Akidah pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Masa Rasulullah Saw. merupakan periode pembinaan akidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang belum ada jawabannya dikembalikan langsung kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.
Rasulullah Saw mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah Swt. dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah Swt. berfirman dalam al-Anfal :46,
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. al-Anfal : 46)
Ketika Rasulullah Saw., masih hidup seluruh urusan agama Islam baik pemahaman, pengalaman ajaran Islam dapat langsung diterima dan melihat contoh Rasulullah Saw.. Apabila ada masalah-masalah urusan agama Islam bahkan urusan kemasyarakatan para sahabat dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw., sehingga perbedaan pemahaman dan pandangan urusan agama Islam tidak terlihat dan terjadi. Para sahabat menerima dan memahami kandungan al-Quran dan hadis yang berkaitan dengan akidah dan sifat-sifat Allah Swt tanpa mempersoalkan makna di sebaliknya. Untuk itu, pada zaman Nabi Saw. kepercayaan umat Islam adalah sangat kukuh dan teguh.
Dalam QS. al-Ikhlas, misalnya, dengan ayat itu sudah cukup kukuh untuk menjadi pegangan mereka. Untuk itu ilmu Tauhid atau permasalahan akidah belum timbul secara langsung atau belum muncul sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Namun begitu, semenjak zaman nabi perbahasan ilmu tauhid telah dipelajari terutama sewaktu berdakwah di Mekah. Tauhid merupakan perkara yang amat ditekankan oleh Nabi Saw.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam masalah akidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah Swt dan wahyu-Nya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Sehingga tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Naḥl : 125,
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. an-Naḥl :125)
Pada prinsipnya, ada dua karakteristik akidah di masa pembentukan atau pertumbuhan Islam, yaitu sederhana dan integral. Maksudnya, ajaran-ajaran tentang tauhid disampaikan secara sederhana tanpa ada pembahasan yang rumit dan bertele-tele. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini menggambarkan kesederhanaan itu. Rasulullah Saw.. ditanya: “Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?” Rasulullah saw.. menjawab: “Ya.” Kemudian beliau ditanya lagi: “Jadi untuk apa orang-orang harus beramal?” Beliau. menjawab: “Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya.”
Namun begitu, manusia telah dikurniakan akal pikiran, maka begitu juga para sahabat ada diantara dan kalangan mereka yang memiliki tabiat suka mencari tahu dan berfikir yang telah mendorong sesetengah sahabat untuk memikirkan dzat Allah Swt. Namun begitu, Rasulullah Saw., menengahi mereka berbuat demikian, sebagaimana sabda yang diriwayatkan daripada Abu Nu’aim. Nabi Saw. juga telah menengahi dan melarang daripada berbantah dalam masalah Qadar. Dimana pada suatu ketika Nabi Saw. menemui para sahabat sedang waktu itu mereka sedang berdebat tentang perkara Qadar.
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah keluar menemui kami sedangkan waktu itu kami berselisih dan bertengkar tentang soal qada’ dan qadar. maka baginda memarahi kami sehingga merah padam muka baginda, lalu baginda bersabda “ Apakah ini yang disuruh kepada kamu? Atau apakah aku diutuskan karena itu ? sesungguhnya orang-orang yang terdahulu daripada kamu binasa apabila mereka itu berselisih didalam perkara yang seperti ini. Aku berharap supaya kamu sekalian tidak lagi berselisih mengenainya."
Dikatakan akidah di masa Rasul Saw.. bersifat integral, karena ajaran itu berhubungan langsung dengan aspek ibadah dan akhlak. Masalah akidah dibicarakan selalu dalam konteks ibadah dan akhlak. Begitu pula sebaliknya. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Saw.. dan para sahabat sejak periode Mekkah sampai periode Madinah. Pada masa ini, Tauhid murni Islam adalah suatu tauhid praktikal (amaliy), yaitu apa yang tersimpan dalam keimanan mereka, itulah yang tampak pada akhlak tingkah laku mereka yang mulia.
Tauhid ini hanya dapat diambil secara qudwah, yaitu dengan melihat contoh dari seorang insan yang sudah merealisasikannya, bukan dari sekadar teoriteori ilmiah. Permasalahan permasalahan tentang akidah dan tauhid selalu terjawab secara jelas dan terang pada masa itu karena setiap ada perbedaan atau pertentangan, Rasulullah Saw., selalu turun tangan dan menjelaskannya secara benar dengan mengikuti pada wahyu.
Diantara sabda Nabi saw. yang membicarakan masalah akidah sebagai berikut :
a. Penjelasan bahwa Islam memiliki 5 rukun yang harus dibangun, dan keislaman tidak sempurna apabila tidak melaksanakan lima rukun Islam tersebut. Karena Nabi Muhammad Saw menjawab dengan demikian :
Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.”
b. Iman mencakup enam perkara, yaitu :
Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. Orang tadi berkata, “Engkau benar”.
c. Penjelasan tentang ihsan, yaitu manusia beribadah kepada Allah Swt dengan peribadatan menginginkan dan mencari), seolah-olah ia melihat-Nya. Ia ingin sampai kepada-Nya. Derajat ihsan inilah yang paling sempurna. Jika tidak sampai pada keadaan ini, maka kepada derajat kedua, yaitu beribadah kepada Allah dengan peribadatan ( rasa takut) terhadap siksa-Nya. Karna itu nabi besabda: “Jika kamu tidak melihatnya, maka ia melihatmu”.
Pada masa Rasulullah, persoalan-persoalan yang yang berhubungan dengan akidah justru muncul dari kaum musyrikin dan munafiqin. Kaum musyrikin mengangkat permasalahan qadar tujuannya ialah untuk membenarkan perbuatan jahat dan dosa yang mereka kerjakan, yaitu menisbatkan perbuatan mereka kepada kehendak Allah Swt. Dengan demikian perbuatan mereka seakan-akan direstui oleh Allah Swt dan merupakan kehendak Allah Swt. Sedangkan kaum munafik mengeluarkan komentar-komentar yang mengindikasikan qadariyah. Tidak lain maksudnya untuk melemahkan semangat umat Islam dalam peperangan Uhud yang berpangkal dari kedengkian dan iri hati mereka terhadap Rasulullah Saw..
Di bawah ini beberapa penyimpangan akidah pada zaman Rasulullah :
a. Prasangka buruk kaum jahiliyah, sebagaimana firman Allah ketika kaum musyrikin menang pada perang Uhud. Sebagian kaum Muslimin menyangka bahwa mereka tidak ditolong oleh Allah Swt dan timbullah anggapan bahwa Islam telah berakhir bersamaan dengan kalahnya kaum muslimin dari kaum kafir.
"Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" (QS. Ali Imran :154)
b. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Akidah pada Masa Sahabat.
Masa sahabat khususnya pada zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq (11-13 H), dan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H), pembahasan masalahmasalah akidah belum muncul. Mereka merumuskan ajaran akidah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw. dan mereka juga memahami ayat-ayat dengan makna apa adanya, tanpa memberikan penta’wilan. Oleh sebab itu selama kurang lebih dua dekade ini, nyaris tidak ada persoalan-persoalan serius dalam masalah akidah.
Baca Juga :
Akan tetapi setelah Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan perubahan dalam sistem administrasi pemerintahannya yang lebih cenderung nepotisme (kekeluargaan), timbul kekacauan politik, yang mencapai klimaks pada masa pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga terjadi perang saudara dan mengakibatkan umat Islam terpecah belah. Perpecahan politik ini menimbulkan akibat munculnya berbagai pemikiran teologi, sehingga berkembang perdebatan-perdebatan panjang dan menimbulkan berbagai aliran dalam ilmu kalam.
Dengan demikian, pada masa Nabi dan dua dekade dari masa pemerintahan Khulafaurrasyidin, corak akidah Islam yang dianut masyarakat muslim saat itu masih tetap sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw.. Munculnya perdebatan pandangan dan rumusan pemikiran teologi terjadi di akhir pemerintah Ali bin Abi Thalib ra, dengan munculnya aliran Khawarij, yang disusul kemudian munculnya Murji’ah, Muktazilah dan Ahlussunah Waljama’ah.
Masa Rasulullah Saw. merupakan periode pembinaan akidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang belum ada jawabannya dikembalikan langsung kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.
Rasulullah Saw mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah Swt. dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah Swt. berfirman dalam al-Anfal :46,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. al-Anfal : 46)
Ketika Rasulullah Saw., masih hidup seluruh urusan agama Islam baik pemahaman, pengalaman ajaran Islam dapat langsung diterima dan melihat contoh Rasulullah Saw.. Apabila ada masalah-masalah urusan agama Islam bahkan urusan kemasyarakatan para sahabat dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw., sehingga perbedaan pemahaman dan pandangan urusan agama Islam tidak terlihat dan terjadi. Para sahabat menerima dan memahami kandungan al-Quran dan hadis yang berkaitan dengan akidah dan sifat-sifat Allah Swt tanpa mempersoalkan makna di sebaliknya. Untuk itu, pada zaman Nabi Saw. kepercayaan umat Islam adalah sangat kukuh dan teguh.
Dalam QS. al-Ikhlas, misalnya, dengan ayat itu sudah cukup kukuh untuk menjadi pegangan mereka. Untuk itu ilmu Tauhid atau permasalahan akidah belum timbul secara langsung atau belum muncul sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Namun begitu, semenjak zaman nabi perbahasan ilmu tauhid telah dipelajari terutama sewaktu berdakwah di Mekah. Tauhid merupakan perkara yang amat ditekankan oleh Nabi Saw.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam masalah akidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah Swt dan wahyu-Nya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Sehingga tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Naḥl : 125,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. an-Naḥl :125)
Pada prinsipnya, ada dua karakteristik akidah di masa pembentukan atau pertumbuhan Islam, yaitu sederhana dan integral. Maksudnya, ajaran-ajaran tentang tauhid disampaikan secara sederhana tanpa ada pembahasan yang rumit dan bertele-tele. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini menggambarkan kesederhanaan itu. Rasulullah Saw.. ditanya: “Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?” Rasulullah saw.. menjawab: “Ya.” Kemudian beliau ditanya lagi: “Jadi untuk apa orang-orang harus beramal?” Beliau. menjawab: “Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya.”
Namun begitu, manusia telah dikurniakan akal pikiran, maka begitu juga para sahabat ada diantara dan kalangan mereka yang memiliki tabiat suka mencari tahu dan berfikir yang telah mendorong sesetengah sahabat untuk memikirkan dzat Allah Swt. Namun begitu, Rasulullah Saw., menengahi mereka berbuat demikian, sebagaimana sabda yang diriwayatkan daripada Abu Nu’aim. Nabi Saw. juga telah menengahi dan melarang daripada berbantah dalam masalah Qadar. Dimana pada suatu ketika Nabi Saw. menemui para sahabat sedang waktu itu mereka sedang berdebat tentang perkara Qadar.
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah keluar menemui kami sedangkan waktu itu kami berselisih dan bertengkar tentang soal qada’ dan qadar. maka baginda memarahi kami sehingga merah padam muka baginda, lalu baginda bersabda “ Apakah ini yang disuruh kepada kamu? Atau apakah aku diutuskan karena itu ? sesungguhnya orang-orang yang terdahulu daripada kamu binasa apabila mereka itu berselisih didalam perkara yang seperti ini. Aku berharap supaya kamu sekalian tidak lagi berselisih mengenainya."
Dikatakan akidah di masa Rasul Saw.. bersifat integral, karena ajaran itu berhubungan langsung dengan aspek ibadah dan akhlak. Masalah akidah dibicarakan selalu dalam konteks ibadah dan akhlak. Begitu pula sebaliknya. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Saw.. dan para sahabat sejak periode Mekkah sampai periode Madinah. Pada masa ini, Tauhid murni Islam adalah suatu tauhid praktikal (amaliy), yaitu apa yang tersimpan dalam keimanan mereka, itulah yang tampak pada akhlak tingkah laku mereka yang mulia.
Tauhid ini hanya dapat diambil secara qudwah, yaitu dengan melihat contoh dari seorang insan yang sudah merealisasikannya, bukan dari sekadar teoriteori ilmiah. Permasalahan permasalahan tentang akidah dan tauhid selalu terjawab secara jelas dan terang pada masa itu karena setiap ada perbedaan atau pertentangan, Rasulullah Saw., selalu turun tangan dan menjelaskannya secara benar dengan mengikuti pada wahyu.
Diantara sabda Nabi saw. yang membicarakan masalah akidah sebagai berikut :
a. Penjelasan bahwa Islam memiliki 5 rukun yang harus dibangun, dan keislaman tidak sempurna apabila tidak melaksanakan lima rukun Islam tersebut. Karena Nabi Muhammad Saw menjawab dengan demikian :
Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.”
b. Iman mencakup enam perkara, yaitu :
Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. Orang tadi berkata, “Engkau benar”.
c. Penjelasan tentang ihsan, yaitu manusia beribadah kepada Allah Swt dengan peribadatan menginginkan dan mencari), seolah-olah ia melihat-Nya. Ia ingin sampai kepada-Nya. Derajat ihsan inilah yang paling sempurna. Jika tidak sampai pada keadaan ini, maka kepada derajat kedua, yaitu beribadah kepada Allah dengan peribadatan ( rasa takut) terhadap siksa-Nya. Karna itu nabi besabda: “Jika kamu tidak melihatnya, maka ia melihatmu”.
Pada masa Rasulullah, persoalan-persoalan yang yang berhubungan dengan akidah justru muncul dari kaum musyrikin dan munafiqin. Kaum musyrikin mengangkat permasalahan qadar tujuannya ialah untuk membenarkan perbuatan jahat dan dosa yang mereka kerjakan, yaitu menisbatkan perbuatan mereka kepada kehendak Allah Swt. Dengan demikian perbuatan mereka seakan-akan direstui oleh Allah Swt dan merupakan kehendak Allah Swt. Sedangkan kaum munafik mengeluarkan komentar-komentar yang mengindikasikan qadariyah. Tidak lain maksudnya untuk melemahkan semangat umat Islam dalam peperangan Uhud yang berpangkal dari kedengkian dan iri hati mereka terhadap Rasulullah Saw..
Di bawah ini beberapa penyimpangan akidah pada zaman Rasulullah :
a. Prasangka buruk kaum jahiliyah, sebagaimana firman Allah ketika kaum musyrikin menang pada perang Uhud. Sebagian kaum Muslimin menyangka bahwa mereka tidak ditolong oleh Allah Swt dan timbullah anggapan bahwa Islam telah berakhir bersamaan dengan kalahnya kaum muslimin dari kaum kafir.
وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ
"Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" (QS. Ali Imran :154)
b. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Akidah pada Masa Sahabat.
Masa sahabat khususnya pada zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq (11-13 H), dan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H), pembahasan masalahmasalah akidah belum muncul. Mereka merumuskan ajaran akidah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw. dan mereka juga memahami ayat-ayat dengan makna apa adanya, tanpa memberikan penta’wilan. Oleh sebab itu selama kurang lebih dua dekade ini, nyaris tidak ada persoalan-persoalan serius dalam masalah akidah.
Baca Juga :
- Faktor-Faktor Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam
- Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam
- Penyimpangan Akidah Umat Terdahulu
Akan tetapi setelah Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan perubahan dalam sistem administrasi pemerintahannya yang lebih cenderung nepotisme (kekeluargaan), timbul kekacauan politik, yang mencapai klimaks pada masa pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga terjadi perang saudara dan mengakibatkan umat Islam terpecah belah. Perpecahan politik ini menimbulkan akibat munculnya berbagai pemikiran teologi, sehingga berkembang perdebatan-perdebatan panjang dan menimbulkan berbagai aliran dalam ilmu kalam.
Dengan demikian, pada masa Nabi dan dua dekade dari masa pemerintahan Khulafaurrasyidin, corak akidah Islam yang dianut masyarakat muslim saat itu masih tetap sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw.. Munculnya perdebatan pandangan dan rumusan pemikiran teologi terjadi di akhir pemerintah Ali bin Abi Thalib ra, dengan munculnya aliran Khawarij, yang disusul kemudian munculnya Murji’ah, Muktazilah dan Ahlussunah Waljama’ah.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang akidah pada masa Nabi Muhammad Saw dan akidah pada masa sahabat. Sumber buku Siswa Kelas X MA Ilmu Kalam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.