan secara jelas dan tegas pendapatnya terkait sifat tuhan. Yaitu, apakah sifat tuhan itu esensi atau esensi lain dari sifat tuhan, dan apakah sifat itu kekal atau tidak kekal. Akan tetapi, Abduh lebih terlihat sebagai seorang yang memberikan tanggapan atas penjelasanpenjelasan yang diberikan oleh ulama kalam terkait sifat-sifat tuhan.
Muhammad Abduh berkaitan tentang sifat-sifat tuhan mengatakan sebagaimana berikut:
1. Kehendak Mutlak Tuhan.
Hukum alam atau sunnatulllah yang diberikan tuhan kepada manusia menjadikan manusia memiliki kebebasan dan kemampuan dalam melakukan dan mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Melaui sunnatullah yang ditetapkan itu pula tuhan membatasi kehendaknya. Artinya melalui sunnatullah yang diciptakanNya dalam mengatur alam, tuhan melalui kemauanNya sendiri telah membatasi kehendakNya.
2. Keadilan Tuhan.
Muhammad Abduh memandang keadilan tuhan bukan hanya dari segi kemahasempurnaanNya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak ada ciptaan tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah ketidakadilan tidakdapat diberikan kepada tuhan karena tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
3. Antrofomorfisme.
Abduh yang memberikan kekuatan besar pada akal berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh mahluk di alam ini. Karena tuhan termasuk ke dalam alam ruhani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Secara tidak langsung Abduh mengatakan bahwa kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan secara majazi (pengandaian) yang populer dikalangan masyarakat Arab. Dengan demikian, kata al-‘Arsy dalam al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-Kursy berarti pengetahuan.
4. Melihat Tuhan.
Muhammad Abduh menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari makhluk yang menyerupai tuhan) bahwa tuhan tidak dapat dilukiskan dengan gambar ataupun dijelaskan melalui kata-kata. Di akhirat, tuhan akan menganugerahi orang-orang tertentu untuk melihat diriNya. Akan tetapi Muhammad Abduh tidak menjelaskan bahwa tuhan yang bersifat ruhani, dihari perhitungan kelak dapat dilihat melalui panca indera manusia.
5. Firman Tuhan.
Firman atau sabda tuhan bagi Abduh tidak dapat menjadi sifat tuhan, dan tidak dapat diartikan lebih dari kata-kata yang diucapkan melalui lidah. Sehingga Abduh mengatakan bahwa firman adalah ciptaan dan tidak qadim, sebagaimana pandangan mu’tazilah. Fungsi sabda atau firman tuhan adalah sebagai pembimbing manusia dalam menuju kesempurnaan.
G. Perbuatan Tuhan.
Pemikiran Abduh sejalan dengan pemikiran mu’tazilah terkait perbuatan tuhan, bahwa tuhan memiliki kewajiban pada manusia karena sejalan dengan sunatullah yang diciptakanNya. Tuhan juga melakukan perbuatan baik pada manusia, dengan merujuk pada konsepnya tentang keadilan tuhan. Abduh juga mengungkapkan melalui perbuatan baik tuhan pada manusia, maka tuhan tidak akan memberikan beban manusia di luar kemampuan.
Akal manusia memiliki keterbatasan karena itu tuhan wajib mengirim rasul sehingga manusia dapat menyempurnakan pengetahuannya. Selain itu tuhan pastimenempati janji dan ancamanNya, karena ketika tidak dilakukan berarti tuhan tidak sempurna dan ini menjadi bertentangan.
H. Iman.
Abduh mengatakan iman adalah ‘ilm (pengetahuan), i’tikad (kepercayaan), atau yaqin (keyakinan). Artinya pengetahuan yang dihasilkan akal melalui argumenargumen kuat dan membawa jiwa seseorang menjadi tunduk dan menyerah.
Selain itu, Abduh memandang bahwa iman terdiri atas dua bentuk yaitu, pertama iman taqlidi adalah iman tradisional yang diterima turun temurun dari nenek moyang dan dimiliki oleh golongan manusia awam; Kedua iman haqiqi adalah iman sebenarnya, yang memiliki kesanggupan untuk mengetahui tuhan dan alam gaib dan dimiliki oleh golongan manusia khawas;
A. Alam.
Alam dalam pandangan Muhammad Abduh terbagi atas dua, yaitu alam abstrak, dan alam nyata. Alam abstrak adalah alam yang tidak dapat dijelaskan apalagi dilihat oleh panca indera. Dalam alam abstrak juga terdapat alam gaib, akan tetapi alam gaib berbeda dengan alam abstrak itu sendiri (kehidupan setelah meninggal); Sedangkan alam nyata atau alam fisik merupakan alam yang dapat dilihat dengan panca indera. Alam fisik dilihat dari kedudukannya terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Alam tumbuh-tumbuhan, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan dan penerimaan hayat;
2. Alam hewan, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan, penerimaan hayat, dan insting;
3. Alam manusia, yang memiliki hubungan dengan tuhan melalui penciptaan, penerimaan hayat, insting, dan wahyu;
B. Manusia.
Manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lainnya, hal ini dikarenakan manusia diberikan wahyu oleh tuhan. Akan tetapi, Muhammad Abduh mengatakan antara manusia satu dengan yang lainnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Manusia awam, yaitu manusia yang tidak mampu menggunakan akalnya secara maksimal atau manusia yang hanya dianugrahi akal secara seherhana oleh tuhan. Sehingga pemahaman tentang wahyu sebatas sebagai informasi.
2. Manusia khawas, yaitu manusia yang dianugrahi oleh tuhan memilki kelebihan akal atau manusia yang mampu menggunakan akal secara maksimal. Sehingga pemahaman tentang wahyu selain sebagai informasi juga sebagai konfirmasi.
C. Akal.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh terkait akal, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1. Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ulama (ulama sebelum abad ke-3 hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, al-Qur’an.
2. Memperbaiki gaya bahasa arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika melihat perkembangan umat islam yang sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat islam dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau istinbath hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Baca Juga :
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan perhatian lebih kepada akal bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan mu’tazilah. Adapun menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini, yaitu:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan dan berbuatbaik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
1. Kewajiban manusia mengenal tuhan.
2. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
3. Hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Abduh berpandangan bahwa Islam adalah agama pertama yang mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Selain itu juga memandang bahwa salah satu dasar Islam adalah dengan penggunaan akal. Seseorang akan memiliki iman yang sempurna kalau didukung oleh akal. Karena akal difungsikan sebagai alat atau usaha untuk mengenal tuhan.
D. Wahyu.
Manusia sebagaimana telah disinggung, yakni hidup di alam fisik. Tetapi ketika jiwa manusia meninggalkan tubuh maka tubuh akan mati dan jiwa tersebut akan hidup kembali, walaupun dengan bentuk atau wujud yang lain di dalam kehidupan alam gaib. Abduh menitikberatkan pendapatnya terkait wahyu sebagai fungsi, yang terdiri atas sebagaimana berikut:
1. Mengetahui keadaan kehidupan manusia di alam fisik, yakni menolong akal dalam mengatur masyarakat melalui prinsip-prinsip umum yang dibawakan oleh wahyu yakni mengatur manusia untuk hidup damai dan menumbuhkan rasa cinta sebagai dasar ketentraman, dan membawa syariat yang mendorong manusia untuk menjalankannya, seperti kejujuran, kebenaran, bertanggungjawab, menempati janji, dan lainnya;
2. Mengetahui kehidupan alam akhirat, yakni mengetahui akan adanya kehidupan kedua setelah meninggal, dan mengetahui bahwa jiwa akan tetap hidup setelah meninggalkan tubuh;
3. Menolong akal dalam menyempurnakan pengetahuan-nya, yakni pengetahuan tentang tuhan, sifat-sifat tuhan, kewajiban-kewajiban manusia pada tuhan, kebaikan, dan kejahatan;
4. Menguatkan pendapat akal melalui kesakralan dan keabsolutan yang dimiliki oleh wahyu;
Secara umum, Abduh berpandangan bahwa wahyu berfungsi untuk memperkuat atau sebagai konfirmasi atas yang diketahui oleh akal itu sendiri, dan wahyu sebagaiinformasi (memberitahu) tentang yang tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal. Sehingga bagi Abduh wahyu adalah penolong (al-mu’in) akal itu sendiri.
E. Kebebasan Manusia dan Fatalisme.
Pandangan Abduh tentang kebebasan manusia memandang bahwa manusia memiliki daya pikir, dan mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami yang dimiliki. Manusia melalui akal sehingga mampu mempertimbangkan sendiri akibat perbuatannya, kemudian mengambil keputusan melalui kemampuannya dan selanjutnya akan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
Secara umum Abduh mengatakan manusia berdasarkan sunnahtullah yang memiliki kemampuan berpikir, maka segala daya, perbuatan, dan kemauan manusia berasal dari diri manusia itu sendiri. Tetapi kebebasan yang dimiliki tidak bersifat absolut (tidak mutlak/ ada batasannya), dan menyebut sebagai orang yang takabur dan angkuh ketika mengaku memiliki kebebasan mutlak.
F. Sifat-sifat Tuhan.
Muhammad Abduh berbicara terkait sifat-sifat tuhan dalam karyanya yaitu risalah al-Tauhid. Akan tetapi dalam karyanya tersebut tidak dijelaskan secara jelas dan tegas pendapatnya terkait sifat tuhan. Yaitu, apakah sifat tuhan itu esensi atau esensi lain dari sifat tuhan, dan apakah sifat itu kekal atau tidak kekal. Akan tetapi, Abduh lebih terlihat sebagai seorang yang memberikan tanggapan atas penjelasanpenjelasan yang diberikan oleh ulama kalam terkait sifat-sifat tuhan.
Muhammad Abduh berkaitan tentang sifat-sifat tuhan mengatakan sebagaimana berikut:
1. Kehendak Mutlak Tuhan.
Hukum alam atau sunnatulllah yang diberikan tuhan kepada manusia menjadikan manusia memiliki kebebasan dan kemampuan dalam melakukan dan mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Melaui sunnatullah yang ditetapkan itu pula tuhan membatasi kehendaknya. Artinya melalui sunnatullah yang diciptakanNya dalam mengatur alam, tuhan melalui kemauanNya sendiri telah membatasi kehendakNya.
2. Keadilan Tuhan.
Muhammad Abduh memandang keadilan tuhan bukan hanya dari segi kemahasempurnaanNya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Bahwa alam diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak ada ciptaan tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah ketidakadilan tidakdapat diberikan kepada tuhan karena tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
3. Antrofomorfisme.
Abduh yang memberikan kekuatan besar pada akal berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh mahluk di alam ini. Karena tuhan termasuk ke dalam alam ruhani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Secara tidak langsung Abduh mengatakan bahwa kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan secara majazi (pengandaian) yang populer dikalangan masyarakat Arab. Dengan demikian, kata al-‘Arsy dalam al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-Kursy berarti pengetahuan.
4. Melihat Tuhan.
Muhammad Abduh menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari makhluk yang menyerupai tuhan) bahwa tuhan tidak dapat dilukiskan dengan gambar ataupun dijelaskan melalui kata-kata. Di akhirat, tuhan akan menganugerahi orang-orang tertentu untuk melihat diriNya. Akan tetapi Muhammad Abduh tidak menjelaskan bahwa tuhan yang bersifat ruhani, dihari perhitungan kelak dapat dilihat melalui panca indera manusia.
5. Firman Tuhan.
Firman atau sabda tuhan bagi Abduh tidak dapat menjadi sifat tuhan, dan tidak dapat diartikan lebih dari kata-kata yang diucapkan melalui lidah. Sehingga Abduh mengatakan bahwa firman adalah ciptaan dan tidak qadim, sebagaimana pandangan mu’tazilah. Fungsi sabda atau firman tuhan adalah sebagai pembimbing manusia dalam menuju kesempurnaan.
G. Perbuatan Tuhan.
Pemikiran Abduh sejalan dengan pemikiran mu’tazilah terkait perbuatan tuhan, bahwa tuhan memiliki kewajiban pada manusia karena sejalan dengan sunatullah yang diciptakanNya. Tuhan juga melakukan perbuatan baik pada manusia, dengan merujuk pada konsepnya tentang keadilan tuhan. Abduh juga mengungkapkan melalui perbuatan baik tuhan pada manusia, maka tuhan tidak akan memberikan beban manusia di luar kemampuan.
Akal manusia memiliki keterbatasan karena itu tuhan wajib mengirim rasul sehingga manusia dapat menyempurnakan pengetahuannya. Selain itu tuhan pastimenempati janji dan ancamanNya, karena ketika tidak dilakukan berarti tuhan tidak sempurna dan ini menjadi bertentangan.
H. Iman.
Abduh mengatakan iman adalah ‘ilm (pengetahuan), i’tikad (kepercayaan), atau yaqin (keyakinan). Artinya pengetahuan yang dihasilkan akal melalui argumenargumen kuat dan membawa jiwa seseorang menjadi tunduk dan menyerah.
Selain itu, Abduh memandang bahwa iman terdiri atas dua bentuk yaitu, pertama iman taqlidi adalah iman tradisional yang diterima turun temurun dari nenek moyang dan dimiliki oleh golongan manusia awam; Kedua iman haqiqi adalah iman sebenarnya, yang memiliki kesanggupan untuk mengetahui tuhan dan alam gaib dan dimiliki oleh golongan manusia khawas;
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pemikiran Muhammad Abduh tentang Alam, manusia, akal, wahyu, kebebasan manusia dan fatalisme, perbuatan tuhan dan iman. Sumber buku Siswa Kelas XII MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.